Oleh : Akhmad Muwafik Saleh*
Fenomena mudik mungkin hanya ada di budaya nusantara kita. Mudik berasal dari sandi kata bahasa Jawa Ngoko yaitu mulih dilik yang berarti mudik adalah kegiatan perantau/ pekerja migran untuk kembali ke kampung halamannya. Mudik bermakna pula orang udik yaitu orang desa/kampung. Fenomena mudik pada masyarakat Islam di nusantara memiliki beragam makna yang terkait dengan perjalanan spiritual yang dilakukan menjelang lebaran setelah orang melakukan aktivitas ibadah puasa. Masyarakat nusantara lebih suka merayakan lebaran nya bersama orang-orang Kampung tempat di mana dia berasal.
Mudik mungkin lebih dikenal pada masyarakat perantau atau pekerja di luar kota. Merantau atau berpindah tempat tinggal dari daerah asal untuk mendapatkan kehidupan yang lebih baik. Merantau adalah sunnatullah bagi setiap orang agar mendapatkan penghasilan, penghidupan termasuk dalam menuntut ilmu. Bahkan Rasulullah mengajarkan hijrah dari tempat yang tidak kondusif (makkah) menuju tempat yang lebih baik dan kondusif (madinah). Demikian imam syafi’i dalam sebuah syair nya :
مَا فِي المُقَامِ لِذِيْ عَقْلٍ وَذِيْ أَدَبٍ # مِنْ رَاحَةٍ فَدعِ الأَوْطَانَ واغْتَرِب
Orang berilmu dan beradab tidak diam beristirahat di kampung halaman. # Tinggalkan negerimu dan hidup asing (di negeri orang).
سَافِرْ تَجِدْ عِوَضاً عَمَّنْ تُفَارِقُهُ # وَانْصَبْ فَإنَّ لَذِيذَ الْعَيْشِ فِي النَّصَبِ
Kau akan dapatkan pengganti dari orang-orang yang engkau tinggalkan (kerabat dan kawan) # Berlelah-lelahlah, manisnya hidup terasa setelah lelah berjuang.
إِنِّي رَأَيْتُ وُقُوْفَ المَاءَ يُفْسِدُه # إِنْ سَاحَ طَابَ وَإنْ لَمْ يَجْرِ لَمْ يَطِبِ
Aku melihat air menjadi rusak karena diam tertahan # Jika mengalir menjadi jernih, jika tidak, akan keruh menggenang
وَالأُسْدُ لَوْلَا فِرَاقُ الأَرْضِ مَا افْتَرَسَتْ # وَالسَّهْمُ لَوْلَا فِرَاقُ القَوْسِ لَمْ يُصِبْ
Singa jika tak tinggalkan sarang, tak akan dapat mangsa #Anak panah jika tak tinggalkan busur, tak akan kena sasaran.
وَالشَّمْسُ لَوْ وَقَفَتْ فِي الفُلْكِ دَائِمَةً # لَمَلَّهَا النَّاسُ مِنْ عُجْمٍ وَمِنَ عَرَبِ
Jika matahari di orbitnya tak bergerak dan terus berdiam # tentu manusia bosan padanya dan enggan memandang.
وَالتُرْبُ كَالتُرْبِ مُلْقًى فِي أَمَاكِنِهِ # وَالعُوْدُ فِي أَرْضِهِ نَوْعٌ مِنْ الحَطَبِ
Bijih emas tak ada bedanya dengan tanah biasa di tempatnya (sebelum ditambang) # Kayu gaharu tak ubahnya seperti kayu biasa jika di dalam hutan.
فَإِنْ تَغَرَّبَ هَذَا عَزَّ مَطْلُبُهُ# وَإِنْ تَغَرَّبَ ذَاكَ عَزَّ كَالذَّهَبِ
Jika gaharu itu keluar dari hutan, ia menjadi parfum yang tinggi nilainya # Jika bijih memisahkan diri (dari tanah), barulah ia dihargai sebagai emas murni.
Mudik seakan milik para perantau walaupun sejatinya mudik adalah milik siapa saja yang berpindah atau keluar dari tempat asal kelahirannya. Dengan mudik masyarakat ingin menegaskan bahwa mereka berasal dari desa tempat dimana dia dilahirkan, dibesarkan oleh sejarah dan ada interaksi sosial di sana, ada nilai-nilai yang dibangun bersama, ada romantisme sejarah, ada nilai-nilai kehidupan yang diajarkan semasa dia di desa.
Mudik adalah untuk menegaskan nilai-nilai kearifan masa lalu dan kembali mengasah nilai-nilai itu untuk dihadirkan kembali dalam kehidupan dan dengan mengingat-ingat proses perjalanan sejarah melalui interaksi selama pulang di kampung dengan silaturahim dan anjangsana pada saat mudik lebaran tersebut.
Nilai-nilai kearifan itu kembali menguat melalui cerita-cerita antar sanak keluarga, teteman, tetangga dalam silaturahim dan telusur jejak sejarah yang kemudian dibawa pulang ke tempat di mana dia berdomisili saat ini saat ini sebagai landasan rujukan mensikap kehidupan secara arif.
Revitalisasi nilai-nilai ini dirasa sangat penting untuk memberikan bangunan dasar perilaku tentang bagaimana seseorang menjalani interaksi dan kehidupannya, tentang bagaimana nilai-nilai akhlak dahulunya dibangun, tentang bagaimana nilai-nilai kebersamaan dirajut saat itu, tentang bagaimana nilai-nilai spiritualitas dikuatkan semasa mendalami agama di surau-surau kala itu, tentang bagaimana nilai-nilai kesederhanaan disaat semua fasilitas serba terbatas namun segala kebutuhan dan keperluan bisa dipenuhi dengan cara kreatif dengan mengandalkan pada apa yang ada di kampung pada saat itu.
Nilai-nilai itu kemudian di-sharing-kan dan diceritakan dari generasi ke generasi melalui proses enkulturasi sebagai sebuah proses pengajaran nilai kearifan lokal antar generasi sehingga ada upaya ketersambungan sejarah dan pengajaran nilai pada anak-anak agar mereka bisa melanjutkannya dalam realitas masa yang telah dan terus berubah.
Mudik sekaligus pula sebagai wujud deklarasi sukses dan rasa syukur atas karunia yang telah Allah berikan selama mereka merantau dengan berbagi rezeki pada sanak keluarga, tetangga, kerabat dan teman-teman semasa hidup bersama di kampung dahulu. Termasuk pula berbagi cerita sukses guna membangun inspirasi bersama untuk melangkah menuju masa depan yang lebih baik.
Inilah mekanisme transfer informasi dan pengalaman yang sangat efektif sekaligus penguatan revitalisasi nilai-nilai kehidupan di saat dunia sudah semakin berubah dengan berbagai perkembangan teknologi yang semakin sulit dikontrol.
Realitas interaksi hidup bermedia yang menjadi ciri masyarakat modern saat ini telah menanggalkan akhlak dan adab dalam proses interaksi khususnya dalam bermedia sosial. Fenomena mudik seakan menghidupkan kembali nilai-nilai akhlak dan adab dalam berinteraksi dengan sesama melalui romantisme cerita-cerita masa lalu tentang bagaimana seseorang bersikap saat berinteraksi dengan orang yang lebih tua, saat mendengarkan petuah-petuah, dan bersikap sopan saat sedang dalam silaturahim dan sebagainya.
Nilai-nilai adab ini serasa hadir kembali saat mudik di kampung halaman. Ibarat oase di tengah kekeringan akhlak dan rendahnya moral masyarakat modern, masyarakat dunia maya yang telah menghilangkan sensitifitas akhlak adab dalam berkomunikasi antar sesama yang semuanya dianggap sejajar setara.
Saat mudik di kampung halaman itulah kita dibuka kembali memori dan diingatkan kembali atas nilai-nilai kesopanan, akhlaq dan adab yang dulu pernah dibangun dalam kehidupan masyakat desa tentang bagaimana harusnya bersikap terhadap sesama dalam beragam levelnya.
Mudik telah menghidupkan kembali nilai-nilai kemanusiaan kita sebagai manusia yang beradab untuk kembali memanusiakan manusia. Selamat mudik, selamat menemukan kembali nilai-nilai kearifan di tempat asal kita, tanah tumpah darah kelahiran, tempat ari-ari kita dikubur.
Semoga mudik kita membawa berkah dan kemanfaatan bagi diri dan sesama. Karena sebaik-baik manusia adalah yang bermanfaat bagi sesama. Taqabbalallahu minna wa minkum. Rabbanaa taqabbal minnaa.. Aamiiiin….(ams)
*)Akhmad Muwafik Saleh, Dosen Departemen Ilmu Komunikasi FISIP UB, Pengasuh Ponpes Mahasiswa Tanwir al Afkar Malang.