Kanal24, Malang – Universitas Brawijaya (UB) bekerja sama dengan Universiti Malaya menghadirkan pameran bertajuk “Surfers of Time: The Intersection of Art, Science, and Technology.” Acara yang berlangsung pada 4-7 November 2024 ini diselenggarakan di Aula Gedung Rektorat UB dan menjadi bagian dari perayaan Dies Natalis Fakultas Ilmu Budaya (FIB) yang ke-15. Hal ini disampaikan langsung oleh Ketua Pelaksana Pameran Surfers of Time, Mayang Anggrian, M.Pd. kepada Kanal24 pada Senin (04/11/2024).
Pameran yang mengusung konsep interdisipliner, memadukan karya seni dengan ilmu pengetahuan dan teknologi, serta terbuka bagi seluruh sivitas akademika UB maupun masyarakat umum ini merupakan wujud kolaborasi antara FIB UB dan Fakultas Seni Kreatif dari Universiti Malaya melalui Program Studi Seni Rupa Murni.
“Tujuan dari pameran ini adalah untuk menunjukkan bahwa seni bukan hanya untuk diapresiasi dalam lingkup seni saja, tetapi juga mampu berinteraksi dengan berbagai bidang keilmuan lain. Kali ini, kami bekerja sama dengan seniman dari Universiti Malaya, yang membawa karya-karya kolaboratif di bidang mikrobiologi, filsafat, religi, hingga motion picture,” ujar Mayang.
Pameran ini dibuka dari tanggal 4 – 7 November 2024 mulai pukul 10.00 hingga 16.00 WIB, dengan beragam agenda menarik setiap harinya. Pada hari kedua, pameran tetap terbuka hingga sore. Sementara itu, pada 6 November, akan ada sesi “Artist talk” bersama Dr. Wahyudi Masyidah dan Dr. Amira Hanafi yang akan membahas karya-karya motion picture dan seni visual dari Bayu Art. Pada hari penutupan, sesi ini dilanjutkan dengan diskusi bersama seniman Assoc. Prof. Dr. Roslina Ismail dan Dr. Dzul Afiq Zakaria dari Universiti Malaya, yang disusul dengan sesi live painting.
Assoc. Prof. Dr. Rosline Ismail atau yang lebih akrab disapa Lyne Ismail dari Universiti Malaya menyampaikan bahwa pameran ini mengangkat filosofi tradisional dan islami yang dipadukan dengan teknologi masa kini.
“Seni ini berusaha menangkap nilai-nilai warisan yang semakin pudar di tengah perkembangan zaman, terutama ilmu-ilmu yang diturunkan secara tradisional. Teknologi saat ini memungkinkan kita untuk mendokumentasikan dan melestarikan warisan tersebut secara digital,” ungkap Lyne. Ia juga menekankan bahwa dalam menghadapi teknologi dan AI, masyarakat harus melihatnya sebagai alat untuk mempertahankan dan mengembangkan kebudayaan, bukan sebagai ancaman.
Hamamah, S.Pd., M.Pd., Ph.D., Dekan FIB UB, turut memberikan pandangannya terkait pameran ini. Ia menekankan bahwa pameran ini adalah bagian dari langkah UB menuju pengembangan “Digital Humanities,” di mana seni dan ilmu humaniora dapat dikolaborasikan dengan disiplin lain seperti biologi, psikologi, dan teknologi informasi.
“Kami ingin menunjukkan bahwa seni rupa tidak hanya berdiri sendiri dalam lingkup seni, tetapi dapat berkolaborasi dengan berbagai bidang ilmu lainnya,” ujar Hamamah.
Selain itu, Hamamah mengungkapkan bahwa dalam perayaan Dies Natalis kali ini, FIB UB juga akan memberikan Anugerah Sabda Budaya, sebuah penghargaan khusus yang menjadi simbol komitmen UB terhadap pelestarian dan pengembangan kebudayaan.
“Pameran ini merupakan upaya kami untuk menginformasikan kepada sivitas akademika bahwa ilmu humaniora bisa secara fluid bergandeng tangan dengan sains dan teknologi,” tambahnya.
Pameran “Surfers of Time” menjadi bukti nyata bahwa seni dapat bersifat cair, mengalir bersama dengan berbagai disiplin ilmu untuk menciptakan makna baru di era digital. Harapannya, pameran ini tidak hanya menjadi hiburan, tetapi juga menjadi sumber inspirasi bagi masyarakat untuk lebih menghargai seni yang terintegrasi dengan ilmu pengetahuan dan teknologi. (nid/sil)