Hal laka mulaazim..? Sebuah kalimat pendek namun sangat bermakna. Kalimat yang disampaikan oleh seorang guru besar, murabbi terbaik generasi abad ini, Abuya Assayyid Prof. DR. Muhammad bin alwi al maliki alhasani seorang muhaddits dan ulama ahlussunnah abad 21 ini kepada murid utamanya KH. Ihya Ulumiddin pada suatu kesempatan. Kalimat tersebut bukan hanya sebuah pertanyaan semata melainkan sebuah kalimat retoris yang mengandung nilai akhlaq mulia dalam menjalani proses belajar mengajar, dan mengandung motivasi tinggi untuk membangun loyalitas seorang murid atau santri terhadap gurunya serta kedekatan hubungan yang mengarahkan pada proses manajemen dakwah yang dikelola dengan baik dan disiplin tinggi.
Inilah kekhasan proses belajar mengajar ilmu dalam islam khususnya yang telah dilalui oleh para ulama salaf. Belajar bukan hanya sekedar tentang bagaimana ilmu tersampaikan pada murid, namun lebih daripada itu yaitu bagaimana ilmu benar-benar dipahami dan berbuahkan perilaku dengan bimbingan dan arahan dari sang guru sebagai motivator, pendidik, pembimbing hingga memberikan keteladanan perilaku kepada para muridnya dalam pembimbingan kekuatan ruhiyah secara utuh. Sehingga seorang guru adalah seorang inspirator dan sumber motivasi dan contoh terbaik bagi para muridnya dalam mengembangkan keilmuan dan praktek perilaku dengan menekankan pada aspek adab dan akhlaqul karimah dalam proses belajar mengajar kepada para muridnya sehingga lahirlah pribadi seorang murid yang memiliki akhlaq luhur yang dicirikan dengan kesediaan untuk berkhidmad dengan sepenuh hati kepada guru, sesama teman, tempat dimana mereka menuntut ilmu dan terhadap ummat serta memiliki motivasi tinggi dengan penuh semangat dalam menuntut ilmu dan mendakwahkannya.
Ilmu yang bermanfaat sebagai muara akhir dari proses belajar mengajar yang dicirikan dengan adanya praktek dan implementasi ilmu dan adab dalam praktek kehidupan serta kesediaan untuk menyampaikannya kembali pada ummat. Dan tak kalah pentingnya adalah kesediaan seorang murid untuk berkhidmad kepada sang guru yang tidak hanya sekedar melayani dan mengabdi melainkan memiliki loyalitas yang tinggi untuk menghormati, memuliakan, taat patuh, dan terikat serta bersedia sepenuhnya menyerahkan dirinya untuk terus mengikuti jejak langkah kebaikan (dakwah) yang telah digariskan oleh sang guru dengan sikap sam’an wa tho’atan (mendengar dan taat tanpa membantah) dan menjauhkan diri dari segala tindakan yang dapat membuat kecewa sang guru dan menyakiti hatinya.
Adab atau tata krama inilah yang menjadi jalan keberkahan dalam menuntut ilmu pada seorang guru. Ilmu tanpa adab ibarat pohon yang tak berbuah, ibarat raja tanpa mahkota. Ilmu yang berkah dan manfaat manakala melekat padanya kemuliaan karena kesediaan menampilkan akhlaq mulia terhadap guru. Akhlaq mulia ini dicontohkan oleh Allah swt seperti tidak boleh mengeraskan, meninggikan (volume atau tindakan sikap lainnya) sebagaimana dalam FirmanNya :
يَٰٓأَيُّهَا ٱلَّذِينَ ءَامَنُواْ لَا تَرۡفَعُوٓاْ أَصۡوَٰتَكُمۡ فَوۡقَ صَوۡتِ ٱلنَّبِيِّ وَلَا تَجۡهَرُواْ لَهُۥ بِٱلۡقَوۡلِ كَجَهۡرِ بَعۡضِكُمۡ لِبَعۡضٍ أَن تَحۡبَطَ أَعۡمَٰلُكُمۡ وَأَنتُمۡ لَا تَشۡعُرُونَ
Wahai orang-orang yang beriman! Janganlah kamu meninggikan suaramu melebihi suara Nabi, dan janganlah kamu berkata kepadanya dengan suara keras sebagaimana kerasnya (suara) sebagian kamu terhadap yang lain, nanti (pahala) segala amalmu bisa terhapus sedangkan kamu tidak menyadari.(Al-Hujurat, Ayat 2)
Para sahabat adalah santri-santri Nabi Muhammad swt yang diajarkan langsung oleh Allah swt tentang bagaimana bersopan santun dengan nabi sebagai guru murabbi pembimbingnya. Sehingga apabila seorang murid ingin mendapatkan keberkahan ilmu maka harus mampu menunjukkan loyalitas dengan bersedia memuliakan gurunya. Meski guru adalah manusia biasa yang tidak ma’shum, terbebas dari dosa, akan tetapi jangan pernah sekalipun seorang murid meneliti kekurangan sang guru. Inilah yang dicontohkan oleh para ulama salaf ketiga hendak berguru ke seorang alim maka terlebih dahulu bersedekah dan lalu berdoa : ” Yaa Allah, tutuplah kekurangan guruku dari pandanganku, dan jangan hilangkan berkah ilmunya dariku”.
Bentuk loyalitas murid terhadap guru adalah kesediaan dirinya untuk berkhidmah, melayani dan mengabdi kepada sang guru. Sebagaimana yang ditunjukkan oleh para sahabat nabi yang bersedia loyal dengan berkhidmad pada nabi antara lain : muawiyah dan Zaid bin Tsabit bertugas menulis dan mendokumentasikan wahyu. Anas bin Malik dan barokah Ummu Aiman yang membantu keperluan rumah tangga nabi, sementara Bilal bin Rabah bertugas urusan belanja dapur. Abdullah Bin Mas’ud yang mengurusi sandal dan siwak nabi. sementara rabi’ah Bin ka’ab adalah bagian menyiapkan air wudhu nabi. muaikib bin Abi Fatimah khusus mengurus cincin Nabi. Uqbah bin Amir adalah yang menuntun kendaraan nabi saat perjalanan, demikian pula Dzar bin Abi Dzar yang menggembalakan unta-unta nabi. Kemudian Qaiz bin Saad Bin ubadah sebagai pengawal pribadi nabi. Itulah cara sahabat dalam menunjukkan loyalitasnya kepada sang guru mulia yaitu Rasulullah Shallallahu Alaihi Wasallam dengan berkhidmat secara tulus kepada beliau demi mendapatkan keberkahan dari apa yang dipelajarinya dan dilaluinya bersama.
Loyalitas seorang murid terhadap guru adalah tanda keberhasilan dari proses pembelajaran yang dilakukan yang menunjukkan atas kesungguhan Sang Guru dalam membangun akhlak dan ilmu serta pula kesungguhan dan kesetiaan murid untuk mempraktekkannya dalam realitas. Jika proses pembelajaran tidak mampu menghasilkan loyalitas murid maka tentu ada yang salah dari proses pembelajaran yang dilakukan, apakah pada guru, murid atau sistem yang terapkan. Berbahagialah jika kita memiliki seorang guru yang mampu memahamkan ilmu, mengarahkan tindakan dan membimbing hati menuju penghambaan sejati pada Rabbul izzati. Itulah guru yang murabbi ruuhiy.
Semoga Allah swt memberikan keberkahan atas apa yang kita pelajari dari seorang guru dan menjadikan ilmu yang dipelajari bermanfaat dunia dan akhirat. Semoga Allah swt melindungi guru-guru kita dan memberikan keberkahan pula. Semoga Allah meridhoi kita semua. Aamiiinn….
KH. Akhmad Muwafik Saleh dosen FISIP UB, penulis produktif, pengasuh pondok pesantren mahasiswa Tanwir al Afkar