Oleh : Sabrina Dewi Cahyani*
Dalam era informasi digital seperti sekarang, informasi dapat menyebar dengan cepat dan merata di seluruh dunia hanya dengan beberapa klik. Ini membuka pintu bagi berita, baik yang akurat maupun tidak, untuk menyebar dengan cepat dan memengaruhi opini publik tanpa verifikasi yang memadai. Namun, mengapa begitu banyak orang cenderung mempercayai hoaks tanpa memeriksa kebenarannya?
Apakah Anda pernah membaca berita mengenai fenomena alam yang menakutkan, hanya untuk kemudian mengetahui bahwa berita tersebut adalah hoaks? Contohnya, rumor tentang meteor besar yang akan menabrak bumi atau klaim palsu mengaitkan gerhana dengan bencana alam. Beberapa waktu lalu, beredar kabar bahwa Indonesia akan gelap selama 72 jam pada tanggal 8 April 2024, namun setelah ditelusuri, ternyata berita tersebut adalah hoaks karena tidak ada gerhana yang terjadi.
Salah satu kesalahan berpikir yang sering terjadi di media sosial adalah “appeal to emotion” atau memanfaatkan emosi untuk menarik perhatian dan membuat orang lebih rentan terhadap hoaks. Kesalahan ini terjadi ketika argumen didasarkan pada emosi daripada bukti atau logika yang kuat. Para penyebar hoaks seringkali menggunakan emosi sebagai alat untuk memperkuat argumen mereka, bahkan jika argumen tersebut tidak masuk akal atau menyesatkan.
Appeal to emotion sering kali memanfaatkan emosi negatif, seperti rasa takut, marah, atau sedih, tetapi juga bisa memancing emosi positif, seperti senang atau simpati. Namun, menggunakan emosi sebagai dasar argumen sering kali mempersulit pengidentifikasian kebenaran informasi. Kita cenderung lebih mudah dipengaruhi oleh emosi daripada logika atau fakta.
Para penyebar hoaks sering menggunakan appeal to emotion untuk menimbulkan ketakutan dan kepanikan di masyarakat, terutama ketika berkaitan dengan fenomena alam. Mereka memanfaatkan ketakutan alami kita akan bencana alam untuk mendukung pesan mereka, bahkan jika klaim tersebut tidak didasarkan pada bukti yang valid. Namun, penting untuk tetap tenang dan rasional dalam menghadapi informasi yang memicu emosi. Jangan terburu-buru percaya atau menyebarkan informasi tanpa memeriksa kebenarannya terlebih dahulu.
Untuk mengatasi penyebaran hoaks, penting bagi kita untuk meningkatkan kesadaran akan jenis-jenis kesalahan berpikir yang sering digunakan dalam hoaks. Dengan memahami cara kerja hoaks dan cara membedakan informasi yang valid dari hoaks, kita dapat menjadi lebih waspada dan kritis terhadap informasi yang kita terima.
Menghadapi fenomena alam yang tidak dapat diprediksi memang menakutkan, namun menyebarkan informasi palsu atau hoaks hanya akan menambah kebingungan dan kepanikan di masyarakat. Kita semua memiliki tanggung jawab untuk memeriksa kebenaran informasi sebelum menyebarkannya, terutama ketika informasi tersebut dapat memengaruhi keselamatan dan kesejahteraan kita.
*) Sabrina Dewi Cahyani, Mahasiswa Semester 2, Prodi Psikologi, Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik Universitas Brawijaya