Kanal24, Malang – Ketua Perhimpunan Bantuan Hukum dan HAM Indonesia (PBHI), Julius Ibrani, menyampaikan keprihatinannya terhadap perkembangan peraturan perundang-undangan yang berpotensi mempersempit ruang keadilan bagi masyarakat sipil. Hal ini ia sampaikan dalam diskusi publik bertajuk “Memperluas Kewenangan Vs Memperkuat Pengawasan” yang digelar oleh Fakultas Hukum Universitas Brawijaya (FH UB) bersama Koalisi Masyarakat Sipil pada Jumat (28/02/2025). Dalam keterangannya, Julius menyoroti dampak dari revisi Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP) yang disahkan pada tahun 2023 dan akan mulai berlaku pada 1 Januari 2026.
Menurut Julius, KUHP baru mengandung unsur overkriminalisasi, di mana masyarakat sipil lebih rentan dikriminalisasi atas tindakan-tindakan yang sebelumnya tidak tergolong tindak pidana. Sementara itu, pelaku bisnis korporasi justru mendapatkan dekriminalisasi terhadap beberapa perbuatan yang sebelumnya dianggap sebagai pelanggaran hukum. Tidak hanya itu, KUHP baru juga memberikan tambahan kewenangan kepada aparat negara dalam upaya penegakan hukum yang berpotensi mempersempit hak-hak sipil.
Baca juga:
Bekali Mahasiswa dengan Keterampilan Literasi, FH UB Gelar Workshop Penulisan Buku

Lebih lanjut, Julius menjelaskan bahwa dalam pembahasan rancangan undang-undang lainnya seperti RUU TNI, RUU Polri, dan RUU Kejaksaan, tren yang sama semakin terlihat. Rancangan peraturan ini dinilai memperkuat dominasi institusi negara dalam sistem peradilan pidana dengan cara yang merugikan masyarakat. Salah satu kekhawatiran utama adalah pergeseran kewenangan secara absolut ke satu institusi, seperti kejaksaan, yang dapat memonopoli kewenangan penuntutan dan penyelidikan.
“Dalam RUU Kejaksaan, ada penambahan kewenangan bagi jaksa, baik sebagai prosecutor maupun sebagai state advocate. Ini termasuk ruang penyadapan, pengawasan terhadap masyarakat, serta perluasan kewenangan yang bisa menghilangkan keseimbangan dalam sistem peradilan pidana,” ungkap Julius.
Selain itu, munculnya ketentuan yang memungkinkan militer masuk ke ranah sipil dalam penegakan hukum juga menjadi sorotan. Hal ini dinilai bertentangan dengan prinsip supremasi sipil dalam negara demokrasi. Lebih jauh lagi, kewenangan penyadapan dan intelijen yang diberikan kepada aparat penegak hukum dalam ranah sipil menimbulkan kekhawatiran akan semakin menyusutnya hak privasi masyarakat.
Julius menegaskan bahwa perkembangan ini harus menjadi perhatian bersama agar masyarakat tidak kembali menjadi korban dari ekspansi kekuasaan negara yang semakin besar. Menurutnya, negara seharusnya lebih berfokus pada perlindungan hak asasi manusia dan keseimbangan hukum, bukan justru mempersempit ruang gerak masyarakat melalui regulasi yang berlebihan.
Baca juga:
FH UB Permudah Belajar Hukum Islam, Buka Peluang Besar di Dunia Kerja
“Jika tidak diawasi dengan ketat, kita akan melihat bagaimana kekuasaan berlomba-lomba menambah kewenangannya. Sementara itu, masyarakat sipil justru semakin terpojok dalam sistem yang seharusnya melindungi mereka,” tegasnya.
Dengan situasi ini, Julius mengajak seluruh elemen masyarakat, akademisi, serta lembaga hukum untuk berdiskusi secara kritis agar regulasi yang disusun benar-benar mengedepankan keadilan dan keseimbangan dalam sistem hukum Indonesia. Perubahan hukum yang terjadi saat ini akan sangat menentukan bagaimana perlindungan terhadap hak sipil dan supremasi hukum di masa mendatang. (nid/bel)