Seorang muslim yang baik tidak boleh salah dalam mengidentifikasi siapa dirinya dan siapa yang harusnya dijadikan musuhnya. Jangan sampai seorang muslim menjadikan seseorang yang harusnya menjadi kawan malah menjadi lawan yang dimusuhi hanya karena keliru dalam melakukan identifikasi. Kesalahan identifikasi sering disebabkan kekurang tepatan dalam menentukan kriteria dan batasan tentang objek penilaian.
Pertanyaan siapakah kita? adalah merujuk pada jati diri kita yang utama. Maka sebagai seorang muslim yang baik akan mengatakan bahwa saya adalah seorang muslim tanpa adanya pengkotak-kotakan identitas sempit berdasarkan kelompok. Karena islam adalah rumah besar yang menampung semua kelompok, golongan, ras, suku bangsa, warna kulit, jadi janganlah Islam yang sangat luas itu disempitkan oleh diri kita sendiri hanya karena semangat ashobiyah, fanatisme golongan sehingga menjadikan islam yang rahmatan lil alamin menjadi terbatasi oleh lokalitas kelompok karena islam bersifat universal (syumul).
Islam adalah milik semua bangsa sehingga tidak elok manakala islam diberi identitas suatu bangsa. Seperti Islam Arab, Islam Amerika, Islam Eropa atau Islam Indonesia atau Nusantara. Karena nilai-nilai Islam adalah berlaku bagi semua bangsa dan ummat manusia, sementara budaya yang didalamnya terdapat seni hasil karya manusia termasuk cara berdakwah dalam menyebarkan nilai-nilai islam dapatlah disesuaikan dengan kondisi realitas masyarakat yang memang berbeda-beda. Sehingga dari perbedaan itu setiap kelompok masyarakat dan bangsa dapat saling belajar dan saling mengenal.
Sebagai seorang muslim maka haruslah menjadikan identitas keislamannya sebagai sesuatu yang utama sebelum menempelkan identitas lain atas jati dirinya. Seorang muslim yang baik akan mengatakan, انا مسلم قبل كل شيئ، saya sebagai seorang muslim sebelum segala sesuatu. Artinya identitas muslim harus didahulukan sebelum seperangkat identitas lainnya. Karena hanya identitas islam-lah yang akan menyelamatkan seseorang dunia dan akhirat. Seorang muslim telah mendapat jaminan keamanan dari islam dalam kehidupannya, yaitu keselamatan darah, harta dan kehormatannya. Serta jaminan di kehidupan akhiratnya yaitu berupa surga, karena syahadat yang diucapkannya telah menjadi jaminan menuju sorga.
Seorang muslim adalah saudara bagi muslim lainnya karena mereka telah diikat oleh nilai keyakinan yang sama dan kuat dalam satu jaminan yang sama. Untuk itu tidak layak bagi seorang muslim untuk menyakiti saudaranya dan memutuskan hubungan sesama muslim hanya karena alasan perbedaan cara atau sudut pandang dan pikiran atas suatu persoalan tertentu dalam mensikapi hidup. Terlalu naif apabila seorang muslim hingga memusuhi saudara muslim lainnya hanya dikarenakan perbedaan yang terlalu sederhana yang bukan prinsip. Terlebih dengan mengklaim bahwa hanya kelompoknya saja yang benar dan berhak masuk sorga dengan mendasarkan pada hadits nabi :
عَنْ عَوْفِ بْنِ مَالِكٍ رَضِيَ اللهُ عَنْهُ قَالَ: قَالَ رَسُوْلُ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ : اِفْتَرَقَتِ الْيَهُوْدُ عَلَى إِحْدَى وَسَبْعِيْنَ فِرْقَةً فَوَاحِدَةٌ فِي الْجَنَّةِ وَسَبْعُوْنَ فِي النَّارِ، وَافْتَرَقَتِ النَّصَارَى عَلَى ثِنْتَيْنِ وَسَبْعِيْنَ فِرْقَةً فَإِحْدَى وَسَبْعُوْنَ فِي النَّارِ وَوَاحِدَةٌ فِي الْجَنَّةِ، وَالَّذِيْ نَفْسُ مُحَمَّدٍ بِيَدِهِ لَتَفْتَرِقَنَّ أُمَّتِيْ عَلَى ثَلاَثٍ وَسَبْعِيْنَ فِرْقَةً، وَاحِدَةٌ فِي الْجَنَّةِ وَثِنْتَانِ وَسَبْعُوْنَ فِيْ النَّارِ قِيْلَ يَا رَسُوْلَ اللهِ، مَنْ هُمْ ؟ قَالَ: اَلْجَمَاعَةُ .
Dari Sahabat ‘Auf bin Mâlik Radhiyallahu anhu , ia berkata, “Rasûlullâh Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, ‘Ummat Yahudi berpecah-belah menjadi 71 (tujuh puluh satu) golongan, maka hanya satu golongan yang masuk surga dan 70 (tujuh puluh) golongan masuk neraka. Ummat Nasrani berpecah-belah menjadi 72 (tujuh puluh dua) golongan dan 71 (tujuh puluh satu) golongan masuk neraka dan hanya satu golongan yang masuk surga. Dan demi jiwa Muhammad yang berada di tangan-Nya, sungguh akan berpecah-belah ummatku menjadi 73 (tujuh puluh tiga) golongan, hanya satu (golongan) masuk surga dan 72 (tujuh puluh dua) golongan masuk neraka.’ Rasûlullâh Shallallahu ‘alaihi wa sallam ditanya, ‘Wahai Rasûlullâh, ‘Siapakah mereka (satu golongan yang selamat) itu ?’ Rasûlullâh Shallallahu ‘alaihi wa sallam menjawab, ‘al-Jamâ’ah.’”
Mereka yang memahami secara sempit hadist ini pasti akan melakukan klaim bahwa hanya dirinya saja yang berhak atas satu kelompok yang akan masuk surga. Sementara apabila kita coba analisa lebih mendalam lagi maka akan kita dapati beberapa pemahaman. Pertama, hadist tersebut menggunakan setting ummat beragama yaitu Yahudi, Nasrani dan “Ummatku”. Nabi menggunakan kata ummatku yang berarti ummat muhammad, artinya kata Yahudi dan Nasrani sebenarnya juga merujuk pada kata ummat. Ummat dalam pengertian hadist tersebut diatas berarti ummat para nabi, yaitu seseorang atau sekelompok manusia yang hidup pada masa suatu kenabian. Ummat Yahudi adalah merujuk pada orang yang hidup pada masa bakti kenabian musa a.s yang berakhir hingga turunnya nabi isa. Ummat nasrani merujuk pada orang yang hidup pada masa bakti kenabian isa a.s yang berakhir hingga diangkatnya nabi muhammad sebagai nabi dan Rasul. Ummat muhammad adalah orang yang hidup pada masa bakti kenabian Rasulullah saw yaitu hingga akhir zaman.
Tentu dalam setiap masa bakti kenabian tersebut, ada sekelompok manusia yang tunduk patuh dan menerima dengan ikhlas risalah kenabian dan ada pula yang menolak atau ingkar (kafir). Mereka yang menerima risalah adalah sekelompok orang yang patuh. Pada ummat nabi isa dikenal dengan nama alhawariyyun. Sementara pada ummat muhamaad yang patuh dengan nama al muslimun. Pada kelompok ummat nabi yang menerima dakwah nabi disebut dengan ummat ijaabah (ummat yang menerima ajakan dakwah nabi) itulah Ummat Islam yang tugas kita adalah menjaga ukhuwah dengannya. Sementara pada saat yang bersamaan ada pula sekelompok orang atau manusia yang menolak risalah kenabian, maka itulah yang disebut ummat ad dakwah (yaitu sekelompok ummat yang menolak atau kafir) yang tugas kita adalah mendakwahinya. Pada kelompok yang menolak ini ada dua kemungkinan yaitu kafir yang bersikap lemah lembut pada muslim dan kafir yang suka memusuhi hingga memerangi muslim. Pada kelompok kaum kafir yang kedua inilah seorang muslim harus bersikap tegas. Sebagaimana Firman Allah swt :
مُّحَمَّدٞ رَّسُولُ ٱللَّهِۚ وَٱلَّذِينَ مَعَهُۥٓ أَشِدَّآءُ عَلَى ٱلۡكُفَّارِ رُحَمَآءُ بَيۡنَهُمۡۖ تَرَىٰهُمۡ رُكَّعٗا سُجَّدٗا يَبۡتَغُونَ فَضۡلٗا مِّنَ ٱللَّهِ وَرِضۡوَٰنٗاۖ سِيمَاهُمۡ فِي وُجُوهِهِم مِّنۡ أَثَرِ ٱلسُّجُودِۚ ذَٰلِكَ مَثَلُهُمۡ فِي ٱلتَّوۡرَىٰةِۚ وَمَثَلُهُمۡ فِي ٱلۡإِنجِيلِ كَزَرۡعٍ أَخۡرَجَ شَطۡـَٔهُۥ فَـَٔازَرَهُۥ فَٱسۡتَغۡلَظَ فَٱسۡتَوَىٰ عَلَىٰ سُوقِهِۦ يُعۡجِبُ ٱلزُّرَّاعَ لِيَغِيظَ بِهِمُ ٱلۡكُفَّارَۗ وَعَدَ ٱللَّهُ ٱلَّذِينَ ءَامَنُواْ وَعَمِلُواْ ٱلصَّٰلِحَٰتِ مِنۡهُم مَّغۡفِرَةٗ وَأَجۡرًا عَظِيمَۢا
Muhammad adalah utusan Allah dan orang-orang yang bersama dengan dia bersikap keras terhadap orang-orang kafir, tetapi berkasih sayang sesama mereka. Kamu melihat mereka rukuk dan sujud mencari karunia Allah dan keridhaan-Nya. Pada wajah mereka tampak tanda-tanda bekas sujud. Demikianlah sifat-sifat mereka (yang diungkapkan) dalam Taurat dan sifat-sifat mereka (yang diungkapkan) dalam Injil, yaitu seperti benih yang mengeluarkan tunasnya, kemudian tunas itu semakin kuat lalu menjadi besar dan tegak lurus di atas batangnya; tanaman itu menyenangkan hati penanam-penanamnya karena Allah hendak menjengkelkan hati orang-orang kafir (dengan kekuatan orang-orang mukmin). Allah menjanjikan kepada orang-orang yang beriman dan mengerjakan kebajikan di antara mereka, ampunan dan pahala yang besar. (QS Al-Fath : 29)
Sehingga pada mereka yang memusuhi Islam itulah harusnya kita bersikap tegas dan menjadikannya sebagai musuh. Adalah salah besar manakala kaum muslimin menjadikan sesama saudaranya yang telah mengucapkan kalimat syahadat yang sama dijadikan sebagai musuh, hanya disebabkan perbedaan sudut pandang dan pemahaman yang bersifat interpretatif atas suatu dalil dalam memahami suatu objek hukum tertentu yamg bukan prinsip agama (aqidah). Bahkan menjadi sangat aneh apabila mereka bersikap lemah lembut penuh persahabatan kepada kelompok ummat yang harusnya dijadikan musuh. Sehingga seharusnya dikala ada pertanyaan, “siapakah kita..?” Maka jawabnya adalah “kita adalah muslim yang bersaudara”, lalu atas pertanyaan, “siapa musuh kita..?”, jawabnya adalah “siapa saja yang memusuhi Allah dan RasulNya adalah musuh kita”. Demikian harusnya jawaban dari seorang muslim yang baik. Karena jika salah menempatkan siapa kawan dan siapa lawan maka tentu akan berakibat dosa terhadap diri kita, terlebih jika menempatkan sesama kaum muslimin sebagai musuh. Jangan sampai seseorang salah menempatkan seseorang atau kelompok yang harusnya sebagai kawan menjadi lawan dan sebaliknya yang harusnya sebagai lawan malah menjadi kawan. Hingga akhirnya memberikan label stigma negatif (seperti radikal, ekstrimis, fundamentalis, teroris, anti kebhinnekaan, dan anti-anti lainny) atas saudara sesama muslim hanya karena berbeda cara pandang dan berbeda pemahaman.
Semoga diri kita diselamatkan oleh Allah swt dari fitnah akhir zaman, semoga hati ini diikat dengan ikatan ukhuwah yang kuat oleh Allah atas sesama muslim dan diberi perlindungan dari godaan syetan yang sengaja ingin memecah belah ukhuwah ummat dengan menanamkan jiwa permusuhan di kalangan tubuh kaum muslimin. Semoga diri kita diberikan hati laksana samudera yang dapat merangkul dan merajut semua kekuatan ummat islam dalam satu bingkai ukhuwah islamiyah. Aamiiin…
KH. Akhmad Muwafik Saleh dosen FISIP UB, penulis produktif, pengasuh pondok pesantren mahasiswa Tanwir Al Afkar