Pada bulan Muharrom Rasulullah sangat gemar menjalankan puasa muharram, salah satu bulan yang dimuliakan oleh Allah. Terdapat tanggal istimewa da khususnya pada tanggal yang kesepuluh, yang dikenal dengan ‘Asyura yaitu salah satu dari empat bulan mulia yang disebutkan dalam Al-Quran. Salah amalan yang di anjurkan pada bulan kni adalah berpuasa pada tanggal 10 yang disebut dengan puasa ‘Asyuro, seperti yang telah disebutkan dalam hadits :
قال رسول الله صلى الله عليه وسلم : ( هَذَا يَوْمُ عَاشُورَاءَ وَلَمْ يَكْتُبْ اللَّهُ عَلَيْكُمْ صِيَامَهُ وَأَنَا صَائِمٌ فَمَنْ شَاءَ فَلْيَصُمْ وَمَنْ شَاءَ فَلْيُفْطِرْ )
Rosulullah SAW bersabda : “Ini (10 Muharrom) adalah hari ‘Asyuro dan Allah tidak mewajibkan puasa atas kalian dan sekarang aku berpuasa, maka siapa yang mau silahkan berpuasa dan siapa yang tidak mau silahkan berbuka (tidak berpuasa) “ (Bukhori :1899 dan Muslim : 2653).
Sebagaimana pula dalam sabda Nabi :
صِيَامُ يَوْمِ عَاشُورَاء، أَحْتَسِبُ عَلَى اللهِ أَنْ يُكَفِّرَ السَّنَةَ الَّتِي قَبْلَهُ
“ Dari Abu Qatadah -radhiyallahu ‘anhu-, bahwa Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam ditanya tentang puasa hari ‘Asyura. Beliau menjawab, “(Puasa tersebut) Menghapuskan dosa satu tahun yang lalu “. (Muslim : 2746).
Namun menariknya adalah pada saat para sahabat bertanya tentang bagaimana mensikapi perilaku yang sama dengan ummat lainnya yaitu Yahudi dan Nasrani, maka Rasulullah dengan tegas menyatakan bahwa ummat Islam harus memiliki amalan yang berbeda, yaitu dengan cara menambahkannya satu hari sebelum atau setelahnya (tanggal 9 atau 11 bulan muharram). Sebagaimana dalam sebuah riwayat dijelaskan :
عَنْ عَبْدَ اللَّهِ بْنَ عَبَّاسٍ رَضِيَ اللَّهُ عَنْهُمَا يَقُوْلُ حِيْنَ صَامَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ يَوْمَ عَاشُورَاءَ وَأَمَرَ بِصِيَامِهِ قَالُوا يَا رَسُولَ اللَّهِ إِنَّهُ يَوْمٌ تُعَظِّمُهُ الْيَهُودُ وَالنَّصَارَى فَقَالَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ فَإِذَا كَانَ الْعَامُ الْمُقْبِلُ إِنْ شَاءَ اللَّهُ صُمْنَا الْيَوْمَ التَّاسِعَ قَالَ فَلَمْ يَأْتِ الْعَامُ الْمُقْبِلُ حَتَّى تُوُفِّيَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ
“Diriwayatkan dari Abdullah bin ‘Abbas radhiallahu ‘anhuma bahwasanya dia berkata, “Ketika Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam ketika berpuasa di hari ‘Asyura’ dan memerintahkan (perintah sunnah) manusia untuk berpuasa, para sahabat pun berkata, ‘Ya Rasulullah! Sesungguhnya hari ini adalah hari yang diagungkan oleh orang-orang Yahudi dan Nasrani.’ Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam pun berkata, ‘Apabila datang tahun depan Insya Allah kami akan berpuasa pada tanggal 9 (Muharram). Berkata Abdullah bin Abbas “ Belum sempat tahun depan tersebut datang, ternyata Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam telah wafat.” ( Muslim : 1134/2666)
Dalam riwayat lain disebutkan pula dari sahabat Abdullah ibn Abbas :
صُومُوا يَوْمَ عَاشُورَاء، وَخَالِفُوا اليَهُودَ، صُومُوا قَبْلَهُ يَوْمًا أَوْ بَعْدَهُ يَوْمًا
“Berpuasalah kalian pada hari ‘Asyuro` dan berbedalah dengan orang Yahudi, (yaitu) berpuasalah kalian sehari sebelumnya atau sehari setelahnya” (Ibnu Khuzaimah: 2095).
Hadist ini memberikan sebuah gambaran kepada kita bagaimana Nabi saw sangatlah peduli atas perlunya karakteristik yang khas dari ummat Islam agar tidak terkesan meniru dan berbeda dengan ummat agama lainnya. Inilah sosok pemimpin ummat yang sangat visioner dan kokoh. Seorang pemimpin haruslah seorang yang peduli atas terciptanya karakter kuat bagi orang yang dipimpinnya serta bagi organisasi atau kelompoknya. Karakter inilah yang menjadi ciri pembeda pada sosok kepribadian ummat sehingga tidak mudah diremehkan oleh yang lainnya karena memiliki kewibawaannya sendiri dan tidak dianggap asal jiplak, follower, norok buntek (madura).
Ummat islam haruslah menjadi trend setter dalam semua realitas kehidupan. Sebagaimana yang pernah dilalui oleh ummat islam pada abad ke 7 hingga abad 11 masehi di jazirah arab dan Eropa hingga mampu memberikan warna perubahan signifikan bagi perkembangan dunia. Bahkan Eropa mampu menuju puncak keemasannya sebagai pusat peradaban dunia saat itu di bawah kekuasaan Daulah Umayyah di Cordova Spanyol. Hingga mengantarkan Eropa dalam perkembangan seperti yang terjadi sekarang ini. Semua itu bermula karena ummat Islam benar-benar menguatkan identitas dirinya sebagai ummat yang cerdas dan maju, melalui pembentukan karakter yang khas dan berbeda dengan ummat lainnya. Hal ini tidak terlepas dari kepedulian dan kesadaran yang tinggi dari Rasulullah saw dalam menegaskan pentingnya karakterstik yang khas dan mampu menjadi pembeda.
Semangat menjadi trend setter peradaban ummat manusia mensyaratkan adanya kompetensi kualitas individu yang luar biasa melebihi dari kemampuan rata-rata bangsa-bangsa lainnya. Hal ini secara fitrah keagamaan sebenarnya telah diinspirasikan sejak awal agama ini diturunkan melalui ayat pertama sumber wahyu, yaitu iqra. Bahkan dalam banyak ayat pembuka dalam surat al quran, Allah swt ingin mendorong ummat islam agar menjadi ummat yang berkarakteristik kuat dengan menghadirkan ayat-ayat mutasyabihat dengan menggunakan huruf muqattha’ah, seperti alif lam mim, yang hal itu tidak pernah terjadi sebelumnya dalam penulisan kesusastraan arab. Hingga membuat banyak para sastrawan arab jahiliyah terkaget-kaget dan takjub atas sastra alQuran tersebut. Maka jadilah Islam sebagai trendsetter sastra pada saat itu. Fitrah trendsetter kemudian terus menggelora dalam diri kaum muslimin untuk memberikan perubahan mendasar dan signifikan dalam semua aspek kehidupan. Hingga menjadikan Islam sebagai satu-satunya rujukan utama dalam semua aspek hidup.
Persoalannya sekarang adalah mengapa semangat trendsetter itu saat ini mulai melemah bahkan hilang dari diri kaum muslimin dan tergantikan dengan budaya membebek pada non muslim. Sebuah perjalanan sejarah yang berbalik secara diametral. Hal ini disebabkan kaum muslimin tidak lagi peduli dengan pentingnya membuat dan menjadi pembeda dalam karakteristik sikap sebagai seorang muslim yang dibentuk oleh wordview islam. Bahkan kaum muslimin lebih suka mengikuti wordview barat yang jauh dari nilai-nilai luhur islam. Hingga hilanglah karakteristiknya bersamaan pula dengan kewibawaannya.
Untuk itu, belajar dari ketegasan nabi atas kepedulian menjadi ummat yang memiliki karakteristik khas dan berbeda dengan ummat lainnya maka momentum muharram, tahun baru islam patutlah dijadikan sebagai starting point untuk melakukan penguatan karakter citra diri islam sebagai seorang muslim yang berakhlaq mulia dan berperadaban. Semoga Allah selalu membimbing kita di jalanNya dan mengarahkan setiap langkah kita dalam ridhoNya. Aamiiin