Bediding sebagai Fenomena Alam Tahunan
Beberapa minggu terakhir, Malang Raya berganti kondisi udara, bak “kulkas raksasa”. Begitu surup (senja) tiba, rasa “nyes” di kulit arinmulai terasa. Yang semakin atis atau tiris (dinigin) demikian memasuki waktu malam. Jaket, sarung, syal, switer, kemul, dan penghangat lain menjadi diperlukan kontribusinya. Kota Malang yang konon disebut “Kota Dingin” dan perlahan kian “kehilangan dinginnya” lantaran padat penghuni dan dijejali polusi gas buang pabrik serta kendaraan bermotor, pada pertengahan Juni hingga pertengahan Agustus seakan kembali “ke fitroh”-nya sebagai “Kota Dinigin”. Sesekali terlihat sejumlah orang yang mengerumuni diang (api unggun) untuk “nyudo adem (mengurangi dingin). Hawa dingin kian tambah menguat bila menuju ke arah Sengkaling, terlebih ke Batu. Begitu pula apaila ke Lawang, Dampit hingga Ampel Gading. Pendek kata, warga Malang Raya tengah “penen adem (panen dingin)”.
Pada dataran tinggi Dieng dan Bromo-Seneru bahkan terjadi fenomena “embun beku/es” lantaran suhu udara turun drastis hingga mencapai “derajad minus”, sehingga muncul sebutan keren misalnya “frozen Bromo“. Suatu fenomena alam yang justru diminati oleh para wisatawan. Demikian dinginnya, embun malam terlihat di pagi hari membaluti daun ilalang dan dedaunan tanaman sayur-mayur budidaya petani. Serbuk es ini dapat menyebabkan tanaman sayur mati, seolah terkena embun yang berbisa. Terkait itu, dalam istilah Tengger ada sebutan “bun upas (embun berbisa)”. Konon, untuk mencegah matinya tanaman sayur-mayur lantaran bun upas, para petani sayur Temgger mengkompres tanamannya dengan air yang dicampur dengan gerusan adas. Memang, pada dataran tinggi Tengger banyak didapat rumput- rumput adas, yang umbian pada akarnya antara lain dapat dimanfaatkan buat mengompres sayur-mayur — selain sebagai toga (tanaman obat) bersama dengan puloaras — sehingga ada sebutan “adas-pulowaras”. Kata “adas” itulah yang juga melatari penamaan desa terakhir (tertinggi) di Kecamatan Poncokusumo Kabupaten Malang dan sebuah desa di areal Tengger Kabupaten Pasuruan dengan nama “Desa Ngadas”.
Orang Jawa menyebut kurun waktu “sisipan musim” yang terasa dingin ini dengan “bediding“. Sebagai istilah, kata ini ternyata telah kedapatan semenjak Masa Hindu-Buddha, sebagai kosa kata dalam bahasa Jawa Tengahan. Adapun kata dasar (lingga, tembung linggo)-nya adalah “diding“, dengan kata jadian “kamadidingen“, seperti terdapat dalan pustaka Sumanasantaka (28.26), yang secara harafiah berarti : menggigil karena demam atau dingin (Zoetmulder, 1995: 216). Efek dari hawa dingin tersebut memang bisa “menggigilkan badan (nggigil lumantar katisen)”. Dalam perkembangannya, kata dasar “diding” mendapat bentukkan menjadi “bediding”, yang lebih menunjuk kepada hawa yang dingin, bahkan amat dingin.
Bediding pada Sub-Musim “Transisi”
Bediding tak erjadi setiap bulan dalam setahun, namun hanya pada bulan-bulan tertentu, yakni dua bulan atau lebih sedikit, tepatnya kurun waktu “transisi (peralihan)” pada pasca musim penghujan (rendeng) ke kemarau (ketigo). Kurun waktu pendek ni dalam istilah klimatologi Jawa dinamai “wareng” atau “masa pancaroba” dalam bahasa Indonesia. Sebutan “wareng” dalam arti : transisi acapkali dipakai untuk menamai ayam jago (sebutannya “jago wareng”), yakni ayam jantan yang berada pada peralihan dari ayam usia anakan ke ayam usia dewasa . Pitik jago wareng telah mulai bisa berkokok (kluruk), meski kluruknya masih belum sempurna. Bediding oleh warga yang tingga du daerah tropis seperti di Indonesia dijadikan sebagai tengara (petanda) alamiah bahwa musim kemarau segera tiba atau malahan telah tiba “awal musim kemarau”.
Bersamaan dengan tibanya sub-musim bediding, bunga sejumpah tanaman mulai betmekaran. Oleh karena itu, kata “bediding” acap diikuti dengan nama bunga tanaman tertentu, seperti : bediding kembang randu, bediding kembang pelem (poh, mangga), dsb. Berbunganya tanaman buah itu merupakan berkah bagi para petani-pekebun, karena sebentar lagi mereka bakal menuai panen buah. Selain hawa dingin (bediding) dan musim bunga, ada petanda alam lain pada musim wareng sebagai segara tibanya musim kemarau, yakni terdengar suara khas dari insekta cenggeret (gareng pung). Nah, bediding dengan demikian berfungsi sebagai pemberi petunjuk (petunjuk alamiah) berkenaan dengan terjadinya alih musim dan jelang musim buah. Bagi para petani yang dikenal cermat (setiti) dalam memperhatikan fenomena alam, bediding adalah “petunjuk alamiah” yang penting bagi rotasi aktifitas agrarisnya terkait musim.
Pada wilayah Malang raya, begitu pula berbagai tempat di Jawa, sub-musim bediding hampir ajeg tiba di pertengahan bulan Juni, selama bulan Juli, hingga pertengahan Agustus. Bulan-bulan itulah yang karenanya dijuluki dengan “wulan/sasi bediding”, yakni bulan-bulan dingin dalam setiap tahun. Katika itu, pada siang hari udara tersa panas dan kering, namun berbalik dingin dan berembun di malam hari. Air pemukaan tidak hanya terasa sejuk (anyes), namun berubah menjadi dingin (adem, anyep), atau bahkan amat dingin (anyep/adem njejep). Oleh karena itu, difahami apabila yang biasanya mandi dengan air dingin (banyu adem), kala beding maunya sih mandi dengan air hangat (banyu anget) atau air rebusan (banyu jarang). Minuman dingin, terlebih ber-es kurang diminati. Sebaliknya, orang lebih berminat kepada minuman hangat atau yang berefek menghangatkan.
Penghangatan Tubuh Dikala Bediding
Sebagai “makhluk adaptif”, manusia berikhtiar menyesuaiksn diri dengan kondisi suhu udara dingin itu dengan perangkat budayanya. Busana hangat (jaket, switer, sarung, sleyer, kemul, dsb.) amat menolongnya, yakni guna mengurangi rasa dingin yang berlebih. Terkait dengan sarung, ada cara pemakaian sarung yang tidak biasa, yaitu dikemulkan ke badan untuk mengurangi rasa dingin yang menyengat tubuh, yang dinamai “redong-redong sarung”. Apabila tidur, maka kain hangat diselimutkan penuh (brukut), yang juga disebuti dengan “sembujung“. Atau bila masih terjaga dan berada di tempat terbuka, tak sedikit orang melakukan “api-api”, yakni memposisikan diri di dekat atau di sekeliling diang (api unggun). Adapun khusus bagi yang tengah berpacaran, bediding dijadikan “alibi alamiah” untuk lebih ‘lengket’ dengan sang pacar.
Bagi yang telah menikah, efeknya adalah tidak sedikit anak yang terlahir lantaran “keintiman suami-istri” di kala bediding tiba. Hal serupa juga terjadi pada dunia kucing, yang ditandai dengan “musim kawin kucing (kucing gandik)”. Serupa itu terjadi pada anjing. Musim kawin anjing bisa dilihat pada adanya “asu gancet” yang asyik- masyik bersenggama lama di tempat tebuka. Musim mediding di satu pihak menghadirkan kondisi picu bagi adanya “musim senggama” pada pihak lain, baik pada manusia maupun binatang. Ya memang, di hawa dingin butuh penghangatan, tidak terkecuali penghangatan seksual, sehingga ada perkataan “bediding enake yo kelonan (bediding enaknya ya tidur bersama”.
Demikianlah sekelumit paparan mengenai sub musim bediding. Fenomena alam yang walau cukup pendek waktu, namun mrmberi rona khas bagi kehidupan makhluk hidup (manudia, hewan ataupun tumbuhan). Semoga tulisan bersahaja ini memberikan kefaedahan. Nuwun.
Sangkaling, 25 Juni 2019.
Griya Ajar CITRALEKHA
M. Dwi Cahyono, Dosen Sejarah UM dan Budayawan Malang