Disaat kita ke suatu daerah baru, maka carilah masjid disana dan shalatlah, sebagai cara penghormatan masuk ke suatu daerah. Demikian kira-kira yang sering kali saya lakukan jika memasuki suatu daerah yang baru saya kunjungi. Saya hanya berpikir sederhana, ibarat seseorang masuk suatu rumah maka kita diwajibkan untuk kulonuwun, permisi mohon ijin untuk dapat diperkenankan memasukinya. Demikian pula saat kita masuk masjid, Rasulullah saw mengajarkan kita untuk melaksanakan shalat tahiyyat masjid, solat penghormatan masuk masjid. Dan juga disaat seseorang masuk kota makkah, maka Rasulullah saw menjadikan thawaf sebagai cara menghormati makkah dan tahiyyat bagi masjidil haram.
Sementara Allah swt menjadikan setiap jengkal tanah di muka bumi ini adalah masjid, artinya dapat dijadikan sebagai tempat shalat dimanapun saja kecuali tempat yang dilarang untuk melakukannya. Sebagaimana di riwayatkan oleh Abu Sa’id Al Khudri, Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,
الأَرْضُ كُلُّهَا مَسْجِدٌ إِلاَّ الْمَقْبُرَةَ وَالْحَمَّامَ
“Seluruh bumi adalah masjid (boleh digunakan untuk shalat) kecuali kuburan dan tempat pemandian” (HR. Tirmidzi no. 317)
Inilah salah satu keistimewaan ummat muhammad, setiap jengkal tanahnya adalah dapat digunakan untuk dijadikan tempat ibadah, sementara ummat nabi lainnya sebelum Nabi Muhammad mereka jika beribadah haruslah ditempat khusus yang telah ditentukan. Karenanya, jika memasuki suatu daerah maka datangilah masjidnya dan solatlah disana sebagai penghormatan atas masjid daerah itu sekaligus cara memuliakan buminya dan wilayahnya.
Demikianlah yang dilakukan oleh Nabi Muhammad saat pertama kali masuk kota Yatsrib, beliau awal mula yang dilakukan adalah mendirikan masjid sebagai tempat ibadah, pembinaan dan berkumpul ummat sekaligus sebagai cara memuliakan tanah dan daerah itu. Sehingga daerah itu sebagai sebaik-baiknya tempat dan semulia-mulianya wilayah, jadilah Yatsrib menjadi kota yang diberkahi oleh Allah swt dan menjadi pusat peradaban yang dari sana memancarkan cahaya kebenaran, berubahlah Yatsrib menjadi al Madinah al Munawwarah (kota yang penuh cahaya kebenaran).
Dengan adanya masjid, maka daerah akan menjadi diberkahi, karena dari sana nama-nama Allah dipanggil dan dimuliakan, disebut-sebut dengan penuh keagungan dan kebesaran, suara adzan dikumandangkan, ibadah solat ditegakkan dan ilmu Allah disyiarkan. Hingga memancar kemuliaan dan mendatangkan keberkahan bagi buminya dan penduduknya.
Bahkan jika suatu wilayah tidak ada masjid di sana, maka nama Allah akan sulit dikumandangkan dan dibesar-besarkan, taman surga akan sulit dijumpai hingga malaikat enggan turun ke bumi untuk menebarkan kasih sayang Allah swt. Bahkan syetan akan menguasai daerah itu dan hilanglah kehormatan daerah itu.
مَا مِنْ ثَلاَثَةٍ فِى قَرْيَةٍ وَلاَ بَدْوٍ لاَ تُقَامُ فِيهِمُ الصَّلاَةُ إِلاَّ قَدِ اسْتَحْوَذَ عَلَيْهِمُ الشَّيْطَانُ فَعَلَيْكَ بِالْجَمَاعَةِ فَإِنَّمَا يَأْكُلُ الذِّئْبُ الْقَاصِيَةَ
“Tidaklah tiga orang di suatu desa atau lembah yang tidak didirikan shalat berjamaah di lingkungan mereka, melainkan setan telah menguasai mereka. Karena itu tetaplah kalian (shalat) berjamaah, karena sesungguhnya serigala itu hanya akan menerkam kambing yang sendirian (jauh dari kawan-kawannya).” (HR. Abu Dawud).
Hadist ini menjelaskan bahwa bagaimana mungkin akan dilaksanakan shalat berjamaah sementara tidak dikumandangkan adzan di tempat itu, karena adzan adalah tanda masuknya waktu shalat. Bahkan dengan dikumandangnya adzan menandakan bahwa daerah tersebut adalah negeri muslim sehingga terjaga kemuliaannya. sebagaimana sabda Nabi dari Anas bin Malik radhiyallahu ‘anhu menceritakan bahwa,
كَانَ إِذَا غَزَا بِنَا قَوْمًا لَمْ يَكُنْ يَغْزُو بِنَا حَتَّى يُصْبِحَ وَيَنْظُرَ ، فَإِنْ سَمِعَ أَذَانًا كَفَّ عَنْهُمْ ، وَإِنْ لَمْ يَسْمَعْ أَذَانًا أَغَارَ عَلَيْهِمْ
“Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam dahulu jika akan menyerang satu kaum, beliau tidak memerintahkan kami menyerang pada malam hari hingga menunggu waktu subuh. Apabila azan Shubuh terdengar, maka tidak jadi menyerang. Namun bila tidak mendengarnya, maka ia menyerang mereka.” (HR. Bukhari no. 610 dan Muslim no. 382).
Karena semulia-mulia tempat di muka bumi ini adalah masjid. Sementara seburuk-buruknya tempat adalah pasar. Sehingga untuk memuliakan tanah suatu wilayah maka datangilah masjidnya. Namun apa yang sedang menggejala pada setiap diri kita disaat mendatangi suatu wilayah baru, kebanyakan kita tujuan pertama dan paling sering kita kunjungi adalah pasarnya, pusat oleh-olehnya, pusat kulinernya, mall dan pusat perbelanjaannya dan sebagainya yang semua merujuk pada apa yang disebut dengan pasar. Sebagaimana sabda Nabi :
خير البقاع المساجد وشرها الأسواق
“Sebaik-baik tempat adalah masjid dan seburuk-buruk tempat adalah pasar” (HR. Ibnu Hibban dan dihasankan oleh Al-Albani dalam Shahih Al-Jami’ no. 3271)
Dalam hadits lain, beliau shallallahu alaihi wa sallam bersabda:
أَحَبُّ الْبِلَادِ إِلَى اللهِ مَسَاجِدُهَا، وَأَبْغَضُ الْبِلَادِ إِلَى اللهِ أَسْوَاقُهَا
“Tempat yang paling Allah cintai adalah masjid. Dan tempat yang paling Allah benci adalah pasar” (HR. Muslim)
Alangkah baiknya bagi seorang pendatang jika memasuki suatu wilayah baru maka datangilah masjidnya terlebih dahulu, lakukan shalat tahiyyat masjid disana sebagai cara kulonuwun, ijin permisi memasuki wilayah baru sekaligus cara memuliakannya serta cara mengetuk pintu keberkahan atas wilayah itu sehingga selama berada disana kita selalu berada dalam bimbingan perlindungan Allah dan mendapatkan kebaikan dari apapun yang kita hajatkan di daerah tersebut.
Inilah akhlaq muslim, karena semulianya manusia adalah yang menjadikan akhlaq sebagai pakaian keseharian dalam realitas interaksi apapun di tengah-tengah hubungan kemanusiaan. Akhlaq adalah tindakan mulia dan menjadi pakaian orang-orang mulia pula. Karena itu tampilkanlah akhlaq mulia dalam sekecil dan seremeh apapun perilaku termasuk saat memasuki suatu tempat yang baru.
Semoga Allah swt memakaikan baju kemuliaan bagi kita melalui pakaian akhlaq mulia dan kelak mengumpulkan diri kita dalam golongan orang-orang mulia di sisiNya. Aamiiin…
KH. Akhmad Muwafik Saleh dosen FISIP UB, penulis produktif, pengasuh pondok pesantren mahasiswa Tanwir al Afka