KANAL24, Malang – Wacana partai politik menghidupkan kembali GBHN (Garis-garis Besar Haluan Negara) mendapat tanggapan dari akademisi politik dan kebijakan FISIP UB, Wawan Sobari, Ph. D. Dirinya mengungkapkan bahwa jika menggunakan pola GBHN yang dulu pada masa orde baru, maka kurang pas jika diterapkan di jaman digital saat ini.
“Sekarang di UU no.25 tahun 2004 tentang sistem perencanaan pembangunan nasional, ada RPJMN (Rencana Pemangunan Jangka Menengah Nasional) dan RPJP (Rancang Pembangunan Jangka Panjang) nasional, yang tidak jauh berbeda dengan GBHN. Kenapa GBHN cenderung konsisten, karena pada saat itu situasi pemerintahan berbeda dengan sekarang,” terang Wawan jumat (23/8/2019)
Situasi dulu, bandul kekuasaan kuat di tangan negara terutama kepemimpinan presiden Soeharto saat itu. Sekarang, bandul kekuasaan relatif seimbang. Sehingga, ketika publik bisa bersuara lebih banyak, hal yang wajar terjad seolah-olah rencana pembangunan tidak jalan. Padahal jalan, cuma problem situasinya berbeda.
“Sekarang, banyak perubahan yang terjadi sangat cepat dengan adanya digital sistem dan digital society. Menurut saya, jangan isu GBHN nya yang ditonjolkan. Tapi, sekarang kita fokus apakah RPJMN dan RPJP ini bisa mengantisipasi perubahan yang sangat cepat. GBHN ada ditengah situasi yang otoriter, ketika masyarakat tidak bisa bersuara lebih banyak,” jelasnya.
Alumni Flinders University itu berpesan agar jangan melihat format GBHNnya tapi kapasitas perencanaan pembangunan itu apakah bisa menjangkau perubahan-perubahan yang sangat disruptif, yang sangat cepat sekali. Kalau pola yang dipakai seperti jaman orde baru, malah tidak pas dan malah membatasi. Jadi, jangan terjebak isu ini, tapi lebih fokus kepada apakah perencanaan pembangunan bisa mengantisipasi perubahan kedepan. (meg)