KANAL24, Jakarta – Tingkat kemiskinan selama kurun waktu lima tahun yang hanya turun dari 27,73 juta orang menjadi 25,14 juta orang dinilai terlalu kecil. Artinya kebijakan pemerintah terkait ekonomi dan program kesejahteraan pemerintahan Jokowi – Jusuf Kalla (JK) kurang efektif. Sebab dalam waktu 4,5 tahun tingkat kemiskinan absolut hanya turun 1,55 persen.
Berly Martawardaya, Direktur Riset Institute for Development of Economics and Finance (INDEF), menilai kebijakan untuk menurunkan angka kemiskinan cenderung lebih berhasil di era pemerintahan Susilo Bambang Yudhoyono (SBY). Ditemukan bahwa pada 4,5 tahun SBY jilid dua terjadi penurunan kemiskinan dari 13,74 persen ke 11,25 persen alias turun 2,49 persen. Hal ini berarti tingkat keberhasilan era SBY jilid dua adalah 1,6 kali lipatnya dari pencapaian era Jokowi – JK.
Dengan melihat fakta tersebut, Berly berharap agar di era pemerintahan Jokowi jilid dua dapat lebih matang dalam menyusun target RPJMN 2019-2024 secara hati-hati dan realistis. Sebab jika mengacu pada target RPJMN 2015 – 2019 yang disusun pemerintah Jokowi, tingkat kemiskinan ditargetkan turun ke 7 – 8 persen di 2019 atau sebesar 2,96 – 3,96 persen. Artinya target RPJMN tersebut jauh dari keberhasilan.
“Kami menghimbau supaya pemerintah mengambil pelajaran dari rendahnya pencapaian pengentasan kemiskinan selama 2014 – 2019 supaya penyusunan target kemiskinan di RPJMN 2019-2024 dilakukan dengan hati-hati dan realistis walaupun bukan berarti pesimis,” ulas Berly di Jakarta, Selasa (16/7/2019)
Sementara terkait masih ada sejumlah wilayah dengan tingkat kemiskinan absolut di atas rata-rata nasional, mengharuskan pemerintah menyusun strategi jitu agar kegagalan mencapai target penurunan angka kemiskinan di era sebelumnya dapat terkompensasi.
Setidaknya ada delapan provinsi dengan tingkat kemiskinan absolut melebihi 1,5 kali tingkat kemiskinan nasional. Yaitu Aceh (15,3 persen), Bengkulu (15,2 persen), NTB (14,6 persen), NTT (21,1 persen), Gorontalo (15,5 persen), Maluku (17,7 persen), Papua (22,2 persen) dan Papua Barat (27,5 persen).
“Ini merupakan pekerjaan rumah penting dan harus jadi prioritas kerja pemerintah yang membutuhkan langkah-langkah sigap, inovatif dan komprehensif,” pungkas dia. (sdk)