KANAL24, Malang – Jack Welch mengatakan bahwa kecepatan merupakan hal terpenting untuk memenangkan bisnis. “The 3S’s of winning in business are speed, simplicity and self-confidence,” ujarnya. Sementara dalam The Art of War, Sun Tzu mengatakan, “What is of the greatest importance in war is extraordinary speed; one cannot afford to neglect opportunity.”
Bukan kebetulan jika Jack Welch menempatkan speed sebagai elemen pertama dari konsep 3S-nya (Speed, Simplicity, Self-Confidence). Karena di dalam lingkungan yang berubah cepat memang speed adalah segalanya. Itu sebabnya saya juga menempatkan speed sebagai salah satu nilai-nilai yang harus dikembangkan di Kemenpar yaitu: Solid, Speed, Smart. Dan saya sering mengatakan, “Yang cepat akan memakan yang lambat, bukan yang besar memakan yang kecil.”
Kecepatan terwujud jika sebuah organisasi mampu berpikir cepat (fast thinking), mengambil keputusan dengan cepat (fast decision), dan melakukan aksi dengan cepat (fast action).
Berpikir cepat menjadi sangat penting karena dapat mengantisipasi masa depan melalui visi dan strategi yang kita rumuskan. Mengambil keputusan dengan cepat diperlukan mengingat begitu banyak informasi yang harus dikerucutkan menjadi sebuah kebijakan. Dan melakukan aksi yang cepat sangat krusial karena aksilah yang menghasilkan result. Saya sering mengatakan, “Visi tanpa aksi itu fantasi, aksi tanpa visi itu sensasi, selarasnya visi dan aksi yang bisa mengubah dunia.”
Dalam CEO Message kali ini secara khusus saya akan membahas mengenai aspek ketiga dari kecepatan yaitu fast action. Kenapa? Karena selama ini kita sudah cukup mumpuni dalam hal fast thinking dan fast decision, namun masih sangat lemah untuk urusan fast action atau speed in execution.
Tak hanya itu, di tahun 2019 ini eksekusi program-program kerja secara cepat bukan lagi pilihan tapi sudah menjadi keharusan ketika kita sudah menetapkan strategi “Shifting to the Front” (STTF). Melalui STTF ini semua sumber daya kita konsentrasikan di depan dan kecepatan kita maksimalkan di awal-awal tahun anggaran. Kalau diibaratkan mobil, maka kini mesinnya kita ganti, kalau awalnya mesin Kijang kini diganti mesin Ferrari yang ngegasnya maksimal sejak start.
Sejak akhir tahun lalu kita sudah merumuskan strategi untuk tahun 2019 secara komprehensif. Kita punya 9 program yang dibagi ke dalam tiga kelompok yaitu: Ordinary (BAS: Branding, Advertising, Selling), Extraordinary(IHC: Incentive Airlines, Hot Deals, Competing Destination Model), dan Super-Extraordinary (BHL: Border Tourism, Hub, Low Cost Terminal).
Di samping program yang komprehensif, kita juga sudah menyusun target dan anggaran untuk masing-masing deputi secara menditel mengacu kepada tiga kelompok program di atas. Semua deputi sudah presentasi ke saya dengan sangat ditel dan bagus sekali. So apa yang kurang? Yang kurang adalah bagian terakhir yang justru terpenting yaitu eksekusi riil di lapangan.
Dalam konsep Strategy Impelementation (SI) kita mengenal tiga elemen proses yaitu Program, Budget, dan Procedure (disingkat PBP). Kita sudah punya program yang komprehensif. Kita juga sudah punya budget yang detil. Nah, dalam kaitan eksekusi di lapangan kita akan menghadapi serangkaian prosedur yang bisa memperlambat kecepatan aksi kita. Hal terakhir inilah kelemahan utama yang selama ini kita hadapi. Permasalahan kita selalu di eksekusi.
Dalam hal eksekusi, sampai dengan hari ini, dari total tender yang harus dilakukan kita baru mencapai Rp. 308 miliar atau 14%. Seperti diketahui, untuk anggaran tahun ini tender mencapai porsi 2/3 (sebesar Rp 2,2 triliun), sementara sisanya melalui swakelola (Rp 1,1 triliun). Kalau Rp. 308 miliar dibagi dengan total Rp 3,3 triliun maka hanya tercapai 9%. Kalau capaiannya cuma sebesar itu, maka bisa diproyeksikan penyerapan baru habis di bulan November. Ini tentu tidak sesuai dengan strategi “Shifting to the Front”.
Lalu apa yang harus dilakukan kalau seperti ini? Tak bisa lain kecuali kita harus menyiasati dan mempercepat pelaksanaan prosedur. Makanya kita menyusun Laporan Harian Realisasi Anggaran (LHRA). Ketika laporan harian sudah kita tulis, tidak ada cara lain selain dilaporkan setiap hari, yaitu di LHRA itu. Nah, pertanyaannya, bagaimana agar proses itu lebih cepat?
Umumnya kalau ada percepatan, mestinya ada timnya. Selama ini di Kemenpar ada banyak tim percepatan, namun tim percepatan untuk pengadaan justru tidak ada. Harusnya ada semacam tim asistansi untuk mempercepat prosesnya. Di beberapa perusahaan sering dibentuk Pimpro agar fokus dalam mengerjakan suatu proyek. Jadi kelemahannya adalah tim percepatan pengadaan itu yang tidak ada. Akibatnya semua mengikuti prosedur seperti biasa yang kita tahu birokrasi itu sangat lambat. Keputusannya saya akan membentuk Tim Percepatan Barang dan Jasa.
Solusi lain adalah menyelesaikannya di Rapim. Berkali-kali saya ingatkan agar jika terjadi masalah terkait prosedur, jangan takut untuk membawanya ke Rapim. Mekanisme Rapim ini bisa menjadi solusi karena dua hal. Pertama, keputusan di Rapim itu tidak bersifat personal karena diputuskan bersama-sama atau kolegial. Kedua, keputusan yang diambil bukan berdasarkan pemikiran sendiri yang belum tentu benar.
Saya kasih contoh pemikiran yang tidak benar itu. Misalnya, adanya pemikiran bahwa sisa lelang itu tidak bisa digunakan. Nyatanya bisa digunakan. Yang kedua, rekan-rekan selalu takut anggarannya habis, tapi ternyata di level Menteri selalu ada sisa sekitar 10% tiap tahun. 10% itu kalau anggaran totalnya Rp 3.8 triliun kan berarti ada uang Rp 380 miliar. Itu bukan uang kecil yang bisa digunakan lagi.
Contoh yang lain, kita boleh tender bahkan wajib sebelum tahun yang berjalan. Itu sudah saya putuskan tapi tidak bisa dilakukan sepenuhnya karena masih mengurusi anggaran tahun sebelumnya. Tapi alhamdulillah tender di bulan Desember tahun lalu tetap bisa dijalankan sehingga awal Januari ini capaiannya sudah 14%, lumayan juga. Biasanya capaian sebesar ini baru tercapai di bulan April. Kenapa bisa terjadi? Ini bisa terjadi setelah LHRA konsisten kita jalankan tiap hari, penyerapan kita cek satu-persatu setiap hari.
Selain itu kita sering membuat aturan yang membuat eksekusi tidak cepat. Aturan itu dibuat tidak dengan nilai-nilai Solid, Speed, Smart. Kalau aturan itu dibuat dengan spirit budaya kerja kita harusnya eksekusinya makin cepat. Menurut Jack Welch faktor kunci agar eksekusi bisa cepat adalah Simplicity, yaitu berpikir dan bertindak secara sederhana tidak ribet dan complicated. “The essence of creating speed is simplicity.” Jika kita menginginkan kecepatan, maka kita harus bisa mengubah cara berpikir dan proses yang kita jalani menjadi lebih sederhana. “Simplicity is the great enabler of speed.”
Celakanya, kita di birokrasi sudah terlanjur bermental birokratis. Yaitu menjadikan sesuatu yang sederhana menjadi complicated dan berbelit-belit. Strategi “Shifting to the Front” menuntut kita bergerak super-cepat. Karena itu kita harus berani melakukan inovasi-inovasi dan terobosan-terobosan agar aturan dan prosedur pengadaan bisa kita simplify, tentu dengan tetap di dalam koridor good governance dan tidak menghasilkan temuan-temuan BPK.
Terakhir, saya melihat sebuah eksekusi bisa cepat itu kalau ada jalan keluarnya. Kalau sebuah masalah buntu tak ada solusinya, maka otomatis prosesnya berhenti. Saya kasih contoh, nomadic tourism itu akan cepat karena kalau terjadi apa-apa jalan keluarnya ada. Semakin banyak jalan keluarnya, maka semakin cepat pula jalannya.
Saya mengilustrasikan, semakin banyak pintu keluar di suatu ruangan maka semakin mudah kita masuk, dan semakin lama kita berada di ruangan itu. Kenapa begitu? Karena kalau terjadi apa-apa kita mudah keluar. Ketika kita mudah keluar maka kita tidak akan pernah keluar dan cepat masuknya. Ini adalah sebuah paradoks.
Salam Pesona Indonesia !!!
Arief Yahya, Menteri Pariwisata Indonesia