Cemburu adalah tanda cinta, cemburu itu menandakan bahwa dalam dada si pecemburu masih ada rasa kepedulian, perhatian dan tanggungjawab serta rasa memiliki (sense of belonging). Bahkan jika seseorang tidak memiliki rasa cemburu maka patut dipertanyakan apakah dirinya masih ada rasa cinta?. Cemburu itu dapat berupa sikap tersinggung, benci dan marah manakala apa yang diyakininya disakiti dan dilecehkan. Cemburu adalah pekanya rasa atas tidak ditemukannya atau sedikitnya rasa manis dari keimanan (halawatul iman). Sebagaimana sabda nabi : Dari Anas bin Malik Radhiyallahu anhu , dari Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,
ثَلَاثٌ مَنْ كُنَّ فِيْهِ وَجَدَ بِهِنَّ حَلَاوَةَ الْإِيْمَانِ، مَنْ كَانَ اللهُ وَرَسُوْلُهُ أَحَبَّ إِلَيْهِ مِمَّا سِوَاهُمَا وَأَنْ يُـحِبَّ الْمَرْءَ لَا يُحِبُّهُ إِلَّا لِلهِ، وَأَنْ يَكْرَهَ أَنْ يَعُوْدَ فِـي الْكُفْرِ بَعْدَ أَنْ أَنْقَذَهُ اللهُ مِنْهُ، كَمَا يَكْرَهُ أَنْ يُقْذَفَ فِـي النَّارِ.
“Ada tiga perkara yang apabila perkara tersebut ada pada seseorang, maka ia akan mendapatkan manisnya iman, yaitu (1) barangsiapa yang Allâh dan Rasûl-Nya lebih ia cintai dari selain keduanya, (2) apabila ia mencintai seseorang, ia hanya mencintainya karena Allâh. (3) Ia benci untuk kembali kepada kekufuran setelah Allâh menyelamatkannya sebagaimana ia benci untuk dilemparkan ke dalam Neraka.” (HR. Bukhari)
Sehingga cemburu dan cinta adalah bagian dari keimanan, artinya hal ini adalah bagian dari syariat dengan kata lain bahwa rasa cemburu itu disyariatkan dalam islam. Wajarlah seorang muslim haruslah memiliki rasa cemburu. Sebagaimana sabda nabi :
حَدَّثَنَا ابْنُ أَبِي عَدِيٍّ عَنْ شُعْبَةَ عَنِ الْعَلَاءِ عَنْ أَبِيهِ عَنْ أَبِي هُرَيْرَةَ قَالَ
قَالَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ الْمُؤْمِنُ يَغَارُ الْمُؤْمِنُ يَغَارُ الْمُؤْمِنُ يَغَارُ وَاللَّهُ أَشَدُّ غَيْرًا
Telah menceritakan kepada kami Ibnu Abi ‘Adiy dari Syu’bah dari Al Ala` dari bapaknya dari Abu Hurairah, dia berkata; Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa Salam bersabda: “Seorang mukmin itu pencemburu, seorang mukmin itu pencemburu, seorang mukmin itu pencemburu, dan Allah itu lebih pencemburu lagi.” (HR.Ahmad, no. 6912)
Rasa cemburu akan dianggap baik dan benar manakala didasarkan atas syariat Allah. Sebagaimana dikatakan bahwa kebaikan adalah segala apa yang dikatakan baik oleh syara’ demikian pula sebaliknya bahwa keburukan adalah segala apa yang buruk atau jelek menurut syara’. Sehingga kecemburuan itu baru bernilai kebaikan manakala syariat Allah dipermainkan, ummat islam direndahkan, ulamanya dilecehkan serta agamanya dihinakan kemuliaanya.
Kecemburuan harus hadir dalam diri seorang muslim manakala keadilan tidak diwujudkan dalam kehidupan. Disaat ummat islam dan ulamanya diperlakukan tidak adil. Sebab ketidakadilan perlakuan atas ummat islam adalah sama dengan meremehkan dan melecehkannya, dan barang siapa yang berlaku demikian maka hal itu sama dengan merendahkan Allah dan agamaNya. Dan hal itu adalah bentuk kemungkaran yang diharamkan oleh Allah swt. Sebab menjaga harga diri dan martabat kaum muslimin adalah hal yang wajib dijaga, dan mengingkarinya adalah sebuah tindakan dibenci oleh Allah swt. Sehingga pantaslah seorang muslim wajib cemburu dan Allah swt akan lebih pencemburu. Sebagaimana Sabda Nabi :
حَدَّثَنَا حَسَنٌ حَدَّثَنَا شَيْبَانُ عَنْ يَحْيَى قَالَ وَأَخْبَرَنِي أَبُو سَلَمَةَ أَنَّهُ سَمِعَ أَبَا هُرَيْرَةَ يَقُولُ . قَالَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ إِنَّ اللَّهَ عَزَّ وَجَلَّ يَغَارُ وَإِنَّ الْمُؤْمِنَ يَغَارُ وَغَيْرَةُ اللَّهِ أَنْ يَأْتِيَ الْمُؤْمِنُ مَا حَرَّمَ عَلَيْهِ
Abu Hurairah berkata; Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda: “Sesungguhnya Allah ‘azza wajalla pencemburu, dan sungguh seorang mukmin juga pencemburu, kecemburuan Allah adalah jika seorang mukmin melakukan sesuatu yang telah diharamkan kepadanya.” (HR.Ahmad, no. 10508)
Sikap cemburu adalah salah satu wujud dari keimanan seseorang karena iman membutuhkan bukti. Pembuktian iman diwujudkan dengan menghadirkan sikap kecemburuan yaitu manakala ada saudara muslim lainnya diperlakukan secara semena-mena, dirampas haknya dengan cara yang zalim, di saat para ulamanya dilecehkan, disaat para pendakwahnya dipersekusi, di saat para pejuang kebenarannya diberi label negatif dan menakutkan dengan istilah radikal, ekstrimis, fundamentalis dan teroris. Serta disaat nilai-nilai kemurnian agamanya dipermainkan dan dijadikan bahan olokan dengan menggunakan baju “modernisasi intelektual” (tajdid).
Namun kecemburuan yang diwujudkan haruslah dilakukan dengan cara yang cerdas, bijaksana dan proporsional. Yaitu melalui proses intelektualisme yang bermartabat dengan penuh hikmah, mauidhah hasanah dan mujadalah.
ٱدۡعُ إِلَىٰ سَبِيلِ رَبِّكَ بِٱلۡحِكۡمَةِ وَٱلۡمَوۡعِظَةِ ٱلۡحَسَنَةِۖ وَجَٰدِلۡهُم بِٱلَّتِي هِيَ أَحۡسَنُۚ إِنَّ رَبَّكَ هُوَ أَعۡلَمُ بِمَن ضَلَّ عَن سَبِيلِهِۦ وَهُوَ أَعۡلَمُ بِٱلۡمُهۡتَدِينَ
Serulah (manusia) kepada jalan Tuhanmu dengan hikmah dan pengajaran yang baik, dan berdebatlah dengan mereka dengan cara yang baik. Sesungguhnya Tuhanmu, Dialah yang lebih mengetahui siapa yang sesat dari jalan-Nya dan Dialah yang lebih mengetahui siapa yang mendapat petunjuk. (QS. An-Nahl : 125)
Dalam sebuah pengertian hikmah (Syeh Mustafa Al-Maroghi) adalah perkataan yang jelas dan tegas disertai dengan dalil yang dapat mempertegas kebenaran, dan dapat menghilangkan keragu-raguan. Mau’izah Khasanah (Ibnu Syayyidiqi) dengan cara memberi peringatan kepada orang lain dengan tarhib (motivasi) dan targhib (ancama) yang dapat menaklukkan hati. Mujadalah dengan sebaik-baiknya (Imam Ghazali) adalah menegaskan agar orang-orang yang melakukan tukar fikiran itu tidak beranggapan bahwa yang satu sebagai lawan bagi yang lainnya, tetapi mereka harus menganggap bahwa para peserta mujadalah atau diskusi itu sebagai kawan yang saling tolong-menolong dalam mencapai kebenaran.
Namun manakala kecemburuan tidak ada dalam diri seseorang yang beriman maka patutlah dipertanyakan keimanannya. Karena sikap cemburu adalah bukti kepedulian, maka orang yang tidak memiliki rasa cemburu atas agama dan ummatnya, sesungguhnya mereka tidak memiliki rasa cinta dan bukanlah bagian dari kelompok itu. Sebagaimana sabda Nabi :
من لا يهتم بأمر المسلمين فليس منهم ومن لا يصبح ويمسي ناصحا لله ولرسوله ولكتابه ولإمامه ولعامة المسلمين فليس منهم
Barang siapa yang tidak peduli dengan urusan kaum muslimin, maka dia bukan golongan mereka, dan barang siapa yang pagi dan sorenya tidak ada nasihat untuk Allah, RasulNya, KitabNya, pemimpinNya, dan umumnya kaum muslimin, maka dia bukan golongan mereka. (HR. Imam Thabarani)
Rasa cinta itu haruslah dibuktikan dengan cara bahagia manakala melihat saudara muslim bahagia dan sedih bahkan marah manakala mereka diperlakukan tidak adil. Cinta sejati itu butuh bukti melalui kecemburuan. Jika tidak ada rasa cemburu berarti seseorang sedang berada di jalan cinta yang palsu. Dalam sebuah gubahan sya’ir :
فَهِمْ طَــــــرَبًا كَمَا هَــــامَــــتْ وَاِلاَّ – فَإِنَّكَ فِى طَـــرِيقِ الْحُـــبِّ كَاذِبْ
Tunjukkanlah kegembiraanmu sebagaimana sang unta menunjukkannya. Karena jika tidak, sungguh engkau berdusta dalam menempuh jalan cinta.
Kesimpulannya, cemburu adalah tanda peduli, tanda cinta, tanda iman. Cuek adalah tanda tidak peduli, tidak memiliki rasa cinta dan lemah keyakinannya. Bagaimana mungkin seseorang akan memiliki derajat tinggi di hadapan Sang Pemilik Cinta, Allah swt, sementara seseorang tidak menghadirkan rasa cemburu alias cuek atas nasib saudaranya sesama kaum muslimin ??.
Janganlah menutup mata atas apa yang dialami oleh saudara muslim dimanapun dan kapanpun, tunjukkan kepedulian dan kecemburuan atas ketidakadilan yang dialami oleh ummat agama ini. Semoga kepedulian dan kecemburuan kita menjadi jalan dimudahkannya berbagai kesulitan diri kita di antara berbagai kesulitan kelak pada hari kiamat. Semoga Allah meridoi kita. Aamiiiin…
KH. Akhmad Muwafik Saleh dosen FISIP UB, penulis produktif, pengasuh pondok pesantren mahasiswa Tanwir al Afkar