Kanal24, Malang – Prof. Ir. Sukir Maryanto, S.Si., M.Si., Ph.D, Pakar Bidang Mitigasi Bencana dan Eksplorasi Sumber Alam khususnya Kegunungapian dan Panas Bumi, memaparkan bahwa sekitar 80 persen potensi panas bumi di Jawa Timur, atau Indonesia pada umumnya berasosiasi dengan gunung api. Oleh karena itu, penting untuk mencatat semua potensi ini agar keberlanjutan dan kebermanfaatan bidang ini terjamin.
Dalam acara Bincang dan Obrolan Santai Bersama pakar (BONSAI) di Agro Technopark (ATP) Cangar pada Jumat (24/11/2023) yang bertema, “Pemikiran Berkelanjutan Hidup Harmoni dengan Gunung Api dan Panas Bumi”, Prof. Sukir mengajukan konsep School Watching dan Town Watching.
Prof. Sukir memberikan pandangannya terkait upaya deteksi dini dan pemahaman karakteristik gunung api. Prof. Sukir menyampaikan informasi yang penting terkait dengan teknologi terkini yang dapat membantu mengurangi resiko dan dampak letusan gunung api.
Sebagai pakar kegunungapian, Prof. Sukir mengawali materinya dengan merujuk pada peristiwa gempa di Gunung Arjuna pada tahun 2018. Ia menyebutkan bahwa kejadian tersebut menjadi titik awal dalam pemikiran mengenai upaya mitigasi bencana, terutama terkait gunung api di Indonesia. Prof. Sukir menyoroti pentingnya sosialisasi di seluruh Indonesia untuk meningkatkan kesadaran masyarakat terkait risiko gunung api.
Menurut Prof. Sukir, gunung api memberikan dampak positif dan negatif dalam kehidupan masyarakat. Dampak positif meliputi peran sebagai sumber kehidupan, penyedia potensi panas bumi, dan sumber unsur mineral untuk menyuburkan tanah. Namun, perlu diwaspadai juga dampak negatifnya, seperti belum optimalnya pengelolaan potensi sektoral di kawasan kaki gunung api dan minimnya monitoring terkait kebencanaan.
Prof. Sukir menjelaskan bahwa masyarakat perlu memiliki kesadaran terhadap potensi bahaya yang ada di sekitar mereka. School Watching berfokus di sekolah, sementara Town Watching melibatkan masyarakat di kota atau desa mereka sendiri. Konsep ini bertujuan agar masyarakat dapat mengamati potensi bahaya dan memiliki kemampuan untuk menghadapinya sendiri pada saat terjadi bencana.
“Hidup berdampingan dengan gunung berapi perlu adanya kesadaran dari dalam diri masyarakat. Masyarakat yang paham karakternya bisa mengevakuasi dirinya sendiri ketika ada bencana karena mereka yang menghadapinya sendiri,” ujar Prof. Sukir.
Satu aspek kunci dalam mitigasi bencana gunung api adalah penggunaan teknologi monitoring. Prof. Sukir mengungkapkan bahwa harapannya adalah pengembangan teknologi monitoring dapat membantu dalam edukasi, memberikan informasi real-time, dan menjadi sumber bantuan ketika terjadi bencana. Meskipun telah ada upaya komunikasi terus-menerus dengan pusat program, Prof. Sukir mengakui bahwa masih ada tahap produksi dan perlu pendirian lebih banyak stasiun monitoring.
Teknologi yang diusulkan Prof. Sukir mencakup penggunaan sensor yang dapat mengukur frekuensi dan karakteristik gunung api. Ia menekankan bahwa monitoring tidak hanya dapat dilakukan secara visual, melainkan juga harus ada di puncak gunung. Indikasi dampak kabut yang membahayakan pada jam tertentu membuat monitoring visual tidak selalu efektif, oleh karena itu perlu teknologi yang dapat beroperasi tanpa terganggu oleh kondisi cuaca.
Pada tahap selanjutnya, Prof. Sukir menjelaskan bahwa pengukuran frekuensi juga dapat digunakan untuk mendeteksi karakteristik binatang lokal. Dengan memberikan contoh tentang monyet yang merespons frekuensi diri gunung api, ia menguraikan konsep resonansi frekuensi dalam bidang ilmu yang disebutnya “biogeoo”. Menurutnya, pemahaman karakter binatang dapat memberikan indikasi lebih dini terhadap potensi letusan gunung api.
Untuk implementasi teknologi di lapangan dan upaya untuk melibatkan masyarakat, Prof. Sukir merinci bahwa deteksi dini melibatkan pemahaman karakter gunung api dan sensitivitas binatang terhadap perubahan frekuensi. Upaya ini, menurutnya, akan membantu dalam menyusun strategi mitigasi bencana yang lebih efektif.
Prof. Sukir juga menekankan pentingnya pengetahuan tentang mitigasi bencana menjadi program pemerintah, bahkan bisa dimasukkan dalam kurikulum pendidikan. Hal ini bertujuan untuk mengubah kesadaran diri menjadi budaya sadar bencana pada semua lapisan masyarakat dan lintas sektoral. Dalam konteks ini, Prof. Sukir menyoroti kebutuhan akan kebijakan yang seimbang dalam pengelolaan dan pengembangan kawasan gunung api.
Dengan pengetahuan dan kesadaran yang baik, masyarakat diharapkan dapat menjadi garda terdepan dalam menghadapi potensi bahaya yang ada di sekitar mereka, sehingga keberlangsungan hidup harmoni dengan gunung api dan panas bumi dapat terwujud. (nid/skn)