KANAL24, Jakarta – Sensus triwulanan Japan Center for Economic Research ( JCER ) mencatat, penurunan prospek pertumbuhan ekonomi lima negara Asia Tenggara (ASEAN5) untuk keempat kali berturut-turut. Ketidakpastian penyelesaian perang dagang AS-China, yang telah menyebabkan penurunan ekspor di seluruh kawasan.
Survei konsensus triwulanan JCER yang dilakukan dari tanggal 7 hingga 28 Juni, terhadap 43 ekonom dan analis di lima anggota terbesar ASEAN – Indonesia, Malaysia, Filipina, Singapura dan Thailand, memperlihatkan bahwa para ekonom Asia percaya bahwa ketidakpastian akan terus berlanjut.
Perkiraan pertumbuhan rata-rata tertimbang untuk ASEAN5 pada 2019 adalah 4,3%, direvisi turun 0,3 poin dari survei Maret lalu, sekaligus revisi ke empat berturut-turut sejak September 2018. Angka tersebut mencapai 5,0% pada survei Juni 2018. Angka terbaru sebesar 4,3% adalah 0,5 poin lebih rendah dari 4,8% yang dicapai pada 2018.
Penurunan prospek pertumbuhan terjadi di kelima negara, tetapi penurunan paling menonjol terjadi di Thailand dan Singapura yang berorientasi ekspor.
“Mirip dengan negara-negara pengekspor lainnya, Thailand kemungkinan akan menderita akibat perlambatan ekonomi global dan perang dagang tahun ini,” kata Panundorn Aruneeniramarn dari Pusat Intelijen Ekonomi Siam Commercial Bank Thailand, seprti dikutip Nikkei Asian Review, Selasa (9/7/2019).
“Hambatan pada pertumbuhan diperkirakan akan berlanjut hingga prospek perdagangan benar-benar jelas,” ujar Randolph Tan dari Singapore University of Social Sciences.
Perekonomian Malaysia, yang juga sangat bergantung pada ekspor, menurut Wan Suhaimie dari Kenanga Investment Bank, “tetap berisiko penurunan terhadap pertumbuhan,” karena “ketidakpastian global yang sebagian besar diperkuat oleh negosiasi AS-China yang berlarut-larut.”
Ekonomi Indonesia dan Filipina diperkirakan akan mempertahankan tingkat pertumbuhan yang tinggi masing-masing 5% dan 6%, tetapi proyeksi perkiraan 2019 mengalami revisi turun.
“Pertumbuhan ekonomi dihadang oleh perang perdagangan antara AS dan China” karena akan menurunkan harga komoditas serta peluang ekspor, kata Dendi Ramdani dari Bank Mandiri Indonesia.
Sementara itu, perlambatan ekonomi Filipina pada periode Januari-Maret, menurut Alvin Ang dari Universitas Ateneo de Manila, sebagian karena pengesahan anggaran yang tertunda. Penundaan itu yang berkonsekuensi pada peningkatan pengeluaran publik. Tapi ia mengingatkan bahwa “ekspor [akan] semakin melemah”, jika perang perdagangan AS-China meningkat.
Tanggapan survei juga menunjukkan perbedaan antar negara dalam meperkirakan dampak perang dagang AS-China. Penurunan harga minyak sawit dan komoditas lainnya memengaruhi perekonomian Indonesia, sementara India mengalami peningkatan ekspor ke Cina.
Namun para ekonom dari negara-negara ASEAN sepakat, bahwa ketegangan AS-Cina akan menyebabkan perlambatan ekspor, terutama yang menuju ke China. Amonthep Chawla dari CIMB Thai Bank mengatakan:
“Saya akan lebih khawatir jika perang perdagangan meningkat menjadi perang mata uang atau perang teknologi.” Situasi seperti itu akan “memaksa investor Thailand untuk memihak AS atau China,” tambahnya.
Dalam menghadapi lingkungan ekonomi global yang berubah dengan cepat, “kemampuan pemerintah untuk menangani tantangan terhadap ekonomi akan diuji,” kata Randolph Tan dari Singapore University of Social Sciences. (Nikkei Asian Review). (sdk).