Kanal24, Malang – Fakultas Perikanan dan Ilmu Kelautan (FPIK) Universitas Brawijaya (UB) menggelar diskusi bertajuk Gema Dialektika yang menghadirkan Lintang Gurat Jingga sebagai pemateri utama. Diskusi ini merupakan edisi kedua atau Gema Dialektika Vol.2, yang berlangsung di Aula LKM Lantai 2 Gedung E FPIK UB pada Jumat (4/10/2024). Dalam acara ini, Lintang membawakan materi yang berjudul “Membedah Kesetaraan Gender dari Sudut Pandang Filsafat Ontologis” yang bertujuan untuk menelaah konsep kesetaraan gender dari sudut pandang ontologi serta merespon fenomena kesalahpahaman dalam memahami kesetaraan gender di kalangan masyarakat.
Pada sesi diskusi, Lintang Gurat Jingga memaparkan pentingnya mengklarifikasi makna kesetaraan gender dari berbagai sudut pandang. Menurut Lintang, dalam dunia yang sering kali ramai dengan narasi kesetaraan gender, banyak aktivis yang tidak memahami secara mendalam tentang apa itu kesetaraan gender dalam artian filosofis. “Gender tidak bisa benar-benar setara. Yang dapat kita upayakan adalah mencapai keadilan, karena jika gender mencapai kesetaraan penuh, maka hilangnya perbedaan akan merugikan perempuan,” ujar Lintang, menegaskan bahwa pemahaman mendalam mengenai perbedaan gender diperlukan untuk menghindari kesalahpahaman.
Lintang juga menjelaskan bahwa konsep kesetaraan dalam perspektif ontologi memiliki dimensi yang luas dan kompleks. Dalam paparannya, ia membahas empat jenis kesetaraan menurut filsafat ontologis: kesetaraan numerik, kesetaraan kualitatif, kesetaraan sosial moral, dan kesetaraan relasional, yang kesemuanya berkontribusi pada pemahaman lebih holistik mengenai keadilan gender.
Mengacu pada pandangan Aristoteles dalam Metafisika, Lintang memaparkan kesetaraan numerik sebagai bentuk kesamaan dalam hal jumlah atau kuantitas. Misalnya, pemberian alokasi dana atau waktu yang sama pada dua pihak. Namun, ia menekankan kritik terhadap konsep ini, bahwa meski dua pihak mendapatkan jumlah yang sama, konteks dan kebutuhan masing-masing dapat berbeda. “Konteks kebutuhan sering kali diabaikan, padahal, misalnya, pemberian jumlah uang yang sama pada dua individu dengan kebutuhan berbeda tidak selalu berakhir adil,” ungkapnya.
Selanjutnya, dalam konteks kesetaraan kualitatif, Lintang menjelaskan bahwa hal ini merujuk pada kesetaraan dalam kualitas, yang diartikan sebagai pengakuan akan sifat esensial yang dimiliki setiap individu tanpa memperhatikan perbedaan kuantitatif. Dalam konteks gender, hal ini dapat diartikan sebagai kesamaan hak dan martabat bagi laki-laki dan perempuan tanpa membedakan faktor biologis atau sosial. Namun, menurut Lintang, pendekatan ini kerap menimbulkan perdebatan karena kualitas tentara antara dua gender tidak selalu seragam.
Dalam konteks kesetaraan sosial moral, Lintang mengutip pandangan Immanuel Kant yang berfokus pada kesamaan hak moral dalam masyarakat. Setiap individu, menurut Kant, berhak untuk diperlakukan secara adil dan bermartabat. Dalam konteks kesetaraan gender, hak asasi seperti hak berbicara dan hak mendapatkan pendidikan merupakan contoh penerapan dari kesetaraan sosial moral ini. Meski demikian, Lintang menunjukkan bahwa penerapan kesetaraan sosial moral seringkali sulit tercapai karena ketidakadilan struktural di masyarakat yang menghambat pelaksanaannya secara menyeluruh.
Di sisi lain, kesetaraan relasional yang digagas oleh Elizabeth Anderson menekankan pentingnya menciptakan hubungan sosial yang adil di mana tidak ada pihak yang mendominasi. Namun, menurut Lintang, kesetaraan relasional tidak dapat sepenuhnya diwujudkan dalam struktur masyarakat yang memiliki hierarki kekuasaan, seperti dalam keluarga. Dalam keluarga, misalnya, posisi kepemimpinan atau alpha tidak dapat dibagi secara setara antara suami dan istri, karena itu justru akan menciptakan ketidakstabilan dalam peran yang dimainkan setiap individu.
Lintang menutup pemaparannya dengan menyatakan bahwa kesetaraan gender sebenarnya tidak bisa tercapai secara mutlak, namun yang dapat diusahakan adalah keadilan gender. Menurutnya, feminisme sering kali mengasumsikan bahwa kesetaraan berarti identik tanpa mempertimbangkan kebutuhan dan peran yang spesifik dari masing-masing gender. “Jika kesetaraan gender benar-benar tercapai, hal ini justru dapat merugikan perempuan, seperti dalam konteks peraturan mengenai cuti haid yang dapat saja dihapus,” jelasnya, seraya menambahkan bahwa keadilan gender adalah hal yang lebih realistis dan dapat dicapai secara bertahap.
Dengan adanya diskusi ini, mahasiswa UB diharapkan dapat memperoleh perspektif yang lebih dalam terkait isu gender dan pentingnya keadilan dalam struktur sosial. Lintang Gurat Jingga menekankan bahwa untuk mencapai kondisi yang adil, kita harus memahami konteks ontologis dari kesetaraan dan menghargai norma-norma budaya Indonesia yang sudah mengatur peran gender tanpa merugikan salah satu pihak. (nid)