Oleh : Ninda Cattleya*
Menurut data yang dikutip dari Badan Pusat Statistik (BPS) pada tahun 2024, angka pernikahan di Indonesia kembali alami penurunan. Bahkan selama satu dekade terakhir Indonesia sudah alami penurunan angka pernikahan sebesar 28,63%. Terdapat beberapa daerah yang mendapati sorotan, seperti daerah DKI Jakarta yang alami penurunan sampai angka 4.000, daerah Jawa Barat yang penurunannya mencapai 29.000, Jawa Tengah yang juga hampir sama yaitu sampai 21.000, dan Jawa Timur yang menurun sampai sekitar 13.000. Ini hanya data pada tahun 2024, sedangkan BPS juga menyebutkan pada tahun 2023 jikalau angka pernikahan tahun itu mencapai 1.577.255, dimana hal ini mengalami penurunan sebanyak 128.000 dibandingkan tahun 2022. Penurunan ini dipengaruhi oleh beberapa faktor seperti kondisi ekonomi, kesiapan secara mental, tingkat fatherless yang masih tinggi, terlalu banyak munculnya kasus perceraian, perselingkuhan, serta KDRT yang membuat generasi saat ini mempertimbangkan pernikahan dengan lebih hati-hati.
Fatherless menjadi salah satu faktor yang perlu diperhatikan, memang belum ada penelitian pasti mengenai peringkat negara Indonesia sebagai negara fatherless. Namun, kondisi fatherless bisa dirasakan dalam kehidupan masyarakat di Indonesia. Apalagi masih adanya budaya patriarki dimana laki-laki biasanya ditempatkan dalam mengurus kehidupan ekonomi dan perempuan akan ditempatkan sebagai pengurus anak dan domestik. Ayah yang kurang berkontribusi dalam pengasuhan anak bisa mempengaruhi kondisi psikologis anak. Terutama pada anak perempuan yang alami kondisi fatherless, beberapa dari mereka memiliki ketakutan akan perpisahan, rasa percaya diri yang rendah, kondisi emosional yang kurang terkontrol, tidak bisa memberi kepercayaan pada pihak laki-laki dalam suatu hubungan, dan tidak mengharapkan hubungannya akan selalu berjalan bahagia. Hal ini juga mempengaruhi anak laki-laki dimana mereka tidak memiliki panutan dimana mereka seharusnya bisa mempelajari cara memperlakukan orang lain dengan baik, kehilangan kontrol diri secara emosional, tidak pandai menyelesaikan masalah, dan kurang memahami caranya bertanggung jawab.
Memangnya Apa Itu Fatherless?
Fatherless adalah kondisi dimana tidak adanya peran dan figur ayah dalam membimbing kehidupan seorang anak (Buckley, 2018). Sejumlah penelitian menemukan bahwa anak yang alami fatherless memiliki kecenderungan merasa rendahnya harga diri, kesepian, mudah cemburu, tidak berani mengambil resiko, rendahnya kemampuan dalam mengontrol diri (Salsabila dkk, 2020). Apalagi pada masa dewasa awal ketika mereka mengalami perkembangan dan dihadapkan dalam tanggung jawab untuk membangun rumah tangga. Mereka akan cenderung memiliki masalah emosional, ekonomi, kenakalan remaja, dan juga masalah akademik. Peran ayah tidak hanya dibutuhkan anak laki-laki namun juga anak perempuan. Adanya peran ayah dalam mendidik anak perempuan yaitu agar sang anak dapat berpikir lebih rasional, sedangkan pada anak laki-laki mengajarkan keberanian pada sikap kepemimpinannya (Auni, 2017). Pengaruh peran ayah disini cukup besar terutama pada anak perempuan, karena hal ini biasanya akan mempengaruhi pandangan sang anak dalam hubungan sosialnya dengan lawan jenis.
Namun, pemahaman akan pentingnya peran ayah dalam perkembangan anak masih sulit untuk direalisasikan karena pengaruh tingginya tingkat patriarki dan budaya di Indonesia. Masih banyak budaya yang menganggap peran seorang ayah hanya untuk memenuhi kebutuhan ekonomi keluarga, sedangkan tugas domestik dan mengurus anak akan diberikan kepada pihak ibu. Padahal nyatanya peran kedua orang tua dalam mengurus dan membangun karakter anak sangat penting. Peran keduanya sangat diperlukan, contohnya seperti pembangunan rasa kasih sayang yang dicontohkan oleh ibu dan dilengkapi dengan pendampingan oleh ayah untuk membangun rasa tanggung jawab pada sang anak. Ayah juga memiliki peranan dalam membentuk hubungan dengan sang anak yang berkualitas, seperti bagaimana sang ayah memberi kasih sayang, kepedulian, dan sikap yang suportif kepada sang anak.
Selain karena alasan pemahaman peran yang salah di masyarakat, fatherless juga didapat karena angka perceraian yang tinggi. Angka kasus perceraian di Indonesia menurut BPS pada tahun 2024 sendiri mencapai 463.654 kasus. Hal ini disebabkan adanya perselisihan yang tidak terselesaikan atau bahkan perselingkuhan yang membuat sang anak harus ikut tinggal dengan salah satu pihak orang tua saja. Sang anak menjadi kehilangan peran salah satu orang tua ketika peran kedua orang tuanya sedang diperlukan dalam pertumbuhan kemampuan kognisi dan kondisi kesehatan mentalnya.
Kondisi Fatherless Pengaruhi Pola Pikir Mengenai Makna Pernikahan
Kini, pemikiran bahwa seorang anak hanya memerlukan sosok seorang ibu untuk menyangga tumbuh kembangnya perlu dihilangkan. Nyatanya seorang anak mencontoh pola pikir dan pengalaman lingkungan di sekitarnya. Kedua orang tua memiliki peranan penting untuk memastikan agar sang anak memiliki gambaran dan pemahaman yang positif mengenai apa itu pernikahan. Pemaksimalan peran orang tua ini bisa dikuatkan dengan meminimalisir munculnya budaya patriarki yang memperkuat kondisi fatherless.
Budaya patriarki ini sebenarnya masuk ke dalam bentuk “kebudayaan” dimana awalnya masyarakat membangun dan menempatkan nilai-nilai sosial dan “harapan” tertentu terhadap gaya hidup individu. Hal ini diharapkan agar bisa meningkatkan kualitas hidup kelompok masyarakat yang terikat dalam budaya itu. Hanya saja penempatan budaya ini tidak relevan, dilihat dari pengetahuan yang semakin maju dan meningkatnya penelitian dalam mencari kebenaran, manusia berkembang dan memilih berpikir secara logis daripada “mengikuti” aturan lampau yang dirasa lebih membawa dampak negatif dalam kehidupan. Kesetaraan gender itu penting apalagi dalam kasus ini keduanya memiliki peran yang sama sebagai orang tua yang membimbing anaknya.
Tidak hanya itu, kondisi fatherless juga bisa pengaruhi cara pandang seorang anak mengenai pernikahan atau hubungan asmara. Sang anak bisa saja memiliki rasa takut, rasa curiga yang berebihan, takut direndahkan, ingin diayomi, kurang percaya terhadap pasangan, takut dengan pernikahan karena kondisi keluarga, sulit untuk mempercayai laki-laki, merasakan sedih dan kecewa, dan merasa cukup menjalani suatu hubungan saja tanpa berharap lebih terhadap kelanjutan hubungan yang dijalani (Wahyuni dkk, 2023). Hal ini bisa membuat seseorang berpikir kembali mengenai pilihan untuk menikah.
Mengatasi Fatherless
Pertama, langkah awal dalam mengatasi Fatherless adalah dengan menyadari kesiapan dalam menikah dan mengurus anak. Sebelum memutuskan untuk membentuk sebuah keluarga, penting untuk mempertimbangkan kesiapan secara fisik, mental, dan emosional.
Kedua, penting untuk menjauhi lingkungan dan pergaulan yang buruk. Meskipun keputusan menikah sepenuhnya ada di tangan individu, lingkungan yang mendukung perkembangan keluarga yang sehat sangatlah penting.
Ketiga, penting untuk menghilangkan sistem patriarki dan mulai mendidik masyarakat tentang pentingnya peran ayah dalam keluarga, baik secara fisik maupun emosional. Pendidikan tentang kesetaraan gender dan peran orang tua yang setara dapat membantu menciptakan lingkungan yang lebih mendukung untuk anak-anak yang tumbuh besar tanpa figur ayah.
Terakhir, penting untuk memahami posisi anak yang tumbuh tanpa ayah dan berusaha untuk memastikan bahwa peran sebagai ayah dan ibu tidak pernah terputus. Dengan memberikan dukungan, cinta, dan perhatian yang cukup, kita dapat membantu anak-anak tersebut tumbuh dan berkembang secara sehat meskipun dalam kondisi Fatherless.
*) Ninda Cattleya, Mahasiswa Semester 2, Prodi Psikologi, Fisip UB