Olwh : Setyo Widagdo – Guru Besar Hukum Internasional Fakultas Hukum UB [email protected]
Belum lagi satu bulan menjabat, Presiden Prabowo sudah membuat kebijakan dan pernyataan yang memancing opini publik, baik yang bernada positif maupun yang mengundang kritik tajam.
Yang disambut positif misalnya Presiden telah mengeluarkan kebijakan membubarkan satgas percepatan sosialisasi UU Cipta Kerja, dan membuat pernyataan di berbagai kesempatan tentang bahayanya korupsi dan komitmen kuat untuk memberantasnya.
Sedangkan yang mendapatkan kritik tajam dari masyarakat adalah pernyataan dukungannya terhadap Calon Gubernur Jawa Tengah Ahmad Luthfi, meskipun mengaku dukungannya adalah sebagai Ketua Umum Gerindra. Kalau yang ngeles ngeles begini masyarakat sudah paham.
Kritik yang tidak kalah serunya adalah kebijakan Presiden melakukan joint statement yang barusan dilakukan 9 November yang lalu dengan Presiden Tiongkok Xi Jinping saat Presiden Prabowo melakukan kunjungan kenegaraan ke Tiongkok.
Persoalannya adalah para pakar hukum internasional mempertanyakan tentang overlapping claims area yang ada dalam joint statement tersebut. Prof Hikmahanto misalnya mempertanyakan soal apakah yang dimaksud dengan overlapping claims ini ? apakah hal ini terkait dengan klaims Tiongkok atas nine dash line atau sembilan garis putus-putus (sekarang menjadi sepuluh garis putus-putus) yang tumpang tindih dengan Zona Ekonomi Eksklusif Indonesia di Laut Natuna Utara ?
Pertanyaan Hilmahanto menjadi penting, karena kalau benar, implikasinya sangat membahayakan keamanan nasional dan kawasan ASEAN, sebab bisa jadi kerjasama di area overlapping claims ini membatalkan keputusan Indonesia sendiri yang selama ini tidak mengakui sembilan garis putus-putus tersebut, seperti juga dilakukan oleh empat negara ASEAN yang terlibat sengketa di Laut Cina Selatan (LCS).
Sebagaimana diketahui sengketa Laut Cina Selatan melibatkan empat negara ASEAN, yakni Malaysia, Brunei, Vietnam dan Filipina, sementara Indonesia sendiri bukan negara pihak (non claiment state).
Pada kunjungan kenegaraan Presiden Prabowo Subianto ke Tiongkok, perhatian publik tertuju pada hasil diskusi strategis yang tertuang dalam joint statement bersama Presiden Xi Jinping. Salah satu topik utama yang menjadi sorotan adalah kesepahaman terkait area overlapping claims di kawasan yang melibatkan wilayah maritim Asia Tenggara. Artikel ini akan membahas latar belakang, inti pernyataan bersama, hingga dampaknya bagi stabilitas kawasan.
Area overlapping claims merujuk pada wilayah yang diklaim oleh lebih dari satu negara. Di Asia Tenggara, Laut China Selatan menjadi salah satu zona sengketa paling signifikan. Klaim-klaim tersebut melibatkan beberapa negara ASEAN, serta Tiongkok yang menggunakan landasan historis berupa Nine-Dash Lines. (sekarang menjadi Ten Dash Lines – sepuluh garis putus-putus)
Indonesia sendiri tidak mengakui klaim Tiongkok atas wilayah yang tumpang tindih dengan Zona Ekonomi Eksklusif (ZEE) Indonesia di sekitar Natuna Utara. Dalam beberapa tahun terakhir, ketegangan di kawasan ini meningkat karena aktivitas militer, nelayan asing, dan eksplorasi sumber daya alam.
Pertemuan antara kedua Presiden bertujuan untuk membahas pendekatan damai guna menangani potensi konflik yang dapat mengganggu hubungan diplomatik dan ekonomi.
Dalam pernyataan bersama, beberapa poin penting disoroti terkait area overlapping claims :
Pertama, Presiden Prabowo dan Presiden Xi Jinping menegaskan pentingnya menyelesaikan sengketa melalui jalur diplomasi. Mereka sepakat bahwa konflik tidak boleh mengganggu stabilitas kawasan yang selama ini menjadi pusat ekonomi dunia.
Kedua, Indonesia dan Tiongkok menyadari bahwa stabilitas kawasan adalah kunci untuk menjaga kelangsungan perdagangan dan investasi. Oleh karena itu, joint statement menekankan perlunya kerjasama ekonomi, termasuk dalam pengelolaan sumber daya di wilayah yang disengketakan.
Ketiga, Dalam diskusi, kedua Presiden menggarisbawahi pentingnya menghormati hukum internasional, terutama United Nations Convention on the Law of the Sea (UNCLOS). Tiongkok berjanji untuk mendukung upaya penyelesaian sengketa berdasarkan aturan yang berlaku, meskipun interpretasi terhadap UNCLOS masih menjadi perdebatan.
Keempat, Sebuah mekanisme eksplorasi bersama diusulkan untuk memanfaatkan potensi sumber daya alam secara kolaboratif tanpa memengaruhi klaim kedaulatan masing-masing pihak.
Bagi Indonesia, joint statement ini menegaskan sikap netral tetapi tegas dalam mempertahankan kedaulatan maritim. Presiden Prabowo menyampaikan bahwa Indonesia tidak akan mengorbankan prinsip kedaulatan demi menjaga hubungan baik dengan Tiongkok. Sebaliknya, Indonesia mendukung solusi yang memberikan keuntungan bersama, selama tidak melanggar hak kedaulatan.
Di sisi lain, Tiongkok dianggap ingin memperkuat pengaruhnya di kawasan, tetapi juga menunjukkan fleksibilitas untuk mengurangi tekanan diplomatik. Komitmen ini dilihat sebagai upaya Tiongkok untuk memperbaiki citranya di tengah kritik internasional atas klaim agresifnya di Laut China Selatan.
Joint statement ini mendapat tanggapan beragam dari negara-negara ASEAN lainnya. Beberapa negara menyambut baik upaya Indonesia dan Tiongkok untuk membuka jalur dialog, sementara yang lain tetap skeptis terhadap komitmen Tiongkok.
Amerika Serikat, sebagai salah satu kekuatan besar yang terlibat di kawasan, juga memantau dengan cermat perkembangan ini. Washington menggarisbawahi pentingnya menjaga kebebasan navigasi dan mengingatkan bahwa pendekatan multilateral harus tetap menjadi prioritas.
Kesepahaman antara Indonesia dan Tiongkok dapat membawa dampak signifikan bagi stabilitas kawasan, misalnya terjadinya penurunan ketegangan.
Jika joint statement ini diimplementasikan dengan baik, ketegangan di area overlapping claims dapat berkurang. Ini memungkinkan negara-negara di kawasan untuk fokus pada pembangunan ekonomi.
Pendekatan damai ini dapat menjadi contoh bagi negara-negara ASEAN lainnya dalam menyelesaikan sengketa serupa. Kerjasama bilateral yang berbasis dialog dapat mendorong harmoni regional. Walaupun demikian kewaspadaan terhadap langkah Indonesia dan Tiongkok tetap menjadi perhatian negara-negara ASEAN.
Sebagai negara yang netral tetapi vokal, Indonesia dapat memperkuat perannya sebagai penjembatan dalam konflik kawasan. Hal ini sejalan dengan visi Indonesia sebagai negara besar di regional di ASEAN.
Namun, masih ada tantangan besar yang harus diatasi. Implementasi kesepakatan seringkali menjadi kendala, terutama jika pihak-pihak yang terlibat memiliki kepentingan yang berbeda. Selain itu, skeptisisme terhadap niat Tiongkok masih cukup tinggi, mengingat rekam jejaknya yang kontroversial dalam sengketa Laut China Selatan.
Pertanyaan publik selanjutnya adalah apakah joint statement antara Indonesia dan Tiongkok tersebut mengikat ? ataukah hanya sekedar komitmen bersama untuk mrnjaga perdamaian di kawasan ?
Publik memang perlu penjelasan resmi dari Pemerintah, dalam hal ini Kemenlu terhadap pertanyaan-pertanyaan dan kecurigaan yang dilontarkan dalam sepekan ini.
PENUTUP
Joint statement antara Presiden Prabowo dan Presiden Xi Jinping merupakan langkah strategis untuk menurunkan ketegangan di area overlapping claims. Dengan menekankan dialog damai, penghormatan terhadap hukum internasional, dan kerjasama ekonomi, kedua negara menunjukkan komitmen untuk menjaga stabilitas kawasan.
Namun, kesepahaman ini memerlukan tindak lanjut yang konkret agar tidak hanya menjadi janji tanpa realisasi. Diplomasi yang konsisten, pengawasan internasional, dan kerjasama regional adalah kunci untuk memastikan kawasan Asia Tenggara tetap menjadi zona damai dan sejahtera.
Indonesia, sebagai negara besar di ASEAN, memiliki peran penting untuk menjaga keseimbangan antara kepentingan nasional dan komitmen regional. Joint statement ini tidak hanya menjadi bukti diplomasi yang matang, tetapi juga peluang untuk memperkuat posisi strategis Indonesia dipanggung global. (*)