Oleh : Mohamad Anas*
Salam lintas agama sering kali menjadi topik kontroversial di tengah masyarakat Indonesia yang multikultural. Dengan berbagai agama yang dianut oleh warga, isu ini memicu perdebatan tentang batas-batas toleransi dan moderasi beragama. Fatwa Majelis Ulama Indonesia (MUI) tentang pengucapan salam lintas agama menekankan bahwa salam lintas agama bukan merupakan implementasi toleransi yang dibenarkan. Pengucapan salam yang bersifat doa dalam agama Islam harus mengikuti ketentuan syariat dan tidak boleh dicampur dengan salam agama lain. Fatwa ini menyatakan bahwa toleransi beragama harus dilakukan dalam ranah muamalah dan bukan akidah.
Makna Salam dari Berbagai Agama
Berbagai agama memiliki salam masing-masing dengan makna yang mendalam. Dalam Islam, “Assalamualaikum warahmatullahi wabarakatuh” berarti “Semoga keselamatan dan rahmat Allah serta keberkahan-Nya terlimpah kepada kalian”. Salam ini mengandung doa untuk keselamatan di dunia dan akhirat.
Dalam agama Katolik dan Kristen, “Shalom” atau “Salam sejahtera bagi kita semua” berarti damai, tanpa kehilangan, tanpa perpecahan, dan penuh kesehatan. Shalom adalah kata dalam bahasa Ibrani yang membawa makna damai sejahtera dan keutuhan.
Dalam agama Hindu, “Om Swastiastu” berarti “semoga berada dalam keadaan baik atas karunia Hyang Widhi (Tuhan)”. Ini adalah doa agar penerima salam selalu dalam keadaan baik dan dilindungi oleh Tuhan.
Dalam agama Buddha, “Namo Buddhaya” berarti “Terpujilah Sang Buddha”. Salam ini merupakan ungkapan penghormatan kepada Buddha.
Dalam agama Konghucu, “Salam Kebajikan” berarti “Hanya Kebajikanlah yang Bisa Menggerakkan Tian (Tuhan)”. Ini menekankan pentingnya kebajikan dalam menjalani kehidupan.
Kerangka Regulasi dan Teori Toleransi
Kerukunan umat beragama di Indonesia diatur oleh Peraturan Bersama Menteri Agama dan Menteri Dalam Negeri Nomor 9 Tahun 2006. Pasal 1 menyebutkan bahwa kerukunan umat beragama adalah keadaan hubungan sesama umat beragama yang dilandasi toleransi, saling pengertian, saling menghormati, menghargai kesetaraan dalam pengalaman ajaran agamanya, dan kerjasama dalam kehidupan bermasyarakat, berbangsa, dan bernegara di dalam NKRI dan UUD 1945.
Tugas dan kewajiban gubernur mencakup memelihara ketenteraman dan ketertiban masyarakat, memfasilitasi terwujudnya kerukunan umat beragama, mengoordinasikan kegiatan instansi vertikal di provinsi dalam pemeliharaan kerukunan umat beragama, serta menumbuhkembangkan keharmonisan, saling pengertian, saling menghormati, dan saling percaya di antara umat beragama.
Rainer Forst dalam bukunya “Toleration in Conflict” menguraikan konsep toleransi sebagai penghormatan, ko-eksistensi, dan esteem tolerance. Toleransi bukan hanya tentang hidup berdampingan dengan damai, tetapi juga tentang menghargai dan mengakui keberadaan serta nilai-nilai yang dipegang oleh orang lain.
Prinsip Dasar Moderasi dan Indikatornya
Moderasi dalam beragama dapat diterapkan melalui tiga prinsip: moderasi pemikiran, moderasi gerakan, dan moderasi perbuatan. Moderasi pemikiran melibatkan interpretasi teks keagamaan dalam konteks yang relevan dengan zaman sekarang. Sebagai contoh, kata “jihad” dalam konteks modern lebih relevan diartikan sebagai perjuangan dalam kebaikan, bukan peperangan.
Moderasi gerakan menekankan pada prinsip kebaikan bersama sambil tetap mengakui hak individu. Moderasi perbuatan mengacu pada refleksi nilai-nilai universal agama dalam kehidupan sehari-hari yang sejalan dengan Pancasila. Indikator moderat meliputi komitmen kebangsaan, toleransi, dan prinsip nir kekerasan atau mengedepankan dialog.
Agama, Dialog, dan Local Wisdom
Konsep local wisdom atau kearifan lokal yang mengedepankan persaudaraan kemanusiaan efektif dalam membangun sikap toleransi. Pemahaman agama yang esensial mendukung praktik toleransi ini, di mana agama tidak dipahami sebagai ritus yang menonjolkan perbedaan dogma, tetapi sebagai jalan religiusitas yang mengajarkan kebaikan.
Hans Küng menekankan pentingnya mencari etika universal dari setiap agama dan menemukan isu-isu kemanusiaan universal agar dapat ditarik benang merah etika global yang disepakati.
Jurgen Habermas dalam teorinya tentang tindakan komunikatif membagi dunia menjadi tiga: alam eksternal, alam internal, dan masyarakat. Alam eksternal berkaitan dengan hubungan subyek pengetahuan terhadap kejadian-kejadian dan fakta-fakta dunia. Alam internal mengacu pada keinginan subyek kepada subyektivitasnya dan subyektivitas orang lain. Dunia masyarakat berhubungan dengan tindakan sosial praktis di mana subyek menjalin interaksi dengan yang lain.
Klaim dan Masyarakat Komunikatif
Salam lintas agama merupakan inovasi sosial yang bertujuan menumbuhkan relasi pengakuan secara simbolik terhadap keberadaan agama lain. Dunia intersubjektif masyarakat memiliki praktik dan bentuk toleransi yang sangat beragam dan unik, termasuk salam lintas agama. Kesepakatan norma di masyarakat menjadi pondasi, sementara fatwa keagamaan berada pada dunia objektif di mana klaim kebenarannya bersifat salah atau benar.
Kesepakatan norma di masyarakat yang telah masuk di ruang publik, seperti salam lintas agama, memiliki sisi relativitas masing-masing. Oleh karena itu, yang dikejar bukanlah kesepakatan universal, melainkan pengakuan, penghormatan, dan kerjasama.
Salam lintas agama sebagai bentuk komunikasi dan toleransi interfaith harus dipahami dalam konteks yang lebih luas. Penting untuk menghormati fatwa dan panduan agama, namun juga perlu membuka ruang dialog dan pengertian dalam keberagaman. Dalam menghadapi tantangan global dan nasional, pendekatan moderat yang mengedepankan keseimbangan dan saling menghormati akan menjadi kunci untuk membangun masyarakat yang damai dan harmonis.
*)Dr. Mohamad Anas, M.Phil, Kepala UPT Pengembangang Kepribafian Mahasiswa Universitas Brawijaya, Ketua Lakpesdam NU Kota Malang, Dosen Sosiologi FISIP UB