Oleh : Setyo Widagdo
Guru Besar Hukum Internasional Fakultas Hukum UB – [email protected]
Negara mana yang paling banyak melanggar hukum internasional ? Jawaban yang paling tepat adalah Amerika dan Israel. Betapa tidak, Amerika dan Israel yang oleh Iran disebut sebagai setan besar dan setan kecil ini sering mengabaikan hukum internasional, bahkan melecehkan hukum internasional. Kutukan, kecaman dan hujatan masyarakat internasional tak mempan bagi keduanya.
Terkait dengan serbuan terhadap Gaza dan Libanon misalnya, , Israel bukan saja melanggar Konvensi tentang hukum humaniter, tetapi juga melanggar Statuta Roma 1998 dan Amerika terang terangan mendukung di belakang Israel.
Bagi Amerika dan Israel, hukum internasional tak ubahnya seperti macan kertas, yang hanya keras di tulisan, penegakannya nihil.
Kali ini yang dilanggar Israel adalah dilarangnya aktivitas United Nations Relief and Works Agency for Palestine Refugees in the Near East, (UNRWA), yaitu Badan PBB Untuk Bantuan Pengungsi Palestina.
Larangan itu dikeluarkan oleh Parlemen Israel dengan diterbitkannya sebuah UU. Tentu saja masyarakat internasional, Liga Arab dan Majelis Umum PBB protes keras. Namun protes keras itu bagi Israel tak berarti apa-apa, sungguh bebal.
Tulisan ini hendak menelaah alasan-alasan pelarangan terhadap aktivitas UNRWA yang secara akal sehat jelas melanggar prinsip kemanusiaan.
Larangan yang telah dilakukan Israel terhadap UNRWA adalah sebuah kebijakan yang berdampak pada bantuan vital yang diterima oleh jutaan pengungsi Palestina. Keputusan ini telah memicu perdebatan luas di berbagai kalangan internasional, terutama mengingat peran penting UNRWA dalam menyediakan layanan pendidikan, kesehatan, dan bantuan kemanusiaan lainnya bagi komunitas Palestina di Tepi Barat, Gaza, Yordania, Lebanon, dan Suriah. Larangan ini juga menambah ketegangan di wilayah tersebut, di tengah kompleksitas konflik yang berkepanjangan antara Israel dan Palestina.
UNRWA didirikan pada tahun 1949, setahun setelah terbentuknya negara Israel dan pecahnya Perang Arab-Israel.
Tujuan utamanya adalah untuk memberikan bantuan kemanusiaan kepada pengungsi Palestina yang kehilangan tempat tinggal akibat perang tersebut.
UNRWA bertugas menyediakan akses ke berbagai layanan dasar, mulai dari pendidikan, kesehatan, hingga perlindungan sosial, bagi lebih dari lima juta pengungsi Palestina yang tersebar di berbagai wilayah Timur Tengah. Namun, sejak awal, keberadaan UNRWA sering kali menjadi subjek kontroversi karena dianggap sebagai salah satu simbol yang memperpanjang status pengungsi Palestina.
Pemerintah Israel telah mengkritik UNRWA dalam berbagai kesempatan, menuduhnya sebagai organisasi yang “mendukung ekstremisme” dan “tidak netral.” Israel berpendapat bahwa beberapa sekolah dan fasilitas yang dikelola oleh UNRWA telah menjadi tempat terjadinya kekerasan dan kegiatan yang dianggap ekstrem.
Selain itu, beberapa pihak di Israel merasa bahwa UNRWA mempromosikan narasi yang menganggap seluruh Israel sebagai bagian dari “tanah Palestina yang dijajah,” serta mempertahankan status pengungsi bagi generasi kedua dan ketiga, yang dianggap tidak sesuai dengan definisi pengungsi di bawah hukum internasional.
Israel juga menyebutkan bahwa kurikulum yang diajarkan di sekolah-sekolah UNRWA, khususnya di Gaza dan Tepi Barat, tidak netral dan bahkan menanamkan kebencian terhadap Israel di kalangan generasi muda Palestina. Meski UNRWA sudah beberapa kali membantah tuduhan tersebut dan berjanji untuk menjaga netralitasnya, Israel tetap mempertahankan posisinya dan mendorong agar layanan bagi pengungsi Palestina dialihkan ke badan PBB lainnya yang dinilai lebih netral.
Keputusan ini membawa dampak besar bagi kehidupan pengungsi Palestina, terutama yang berada di wilayah-wilayah yang sangat bergantung pada bantuan UNRWA seperti Gaza.
Di Gaza, yang berada di bawah blokade Israel selama lebih dari satu dekade, banyak pengungsi Palestina yang sepenuhnya bergantung pada bantuan pangan, pendidikan, dan layanan kesehatan dari UNRWA. Tanpa akses ke layanan ini, mereka berisiko mengalami penurunan kondisi kesehatan, peningkatan angka pengangguran, dan dampak negatif lainnya pada kualitas hidup.
Tidak hanya itu, larangan terhadap UNRWA juga memperburuk kondisi pendidikan di Palestina, di mana banyak anak-anak tidak memiliki akses ke sekolah lain selain yang dikelola oleh UNRWA.
Pendidikan menjadi salah satu sektor paling vital untuk masa depan generasi muda Palestina, dan pembatasan terhadap akses pendidikan ini dikhawatirkan dapat menghasilkan siklus kemiskinan yang terus berlangsung, serta meningkatkan ketidakstabilan sosial di wilayah tersebut.
Larangan Israel terhadap UNRWA telah menarik perhatian internasional, dengan banyak negara dan organisasi kemanusiaan yang menyatakan keprihatinan atas keputusan tersebut.
Beberapa negara, seperti Inggris, Jerman, dan Kanada, yang selama ini menjadi donor utama UNRWA, telah menyatakan bahwa mereka akan terus mendukung badan tersebut, karena menganggapnya sebagai salah satu pilar penting bagi stabilitas di Timur Tengah.
PBB juga menyuarakan kekhawatiran bahwa keputusan ini dapat mengancam stabilitas dan keamanan di wilayah yang sudah rentan tersebut.
Namun, dukungan terhadap UNRWA tidak universal. Beberapa negara, khususnya Amerika Serikat, dalam beberapa tahun terakhir telah mengurangi atau bahkan menghentikan pendanaan untuk UNRWA, dengan alasan bahwa badan ini tidak memberikan solusi jangka panjang bagi masalah pengungsi Palestina. Pemerintahan AS di bawah Donald Trump, misalnya, memutuskan untuk menghentikan bantuan finansial bagi UNRWA pada tahun 2018, dan beberapa negara lain mendukung pendekatan ini dengan alasan yang sama.
Lantas Bagaimana masa depan UNRWA ? Dengan larangan ini, masa depan UNRWA di wilayah tersebut semakin tidak pasti. Sebagian pihak berpendapat bahwa tanpa kehadiran UNRWA, pengungsi Palestina akan semakin terpinggirkan, dan ini dapat memperparah ketegangan antara Israel dan Palestina. Selain itu, beberapa analis berpendapat bahwa ketidakpastian tentang keberlangsungan UNRWA bisa menyebabkan ketidakstabilan jangka panjang di wilayah tersebut.
Di sisi lain, ada pula yang mengusulkan agar pengungsi Palestina memperoleh akses yang lebih besar ke layanan publik yang disediakan oleh otoritas lokal atau internasional yang lebih netral. Namun, hingga kini belum ada solusi yang jelas terkait pengganti UNRWA. Dalam waktu dekat, situasi ini dikhawatirkan akan terus memburuk, dengan lebih banyak pengungsi Palestina yang kehilangan akses ke layanan dasar dan semakin sulitnya menjaga stabilitas di wilayah tersebut.
PENUTUP
Larangan Israel terhadap UNRWA adalah isu yang kompleks dan memiliki dampak luas, tidak hanya bagi pengungsi Palestina tetapi juga bagi stabilitas regional. Keputusan ini menghadapkan UNRWA pada tantangan besar, karena harus mencari cara untuk tetap menyediakan layanan bagi para pengungsi di tengah tekanan politik yang meningkat. Reaksi internasional yang beragam menunjukkan bahwa dunia terpecah dalam menyikapi isu ini, namun yang jelas adalah bahwa masa depan pengungsi Palestina dan UNRWA menjadi semakin tidak menentu. Dalam konteks ini, penyelesaian yang lebih komprehensif dan inklusif mungkin diperlukan untuk mencapai stabilitas yang berkelanjutan di wilayah yang penuh ketegangan ini(*)