Setiap muslim pasti menginginkan bisa melaksanakan ibadah haji untuk menyempurnakan rukun Islam yang terakhir, sekalipun untuk menunaikannya membutuhkan biaya dan waktu menunggu yang cukup lama, terlebih di negeri kita, masa tunggu untuk menunaikan ibadah haji hampir puluhan tahun. Hal ini tentu sangat ironis sekali bagi negeri berpenduduk kaum muslimin terbesar di dunia ini.
Namun Sekalipun kita belum menunaikan ibadah haji, setidaknya perkataan Imam Ibnu Rajab menarik dan patut untuk kita renungkan, yaitu : pertama,
من لم يستطع الوقوف بعرفة. فليقف عند حدود الله الذي عرفه.
Barang siapa belum bisa melakukan wukuf di ‘Arafah, hendaklah ia wuquf (berhenti) pada batasan-batasan syariat Allah yang telah diketahuinya.
Wuquf dari kata waqafa yaqifu, yang artinya berhenti, berdiam sejenak. Haji adalah wuquf di arafah. Yaitu para hujjaj, jamaah haji berkumpul atau berhenti di padang arafah untuk berdoa meminta ampunan Allah dan berhenti sejenak, berdiam diri disana. Bagi yang belum Haji maka Wukuf lah atas larangan-larangan Allah, jangan melampaui garis batas yang telah Allah tetapkan, berdiam diri untuk tidak menerobosnya, berdiam diri berwukuf untuk tidak melanggar aturan syariat Allah serta bersabar atas kemaksiatan. Kesabaran saat wuquf ditengah terik matahari yang membakar mengajarkan agar kita bersabar atas panasnya keinginan nafsu yang terus membakar diri. Berwuquf berarti bersedia berhenti disaat dihadapan telah ada garis embarkasi yang tidak boleh dilewati, itulah batasan syariat Allah. Maka bersabarlah. Selanjutnya kedua :
ومن لم يستطع المبيت بمزدلفة. فليبت على طاعة الله ليقربه ويزلفه.
Barang siapa belum bisa mabit (bermalam) di muzdalifah, hendaklah ia mabit di atas ketaatan kepada Allah guna merapat dan mendekatkan diri kepada-Nya.
Mabit berarti menginap walau sejenak di Muzdalifah, sebelum melakukan perjalanan menuju Mina. Bagi yang belum haji, maka inap kan diri kita dalam ketaatan pada Allah, berselimutlah dengan ketundukan pada perintahnya, di atas Sajadah taqarrub untuk mendekati Allah swt melalui amal-amal ibadah guna mendapatkan ridhoNya. Jadikan malam sebagai rumah peristirahatan jiwa dengan banyak bersujud dan berdzikir pada Allah, setelah sekian lama diwaktu siang, pikiran dipergunakan untuk memenuhi syahwat dunia. Maka bermalam dengan amaliyah taqarrub padaNya adalah cara untuk memperoleh cintaNya.
Pesan ibnu Rajab yang ketiga adalah:
ومن لم يقدر على ذبح هديه بمنى. فليذبح هواه ليبلغ به الُمنى.
Barang siapa belum mampu menyembelih binatang hadyinya di Mina, hendaklah ia menyembelih hawa nafsunya tuk meraih harapan yang diidamkan.
Hawa nafsu ibarat binatang liar yang apabila tidak dikekang erat maka dia akan semakin liar dan merusak, tidak hanya merusak dirinya namun juga sekitarnya. Hawa Nafsu akan selalu mengajak pada keburukan yang apabila dituruti maka akan menjerumuskan pada kehancuran, namun jika tidak dituruti dia akan terus merengek ibarat bayi yang minta selalu dipenuhi keinginannya.
Maka cara mengekangnya adalah dengan berpuasa. Sebab puasa akan melemahkan dorongan keinginan yang terus menggebu, puasa adalah tameng dari terpaan nafsu. Berpuasa berarti mempersempit ruang gerak nafsu dengan memperlambat laju geraknya. Sembelihlah hawa nafsu tidak memberinya makan melalui puasa-puasa sunnah yang diajarkan oleh Rasulullah saw.
Pesan terakhir bagi yang belum haji, adalah :
ومن لم يستطع الوصول للبيت لأنه بعيد. فليقصد رب البيت فإنه أقرب إليه من حبل الوريد.
Barang siapa belum bisa mencapai Baitul Haram karena jauh, hendaklah ia meniatkan Rabb Baitul Haram karena Ia lebih dekat dari pada tali urat.
Allah itu dekat, bahkan lebih dekat dari urat nadi kita. Dimanapun kita berada maka Allah selalu menyertai kita. Tiadalah yang lebih dekat dengan diri kita kecuali Allah swt. Dia dzat yang maha mengawasi dan membersamai, mengetahui semua gerak gerik tingkah laku kita dan kelak akan meminta pertanggungjawaban atas apapun yang kita lakukan.
Karena Allah Maha dekat, maka mintalah pada Allah apapun yang kita inginkan, Allah pasti mengabulkannya. Allah tidak membutuhkan perantara untuk berkomunikasi dengannya, sehingga Islam mensyariatkan shalat sebagai cara untuk berkomunikasi dengan Allah secara langsung.
Karena Allah sangatlah dekat, lalu mengapa kita berani melakukan maksiat dihadapanNya? . Apakah kita mengira pada saat melakukan maksiat bahwa Allah tidak mengetahui dan jauh dari diri kita? . Maha suci Allah atas segala persangkaan itu.
Karena Allah sangat dekat, maka harusnya kita malu di saat kita akan melakukan keburukan dan kemungkaran, karena Allah Maha Menyaksikan. Bagaimana mungkin kita dianggap beriman, sementara kita tidak malu dalam melakukan kemaksiatan. Sebagai ibarat, bagaimana mungkin seseorang dianggap percaya pada pimpinan, sementara di hadapannya, dia berani melakukan penyelewengan. Orang yang demikian sama halnya menganggap tiada dan meremehkan keberadaan sang pimpinan itu.
Demikian pula lah kita pada Allah. Jika kita benar-benar beriman dan percaya pada Allah, maka perbuatan maksiat adalah sama halnya dengan meniadakan Allah dan meremehkannya. Sebab kita telah berani melakukan perbuatan rendah itu, sementara Allah Maha Mengetahui dan Dia lebih dekat dengan urat nadi kita.
Oleh karena itu, bagi kalian yang belum berhaji, mungkin pesan dari Ibnu Rajab ini patut menjadi renungan, bahwa haji tidak semata berbaju ihram dan berwukuf di Arafah, namun haji adalah totalitas pengabdian serta ketundukan dan ketaatan dalam memenuhi perintah Allah dan menjauhi segala larangannya.
Semoga kita diberi kesempatan dan kemampuan untuk menunaikan ibadah haji, serta menyempurnakan pengabdian ketaatan kita kepada Allah. Semoga haji kita menjadi mabrur dan berada pada puncak keikhlasan taqarrub kepadaNya. Aamiin..
KH. Akhmad Muwafik Saleh dosen FISIP UB, penulis produktif, pengasuh pondok pesantren mahasiswa Tanwir al Afkar