Kanal24 – Peristiwa Gerakan 30 September 1965 atau yang lebih dikenal sebagai G30S merupakan salah satu momen sejarah yang paling kontroversial di Indonesia. Setiap tahun, peristiwa ini diperingati pada akhir September untuk mengenang gugurnya para pahlawan revolusi, yaitu sejumlah jenderal TNI yang dibunuh secara tragis oleh kelompok pemberontak. Jasad mereka kemudian ditemukan di Lubang Buaya, sebuah sumur sempit yang menjadi simbol kekejaman pemberontakan tersebut.
Sebagai salah satu bagian dari pengabadian sejarah, peristiwa G30S ini diangkat dalam sebuah film berjudul “Pengkhianatan G30S/PKI”, yang disutradarai oleh Arifin C. Noer dan diproduksi oleh Perum Produksi Film Negara (PPFN) pada tahun 1984. Film ini sempat menjadi tontonan wajib setiap tanggal 30 September selama masa Orde Baru, khususnya melalui tayangan di TVRI. Namun, seiring dengan pergantian rezim dan perkembangan zaman, banyak perdebatan muncul mengenai akurasi sejarah yang digambarkan dalam film tersebut.
Meskipun memiliki tema sejarah yang kuat, film “Pengkhianatan G30S/PKI” justru dikritik karena banyak adegan yang dianggap tidak sesuai dengan fakta sejarah yang sebenarnya. Berikut ini adalah beberapa fakta kontroversial yang sering diperdebatkan terkait film tersebut:
1. Adegan Kekerasan yang Berlebihan
Film ini banyak menampilkan adegan kekerasan yang cukup grafis dan brutal, yang menurut banyak orang tidak seharusnya ditampilkan secara terang-terangan. Beberapa adegan kekerasan yang menonjol antara lain adalah penembakan terhadap Jenderal Ahmad Yani oleh pasukan Tjakrabirawa, serta penyiksaan terhadap para jenderal lainnya. Dalam film tersebut, diperlihatkan bahwa para jenderal yang ditangkap hidup-hidup mengalami penyiksaan kejam sebelum akhirnya dibunuh.
Salah satu adegan yang paling kontroversial adalah ketika tubuh Ade Irma Nasution, putri dari Jenderal A.H. Nasution, ditampilkan sedang meneteskan darah setelah tertembak. Adegan ini dianggap terlalu dramatis dan berlebihan, serta tidak layak ditampilkan secara eksplisit. Selain itu, film ini juga menggambarkan wajah para korban yang diiris oleh Gerwani, salah satu kelompok yang diduga terlibat dalam peristiwa G30S. Namun, faktanya, menurut sejumlah sejarawan, tidak ada bukti kuat yang menunjukkan bahwa penyiksaan sadis tersebut benar-benar terjadi.
2. Kejanggalan Peta Indonesia di Ruang Kostrad
Dalam salah satu adegan, film ini menampilkan ruang Komando Cadangan Strategis Angkatan Darat (Kostrad), di mana terdapat peta Indonesia yang dipajang di dinding. Yang menjadi kejanggalan adalah, dalam peta tersebut, Timor Timur terlihat sebagai bagian dari wilayah Indonesia. Padahal, pada saat peristiwa G30S terjadi, Timor Timur masih merupakan wilayah yang berada di bawah penjajahan Portugis dan baru bergabung dengan Indonesia pada tahun 1975 setelah invasi militer.
Sejarawan Asvi Warman Adam mengungkapkan bahwa hal ini merupakan salah satu ketidakakuratan dalam film tersebut. Peta yang seharusnya menggambarkan situasi Indonesia pada tahun 1965, justru menampilkan kondisi setelah tahun 1975, yang berarti tidak sesuai dengan konteks waktu yang sedang diangkat dalam film.
3. Penggambaran Tokoh yang Tidak Sesuai Fakta
Selain adegan kekerasan, penggambaran tokoh-tokoh penting dalam film ini juga sering diperdebatkan. Salah satu contohnya adalah DN Aidit, pemimpin Comite Central Partai Komunis Indonesia (CC PKI), yang dalam film ini digambarkan sebagai seorang perokok. Adegan tersebut menunjukkan Aidit yang sedang merokok sambil memberikan instruksi kepada bawahannya. Namun, menurut sumber-sumber sejarah, Aidit sebenarnya bukanlah seorang perokok.
Tidak hanya itu, film ini juga menggambarkan bahwa para jenderal yang menjadi korban G30S mengalami penyiksaan berat sebelum dibunuh. Namun, laporan visum et repertum yang dilakukan oleh sejarawan Ben Anderson menunjukkan bahwa para jenderal tersebut hanya memiliki luka tembak pada tubuh mereka, tanpa tanda-tanda penyiksaan fisik yang brutal. Hal ini semakin memicu perdebatan tentang keakuratan film dalam menggambarkan kejadian sebenarnya.
4. Film Wajib pada Masa Orde Baru
Pada masa Orde Baru, film “Pengkhianatan G30S/PKI” menjadi salah satu alat propaganda yang sangat kuat. Film ini diputar secara wajib di Stasiun Televisi Republik Indonesia (TVRI) setiap tanggal 30 September, dan ditonton oleh masyarakat luas, termasuk oleh siswa-siswi sekolah yang diinstruksikan untuk menyaksikan film tersebut sebagai bagian dari pembelajaran sejarah.
Namun, setelah berakhirnya masa Orde Baru pada tahun 1998, film ini mulai dihentikan penayangannya di televisi. Banyak masyarakat yang mulai meragukan kebenaran sejarah yang disajikan dalam film ini. Beberapa pihak bahkan merasa dirugikan karena penggambaran yang dianggap tidak sesuai dengan kenyataan. Sejak saat itu, penayangan film ini menjadi kontroversial, dan hanya diputar dalam konteks tertentu atau oleh pihak-pihak yang masih mendukung penayangan film tersebut.
Film “Pengkhianatan G30S/PKI” telah menjadi bagian dari sejarah sinematik Indonesia, namun juga menimbulkan banyak pertanyaan tentang bagaimana sejarah seharusnya disajikan. Kritik terhadap film ini semakin kuat seiring dengan berkembangnya penelitian sejarah yang lebih mendalam. Meski demikian, film ini tetap menjadi salah satu sumber pengetahuan populer tentang peristiwa G30S, meskipun harus dipahami dengan kritis dan hati-hati.
Sejarah adalah hal yang dinamis, dan interpretasi terhadapnya bisa berubah seiring dengan ditemukannya bukti-bukti baru. Oleh karena itu, penting bagi kita untuk tidak hanya mengandalkan satu sumber dalam memahami suatu peristiwa sejarah, tetapi juga mencari referensi lain untuk mendapatkan gambaran yang lebih utuh dan akurat. (una)