Kanal24, Malang – Kementerian Komunikasi dan Digital (Komdigi) tengah merancang aturan baru yang melarang anak-anak untuk memiliki akun sendiri di platform media sosial. Aturan ini bertujuan untuk melindungi anak-anak dari potensi risiko dunia maya, sekaligus mendorong keterlibatan orang tua dalam aktivitas digital anak.
Menteri Komdigi, Meutya Hafid, menegaskan bahwa aturan ini bukan untuk membatasi akses anak terhadap media sosial secara keseluruhan, melainkan hanya membatasi kepemilikan akun pribadi bagi anak di bawah usia tertentu.
Pembatasan Akun Anak di Medsos
Dalam rapat kerja dengan Komisi I DPR di Kompleks Parlemen, Senayan, Jakarta, Selasa (4/2/2025), Meutya Hafid menjelaskan bahwa platform media sosial nantinya diwajibkan menerapkan teknologi verifikasi usia pengguna. Dengan demikian, anak-anak di bawah usia yang ditentukan tidak akan bisa membuat akun sendiri.
“Betul ada pembatasan, tapi yang dibatasi adalah akun anak-anak. Jadi anak-anak tidak boleh memiliki akun di media sosial,” kata Meutya.
Verifikasi usia ini akan menjadi syarat utama bagi platform digital untuk memastikan kepatuhan terhadap regulasi yang diterapkan pemerintah. Platform yang tidak menerapkan sistem verifikasi usia dapat dikenakan sanksi.
“Jadi harus ada teknologi yang dimiliki oleh platform ini yang bisa mengecek usia pengguna. Misalnya, jika anak ini berusia 15 tahun atau 16 tahun, maka ia tidak boleh membuat akun sendiri,” tambah Meutya.
Anak-Anak Tetap Bisa Akses Medsos dengan Pendampingan Orang Tua
Meskipun aturan ini membatasi pembuatan akun anak-anak, Komdigi tetap memperbolehkan mereka mengakses media sosial dengan pendampingan orang tua. Artinya, anak-anak dapat menggunakan akun orang tua mereka untuk mengakses platform digital selama dalam pengawasan.
“Pada prinsipnya, kalau si anak didampingi orang tua memakai akun orang tua untuk membuka media sosial, itu tidak apa-apa. Justru itu yang kita dorong berdasarkan banyak masukan dari masyarakat,” jelas Meutya.
Komdigi menegaskan bahwa regulasi ini tidak melanggar hak kebebasan berekspresi anak. Aturan ini lebih berfokus pada perlindungan anak dari risiko dunia maya, seperti perundungan siber, paparan konten negatif, dan eksploitasi daring.
“Kami juga diingatkan bahwa aturan tidak boleh melanggar kebebasan berekspresi. Jadi sekali lagi, bukan akses terhadap informasi yang dibatasi, melainkan kepemilikan akun. Anak tetap bisa mengakses media sosial selama didampingi orang tuanya,” pungkas Meutya.
Dukungan dan Tantangan Implementasi Aturan Baru
Aturan baru ini menuai beragam tanggapan dari berbagai pihak. Beberapa kalangan mendukung langkah ini sebagai upaya perlindungan anak dari dampak negatif media sosial. Namun, ada pula yang mempertanyakan efektivitasnya, mengingat banyak anak yang masih bisa mengakali sistem dengan menggunakan data palsu.
Pemerintah pun diharapkan dapat memastikan bahwa regulasi ini diterapkan secara efektif tanpa mengganggu hak anak dalam memperoleh informasi dan berinteraksi di dunia digital. Sosialisasi kepada masyarakat dan kolaborasi dengan platform media sosial menjadi kunci keberhasilan implementasi aturan ini.
Dengan adanya aturan baru ini, diharapkan orang tua dapat lebih aktif dalam mendampingi anak dalam penggunaan media sosial, serta memberikan edukasi digital yang tepat agar anak dapat memanfaatkan teknologi dengan bijak dan aman. (nid)