Akhir-akhir ini kita menjumpai fenonena akhlaq yang sudah mulai terdegradasi dikalangan banyak kalangan, baik anak muda ataupun orang tua, baik dalam interaksi sosial maupun dalam interkasi menuntut ilmu. Dalam interaksi sosial kita menjumpai hubungan anak dengan orang tua atau yang lebih tua seakan tiada jarak sehingga mereka menganggap bahwa orang tua atau orang yang lebih tua seakan berada dalam pola interaksi yang sepadan, sehingga penyebutan dan panggilan menjadi tidak terpedulikan.
Demikian pula realitas akhlaq dalam interaksi menuntut ilmu juga mengalami pergeseran nilai. Jika dulu kita tidak berani untuk menghubungi dosen lewat telpon, biasanya bertemu dengan tatap muka langsung atau bersedia menunggu dosen di ruangannya hingga sampai beliaunya datang di kantor. Namun mahasiswa sekarang tidaklah demikian. Bahkan jika berhubungan medsos dengan guru/dosen cenderung minim adab dan tidak menggunakan tutur bahasa yang baik, ataupun adab interaksi yang santun. Terlebih aneh lagi, para pengajar seakan tidak peduli dengan sikap yang ditampilkan oleh mahasiswanya dan menganggap bahwa hal demikian adalah sebuah kewajaran realitas.
Bahkan kehidupan remaja diluar kampus pun tidak jauh lebih baik. Inilah akhir zaman. Akhlaq sudah mulai rusak. Laki perempuan campur (ikhtilat) dimana-mana. Cafe-cafe, tempat nongkrong merebak dimana-mana. Anak-anak banyak nongkrong, ngopi, ngobrol sampai ndak kenal batas waktu, orang tua dan masyarakat sekitar seakan membiarkan realitas itu, semua orang bertindak permissif dengan keadaan ini. Sehingga kehidupan generasi muda semakin memburuk. Dan anehnya semua orang menutup mata dengan realitas ini, seakan semua ini adalah wajar. Padahal dahulu, tidak demikian, semua orang tua dan masyarakat sangat peduli dengan sekitar, jika ada hal yang kurang tepat dari sisi akhlaq, mereka langsung bertindak. Sekarang hal itu sudah tidak ada lagi. Semuanya diam, membiarkan begitu saja dan dianggap hal wajar.
Semua ini adalah hasil dari proses sekularisasi atas berbagai sistem yang ada di negeri ini baik bidang pendidikan, budaya, interaksi sosial dan sebagainya, yang kemudian menghasilkan liberalisasi berpikir. Salah satu ciri liberalisme adalah menanamkan sikap permissif atas kemungkaran. Sikap permisif ini sejalan dengan konsepsi dasar liberalisme tentang relativitas, yang memahami bahwa realitas dunia profan adalah serba relatif sebagaimana kehidupan manusia yang subjektif. Sehingga mereka memahami bahwa kebenaran itu bersifat relatif dan ada dimana-dimana, sehingga setiap orang tidak boleh melakukan klaim kebenaran sepihak secara subjektif. Sebab setiap orang dapat menentukan nilai kebenarannya sendiri secara subjektif. Baik terhadap mereka yang beragama ataupun tidak beragama, semuanya memiliki nilai subjektifitasnya sendiri.
Demikian pula dengan agama, melalui konsepsi ini agama dipahami sebagai wujud kesadaran subjektif manusia, sehingga nilai-nilai kebenaran agama pun bersifat subjektif. Maka setiap orang tidak boleh mengklaim bahwa agama merekalah yang paling benar sebab semua agama itu benar, semua agama sama, termasuk pula yang tidak beragama pun itu benar dan membawa kebenaran. Dan yang menjadi garis temunya adalah kebaikan bersama. Sehingga jika masyarakat bersepakat bahwa hal itu adalah baik secara subjektif maka jadilah ia sebagai sebuah kebaikan dan kebenaran bersama. Pada tahap ini, kebenaran tidak memiliki standart yang absolut. Selama seseorang bersepakat atas suatu tindakan sebagai kebaikan sekalipun menurut nilai agama itu buruk dan mungkar, maka keburukan dan kemungkaran itu dapat menjadi baik atau bernilai kebaikan.
Ini realitas kehidupan tanpa agama. Disaat seseorang menganggap bahwa semua agama adalah sama, maka sebenarnya dia telah meniadakan agama. Sehingga ujung dari ide liberalisme adalah atheisme. Dan realitas ini sedang marak dikalangan kaum intelektual yaitu berupa “kegenitan berpikir”, dan anehnya banyak dari mereka tidak sadar atas pemikiran tersebut bahwa mereka sedang mengalami kegagalan logika. Itulah konsekwensi dari cara pandang diatas yang sengaja di suntikkan pada pikiran generasi dengan kemasan berpikir yang seakan menarik walau sejatinya bermasalah dan merusak.
Sementara pada sisi yang lain, kalangan orientalis mengkampanyekan ide demokrasi liberal dengan menjadikan isu HAM, Toleransi dan Persamaan Hak bagi kalangan minoritas unntuk lebih diarus utamakan dalam pengelolaan interaksi kebangsaan. Disisi yang lain secara bersamaan mereka menebarkan labelling terhadap kalangan yang menolak konsepsi liberal tersebut dengan tuduhan radikal, fundamentalis, bahkan ekstrimis karena keistiqomahan mereka dalam menegakkan kebenaran wahyu secara lurus dan kaffah.
Isu HAM, toleransi dan persamaan hak mengkonsekwensikan sikap agar setiap orang bersedia menerima beragam perbedaan keyakinan termasuk pilihan keberpihakan serta tidak boleh mengklaim kebenaran subjek sehingga harus menerima siapa saja yang berbeda sekalipun nyata-nyata telah melakukan kesalahan dan kemungkaran maka siapapun saja tidak boleh menyalahkannya dan mendeskriminasikannya karena setiap orang punya hak yang sama serta tidak boleh menyalahkan dengan melakukan klaim kebenaran sepihak. Karena kalangan liberal memahami bahwa kebenaran ada pada semua. Sehingga pada tataran ini sebenarnya liberalisme telah menegasikan kebenaran absolut atau kebenaran Tuhan. Kesimpulannya Tuhan itu telah Mati, sekalipun kalangan liberal agak malu-malu menyatakan hal demikian. Benarlah apa yang dikatakan KH. Hasyim Muzadi, bahwa liberal itu adalah kafir yang belum jadi.
Inilah buah dari liberalisme yaitu menjadikan manusia semakin permisif atas keburukan dan kemungkaran sebab mereka tidak memberikan ruang bagi kebenaran absolut yang menjadi nilai utama kemanusiaan. Ketiadaan kebenaran sebagai standar penilaian kebaikan dan kebenaran inilah yang melahirkan permisifitas atas kemungkaran. Jika realitas ini terus dibiarkan maka kehancuran peradaban manusia akan persis berada dihadapan mata, yaitu kehidupan tanpa moralitas akhlaq. Sebuah kehidupan tanpa peradaban. Na’udzubillahi min dzalik.
Semoga Allah swt menjaga diri kita untuk terus berada dalam bimbinganNya dan menjaga ummat ini dari kerusakan moral dan semoga agama islam tetap terjaga dari para penyeleweng nilai-nilainya. Semoga kita diberi keistqomahan dalam memegang ajaran agama ini dengan lurus. Aamiiin….
KH. Akhmad Muwafik Saleh dosen FISIP UB, penulis produktif, pengasuh pondok pesantren mahasiswa Tanwir al Afkar