Kanal24, Malang – Universitas Brawijaya (UB) menggelar acara bedah buku Move in Silence: Untold Story of Kanjuruhan Disaster, karya AKBP Putu Kholis Aryana, S.I.K., yang saat ini menjabat Kapolres Malang. Buku yang menceritakan perjalanan pemulihan pasca tragedi Kanjuruhan ini didiskusikan dalam forum akademik di Auditorium Nuswantara, Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik Universitas Brawijaya (FISIP UB), Jumat (20/12/2024).
Rektor Universitas Brawijaya, Prof. Widodo, S.Si., M.Si., Ph.D.Med.Sc., dalam sambutannya menyoroti pentingnya membangun kehidupan yang lebih baik melalui penguatan nilai-nilai kemanusiaan.
“Tragedi adalah sesuatu yang tidak diinginkan, tetapi ketika terjadi, kita memiliki tanggung jawab untuk memperbaiki keadaan. Dalam hadis, disebutkan tiga hal yang abadi: amal jariah, ilmu yang bermanfaat, dan anak yang saleh. Saya yakin buku ini termasuk ilmu yang bermanfaat yang memberikan inspirasi kepada banyak orang,” ujar Prof. Widodo.
Dibalik Penulisan Buku
AKBP Putu Kholis Aryana mengungkapkan refleksinya selama bertugas di Polres Malang, hanya 48 jam setelah tragedi Kanjuruhan yang terjadi pada 1 Oktober 2022. Tragedi itu menewaskan 135 korban jiwa, termasuk dua anggota kepolisian.
“Saya datang ke Polres Malang pada 3 Oktober 2022, di usia 39 tahun. Saat itu, polisi menjadi public enemy nomor satu di Malang Raya. Namun, saya merasa ini adalah tanggung jawab besar yang harus saya emban, meskipun sangat berat,” ungkap AKBP Kholis.
Langkah pertama yang ia ambil adalah meminta maaf kepada masyarakat Malang. “Permintaan maaf saya sampaikan tiga kali. Pertama, atas tragedi yang terjadi. Kedua, kepada keluarga korban yang kehilangan harapan masa depan. Ketiga, atas segala langkah kami yang mungkin dirasa belum memadai,” jelasnya.
Proses permohonan maaf ini tidak mudah. Banyak keluarga korban yang awalnya menolak kehadirannya. “Ada yang membutuhkan waktu satu minggu, dua minggu, bahkan satu tahun untuk menerima saya. Namun, saya terus berupaya membangun silaturahmi dan memulihkan kepercayaan,” tambahnya.
Komitmen Merawat Ingatan
Buku Move in Silence merupakan rekaman langkah-langkah pemulihan dan rekonsiliasi pasca tragedi. Buku setebal 550 halaman ini terdiri dari 31 bab yang menggambarkan sudut pandang keluarga korban, jurnalis, tokoh masyarakat, hingga Kapolres sebelumnya, Ferli Hidayat.
“Saya menulis buku ini sebagai bentuk komitmen untuk merawat ingatan dan memberikan pembelajaran kepada polisi lain dalam menangani situasi krisis,” ungkap AKBP Kholis.
Buku ini juga menjelaskan konsep keadilan transformatif yang diterapkan dalam proses pemulihan. Kholis menjabarkan tiga langkah besar: community policing untuk membangun kembali kedekatan dengan masyarakat, peace-making criminology untuk memperkuat nilai-nilai lokal, dan transformative justice untuk mengatasi konflik dengan pendekatan yang lebih inklusif.
“Jika kita semua berdiri sejajar dan setara, saya yakin solusi yang diharapkan oleh seluruh pihak dapat ditemukan,” ujar AKBP Kholis.
Perspektif Hukum dan Pemulihan Sosial
Dr. Faizin Sulistio, S.H., LL.M., dosen Hukum Pidana Fakultas Hukum UB, memberikan ulasan mendalam tentang buku tersebut. “Persoalan tragedi Kanjuruhan ini sangat berat, terutama dari aspek hukum pidana. Namun, buku ini lebih banyak merangkum cerita dari berbagai perspektif, mulai dari penyintas, keluarga korban, hingga petugas kepolisian yang juga mengalami trauma,” jelasnya.
Faizin menekankan bahwa buku ini lebih menyoroti upaya pemulihan dan rekonsiliasi dibanding penegakan hukum. “Dari buku ini, terlihat bagaimana Polres Malang berusaha membangun kembali hubungan dengan masyarakat, khususnya penyintas dan keluarga korban. Ini adalah langkah besar dalam menghadirkan keadilan transformatif,” tambahnya.
Tragedi Kanjuruhan menjadi catatan kelam dalam sejarah Indonesia, tetapi upaya pemulihan yang dilakukan menunjukkan bahwa kerja keras dan ketulusan dapat membawa perubahan besar.
“Saya berharap tragedi ini menjadi pelajaran bagi kita semua, bukan hanya untuk institusi kepolisian, tetapi juga bagi masyarakat. Mari kita terus menjaga nilai-nilai kemanusiaan dalam setiap langkah kita,” tutup AKBP AKBP Kholis.
Bedah buku ini menjadi momen refleksi bersama untuk memahami pentingnya keadilan, rekonsiliasi, dan nilai-nilai kemanusiaan dalam menghadapi tragedi besar. (din)