Oleh : Dinda Khalisa Khalifatunnisa*
Artikel ini bergerak dari keresahan penulis sebagai seorang remaja yang baru saja menjadi mahasiswa di perantauan dan sedang ditempa dalam proses pencarian jati diri sehingga kerap mempertanyakan arti kehidupan. Banyak orang mengucapkan selamat kepada seorang anak yang baru saja berhasil lolos ujian masuk salah satu universitas ternama di negaranya. Sang anak yang mendapat banyak ucapan selamat dan pujian dari banyak kerabatnya lantas merasa senang dan mendefinisikan hal tersebut sebagai sebuah kebahagiaan yang patut disyukuri. Selang beberapa waktu, sang anak mulai merasa terjebak dalam kesendirian akibat terbatas jarak oleh orang yang dikasihnya disertai rasa bersalah karena mengingat umur orang tuanya yang semakin bertambah, hingga akhirnya muncul sebuah pertanyaan, apakah ini definisi kebahagiaan yang ia yakini sebelumnya?
Sebelum mendalami lebih jauh tentang topik menarik yang menurut penulis kerap dirasakan banyak individu karena bersifat universal dan menyangkut setiap sendi kehidupan manusia karena berkaitan dengan arti kehidupan ini, mari kita kulik terlebih dahulu terkait definisi dari kebahagiaan itu sendiri. Psikologi modern mendefinisikan kebahagiaan sebagai subjective wellbeing atau kesejahteraan subjektif. Hal ini berarti setiap individu memiliki definisi kebahagiaannya sendiri tergantung kondisi kesejahteraan mereka.
Contoh mudahnya adalah saat seseorang yang sakit akan mendefinisikan sehat sebagai kebahagiaan, begitupun seseorang yang miskin akan mendefinisikan kaya sebagai kebahagiaan. Menilik sejarah dari pengertian kebahagiaan, seorang filsuf dari zaman yunani kuno bernama Democritus berpendapat bahwa kebahagiaan adalah ‘case of mind‘, dimana berisi pandangan subjektif mengenai apa itu kebahagiaan. Disisi lain, Socrates dan Plato mendefinisikan kebahagiaan melalui kacamata yag lebih objektif, dengan mengembangkan gagasan bahwa kehidupan terbaik adalah kehidupan di mana seseorang mengejar kesenangan dalam menjalankan kebajikan intelektual yang mana hal ini tidak sama dengan definisi kebahagiaan menurut salah seorang filsuf yang terkenal dengan silogisme, yaitu Aristoteles.
Aristoteles memperkenalkan istilah “eudaimonia” atau kebahagiaan untuk menggambarkan teori kebahagiaan yang dikembangkannya. Dalam prosesnya, Aristoteles menekankan bahwa manusia memiliki kapasitas rasional yang membedakannya dari hewan sehingga mencapai kebahagiaan melibatkan lebih dari sekadar pengejaran kesenangan. Dalam hal ini, kesenangan bukan hal yang semata dicari untuk mencapai kebahagiaan. Konsep eudaimonia bagi Aristoteles bukan hanya sekedar kesenangan atau kebajikan, melainkan merupakan aktivitas yang mengekspresikan kebajikan. Salah satu komponen utama dalam teori kebahagiaan Aristoteles adalah kebajikan.
Aristoteles berpendapat bahwa memiliki ‘kebajikan yang utuh’ atau karakter moral yang baik merupakan faktor kunci dalam mencapai kebahagiaan. Pertanyaan tentang tujuan akhir manusia menjadi dasar utama dalam pengembangan teori kebahagiaan oleh Aristoteles. Penulis menemukan ketertarikan dari pernyataan Aristoteles yang menyatakan bahwa kebahagiaan merupakan proses sepanjang hidup. Dengan demikian, kebahagiaan bukanlah kondisi sementara, melainkan sebuah tujuan seumur hidup yang memberi dorongan untuk memiliki kehidupan yang bermakna sekaligus menekankan arti penting sebuah tujuan akhir hidup – mencapai eudaimonia (kebahagiaan). Oleh karena itu, kebahagiaan dan proses menuju kebahagiaan merupakan dua hal yang tidak dapat dipisahkan sehingga kebahagiaan bukan merupakan akhir dari segalanya, melainkan proses yang terlibat didalamnya.
Dalam menjalani kehidupan, manusia tidak terlepas dari kesukaran maupun kemudahan. Dalam hal ini, manusia perlu mengatur sudut pandangnya sendiri dalam merespon kesulitan yang sedang dihadapi. Melalui konsep kebahagiaan menurut Aristoteles, pengertian tentang adanya penderitaan akibat keyakinan bahwa kebahagiaan hanya terletak diakhir dapat digeser dengan proses menuju kebahagiaan atau dengan kata lain dengan mengubah perspektif penderitaan menjadi proses menuju kebahagiaan. Dengan hal ini, manusia dapat memandang suatu kejadian dalam hidupnya dengan lebih jelas dan optimis.
Kebahagiaan tidak terlepas dari ilmu pengetahuan. Aristoteles percaya bahwa kemampuan penalaran merupakan hal yang paling istimewa yang dimiliki manusia. Oleh karena itu, ia berpendapat bahwa kegiatan menalar yang sungguh-sungguh adalah cara terbaik bagi manusia untuk menghabiskan waktunya. Dengan menggunakan penalaran secara baik, manusia dapat memperoleh pengetahuan yang terbaik, dan dengan pengetahuan itu, mereka dapat mencapai kebahagiaan.
Menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI), Ilmu adalah pengetahuan tentang suatu bidang yang disusun secara bersistem menurut metode, sarana, dan alat tertentu. Disisi lain, pengetahuan adalah sejumlah informasi yang diperoleh manusia meski tidak melalui proses pengamatan, pengalaman, dan penalaran. Dengan demikian, menurut Karl Pearson, ilmu pengetahuan adalah lukisan atau keterangan yang lengkap dan konsisten tentang fakta pengalaman dengan istilah yang sesederhana atau sesedikit mungkin.
Dalam proses menuju kebahagiaan, Aristoteles meyakini bahwa refleksi rasional dan praktik kebajikan perlu dilakukan oleh individu. Refleksi rasional adalah suatu proses pemikiran yang menggunakan logika dan penalaran untuk memahami dan mengevaluasi informasi serta situasi, tanpa bergantung pada keyakinan berdasarkan tradisi maupun mitos. Hal ini sejalan dengan konsep ilmu pengetahuan sehingga dapat diaplikasikan dalam kehidupan sehari-hari.
Disisi lain, praktik kebajikan menurut aristoteles berarti bahwa setiap aktivitas memiliki tujuan mengejar kebaikan. Dalam hal ini, cara pandang positif dalam menghadapi suatu kondisi perlu dilakukan untuk mencapai tujuan kebahagiaan. Cara pandang merupakan hal yang dapat dikontrol oleh manusia. Setiap individu memiliki kebebasan dalam memiliki sudut pandang yang ingin ia gunakan dalam memandang masalah dan memberi respon sadar terhadap kondisi tersebut.
Oleh karena itu, proses menuju kebahagiaan dimulai dengan usaha untuk memperbaiki keadaan internal, dilanjut dengan praktik eksternal yang keduanya memiliki kesinambungan dengan pemanfaatan ilmu pengetahuan dalam pengaplikasiannya. Refleksi rasional dan praktik kebajikan tercermin dalam kesesuaian antara gaya hidup, pemikiran, dan individu. Mulai dengan pemikiran positif tanpa prasangka negatif apapun dan meyakini bahwa kebahagiaan merupakan proses sepanjang hidup di mana kita perlu memfokuskan diri pada proses menuju kebahagiaan itu bisa menjadi langkah awal mencapai tujuan akhir – eudaimonia (kebahagiaan).
*)Dinda Khalisa Khalifatunnisa, Mahasiswa semester 2,Prodi Psikologi, Fakultas Ilmu Sosial Ilmu Politik Universitas Brawijaya