Kanal24, Malang – Kesadaran masyarakat terhadap kesehatan mental mengalami peningkatan signifikan dalam beberapa tahun terakhir. Menurut dr. Kresna Septiandy Runtuk, Sp. KJ, M. Biomed, Dokter Spesialis Jiwa di Rumah Sakit Universitas Brawijaya (RS UB), mengatakan dalam wawncara eksklusif dengan Kanal24 pada Rabu (19/02/2025) isu kesehatan mental yang dahulu masih dianggap tabu kini mulai diperbincangkan secara terbuka, terutama setelah pandemi COVID-19.
“Dulu sebelum pandemi, bicara soal kesehatan mental itu masih sulit dan sering dianggap tabu. Namun setelah pandemi, banyak orang mulai menyadari pentingnya kesehatan mental. Mereka juga mengalami langsung dampaknya, seperti kecemasan, depresi, hingga meningkatnya kasus keinginan mengakhiri hidup. Itu membuat masyarakat lebih terbuka dan sadar akan kondisi mental mereka,” ujarnya.
Baca juga:
Magister Sains Psikologi UB, Bahas Pentingnya Kesehatan Mental Lewat Filosofi YONO
Gangguan Kecemasan dan Depresi Paling Sering Ditemui
Saat ini, gangguan kesehatan mental yang paling sering dialami masyarakat adalah gangguan kecemasan dan depresi. Berdasarkan penelitian, gangguan kecemasan terjadi pada 1 dari 3 orang, sementara gangguan depresi dialami oleh 1 dari 5 orang.
Gangguan kecemasan sendiri ditandai dengan perasaan gelisah yang berlebihan, overthinking, sulit berkonsentrasi, mudah marah, dan gangguan tidur. Sedangkan gangguan depresi umumnya ditandai dengan perasaan sedih berkepanjangan, kehilangan minat terhadap aktivitas yang biasa disukai, serta munculnya keinginan untuk menyendiri.
“Di praktik saya, pasien yang datang paling banyak mengalami gangguan kecemasan dan depresi. Namun, sebelum berkembang menjadi gangguan jiwa, biasanya mereka mengalami masalah psikososial terlebih dahulu, seperti konflik dalam hubungan, masalah keuangan, tekanan akademik, atau lingkungan kerja yang tidak sehat,” tambah dr. Kresna.
Generasi Muda Lebih Peduli Kesehatan Mental
Kesadaran akan pentingnya kesehatan mental lebih banyak muncul di kalangan generasi muda, terutama Gen Z yang lahir antara tahun 1995 hingga 2010. Mereka lebih peduli terhadap kondisi emosional dan lebih terbuka untuk mencari bantuan profesional dibandingkan generasi sebelumnya.
Namun, masalah kesehatan mental juga tidak hanya terbatas pada anak muda. Banyak orang dewasa hingga lansia yang mengalami gangguan mental, tetapi sering kali tidak menyadarinya. Mereka biasanya datang ke dokter dengan keluhan fisik seperti nyeri lambung, sakit kepala berkepanjangan, atau gangguan tidur, yang ternyata berkaitan dengan gangguan kecemasan atau depresi.
Baca juga:
Skrining Kesehatan Mental Gratis: Akses Mudah untuk Indonesia Sehat!
Peran Keluarga dalam Membantu Pasien dengan Gangguan Mental
Salah satu tantangan dalam penanganan gangguan kesehatan mental adalah stigma dan penolakan dari individu yang mengalaminya. Banyak orang yang sulit menerima bahwa mereka memiliki masalah mental dan enggan mencari pertolongan.
Dalam hal ini, pasangan atau anggota keluarga bisa berperan dalam membantu penderita agar mau berkonsultasi dengan profesional. Alih-alih menuduh atau memberi label negatif, pendekatan yang lebih baik adalah dengan menunjukkan kepedulian dan menawarkan bantuan.
“Daripada bilang ‘Kamu gangguan jiwa, harus ke dokter’, lebih baik pakai pendekatan yang lebih halus seperti ‘Aku lihat kamu sering susah tidur dan gampang gelisah, boleh nggak aku bantu cari orang yang bisa membantu?’. Dengan begitu, pasangan atau keluarga bisa lebih terbuka untuk mencari pertolongan,” jelas dr. Kresna.
Kapan Harus Pergi ke Psikiater?
Banyak orang bertanya kapan saat yang tepat untuk berkonsultasi dengan psikiater. Menurut dr. Kresna, jika seseorang merasa kondisi emosionalnya mengganggu aktivitas sehari-hari, seperti kesulitan bekerja, belajar, atau bersosialisasi, maka itu sudah menjadi tanda untuk mencari pertolongan profesional.
Untuk mendapatkan layanan kesehatan mental, pasien bisa terlebih dahulu berkonsultasi ke dokter umum sebelum dirujuk ke psikiater jika menggunakan Jaminan Kesehatan Nasional (JKN). Namun, jika ingin langsung bertemu psikiater tanpa menggunakan JKN, pasien bisa datang langsung untuk konsultasi.
Obat untuk Gangguan Kesehatan Mental
Banyak orang masih ragu untuk menemui psikiater karena takut akan pengobatan dengan obat-obatan psikotropika. Namun, dr. Kresna menegaskan bahwa pengobatan untuk gangguan jiwa tidak selalu harus menggunakan obat.
“Kami memberikan pengobatan berdasarkan kondisi pasien. Tidak semua gangguan jiwa memerlukan obat. Jika memang dibutuhkan, obat diberikan untuk membantu menyeimbangkan kembali zat kimia di otak yang berperan dalam regulasi emosi. Selain itu, terapi psikologis juga penting dalam pemulihan pasien,” tuturnya.
Baca juga:
Psikoday Inisiasi Kolaborasi Multi Helix, Menjawab Tantangan Kesehatan Mental
Menjaga Kesehatan Mental Sehari-hari
Untuk menjaga kesehatan mental, dr. Kresna menyarankan agar setiap individu memiliki mekanisme koping yang sehat, seperti:
- Melakukan olahraga secara rutin
- Mengatur pola tidur yang cukup
- Menghindari konsumsi alkohol atau obat-obatan terlarang
- Menjaga hubungan sosial yang baik dengan keluarga dan teman
- Tidak ragu untuk mencari bantuan profesional jika merasa terbebani
Dengan semakin meningkatnya kesadaran akan pentingnya kesehatan mental, diharapkan masyarakat tidak lagi takut atau malu untuk berbicara tentang kondisi emosional mereka. Kesehatan mental sama pentingnya dengan kesehatan fisik, dan mencari pertolongan bukanlah tanda kelemahan, melainkan langkah bijak untuk kehidupan yang lebih sehat dan bahagia. (nid)