Apabila kita membuka lembaran sejarah maka kita akan menemukan bahwa gerakan politik akan selalu membawa masyarakat dalam realitas yang penuh dengan pertikaian, permusuhan hingga pertumpahan darah yang menjadikan kehidupan semakin tidak tentram dan damai. Hingga kemudian menguras energi ummat untuk bangkit mengenal dan mempraktekkan agamanya serta mendekati Tuhannya. Demikianlah realitas kehidupan yang semenjak awal penciptaan telah di protes oleh malaikat akan kemungkinan terjadinya kerusakan dan pertumpahan darah di kalangan manusia. Namun demikian, Allah swt telah mempersiapkan manusia dengan segala kemampuannya untuk menghadapi realitas itu dengan penuh bijaksana hingga mampu melahirkan berbagai hikmah dibalik setiap permasalahan yang ada.
Pasang surut kehidupan politik ummat islam tidaklah harus menjadikan ummat ini berputus asa dalam upaya mengelola kehidupan (khalifah fil ardhi) yang kemudian menjadikan ummat tidak mau peduli atas nasib saudara muslim lainnya serta penegakan atas aturan Allah swt. Karena sejatinya politik hanyalah sebagai sarana saja dalam menjalankan perintah Allah termasuk dalam menegakkan hukum syariat Allah swt dalam kehidupan. Sementara kewajiban yang ditetapkan oleh Allah swt agar hukum syariatNya dapat diterapkan dalam kehidupan adalah melalui mekanisme dakwah. Hanya dakwah yang diwajibkan oleh Allah untuk dijalankan oleh setiap ummat islam agar kehidupan dapat berjalan dengan baik sesuai dengan perintah Allah dan menjauhi dari laranganNya. Sebagaimana ditegaskan dalam Firman Allah swt atas kewajiban dakwah :
وَلۡتَكُن مِّنكُمۡ أُمَّةٞ يَدۡعُونَ إِلَى ٱلۡخَيۡرِ وَيَأۡمُرُونَ بِٱلۡمَعۡرُوفِ وَيَنۡهَوۡنَ عَنِ ٱلۡمُنكَرِۚ وَأُوْلَٰٓئِكَ هُمُ ٱلۡمُفۡلِحُونَ
Dan hendaklah (wajib) di antara kamu ada segolongan orang yang menyeru kepada kebajikan, menyuruh (berbuat) yang makruf, dan mencegah dari yang mungkar. Dan mereka itulah orang-orang yang beruntung. (QS. Ali ‘Imran : 104)
Artinya politik hanya sekedar sarana saja untuk mempercepat dan mengefektifkan pencapaian kebaikan dan pencegahan kemungkaran. Sementara hal utama yang harus dilakukan oleh adanya sekelompok ummat yang menjalankan peran dan fungsi mengajak atau dakwah pada kebaikan dan pencegahan atas kemungkaran, jadi Dakwah-lah yang utama. Karena dalam politik akan ada pihak yang kalah dan menang. Saat gerakan politik kalah maka jangan berarti dakwah harus terhenti. Dakwah harus jalan terus terlepas siapa saja penguasanya dan apa saja yang dilakukan oleh penguasanya terhadap gerakan dakwah dan para aktifisnya.
Disaat realitas politik sedang tidak menguntungkan bagi ummat maka dakwah harus tetap berjalan. Demikianlah yang dilakukan oleh Al Imam al Ghazali. Pada masa al ghazali, disintegrasi politik dan sosial keagamaan begitu kentara. Ummat islam terpecah dalam berbagai kelompok atas dasar fanatisme. Pada saat al ghazali melihat ditengah ummat telah terjadi kemunduran sejalan dengan politik kekuasaan penjajahan kaum salib pada saat itu, maka al ghazali sadar betul bahwa yang membuat kekalahan ummat islam ini adalah disebabkan oleh semakin jauhnya ummat dari agamanya. Karena sejatinya agama mengajarkan tentang kemurnian tauhid dan keyakinan yang kokoh bahwa pertolongan hanyalah datangnya dari Allah swt serta adanya semangat (ghiroh) yang hebat dari ummat islam untuk berjihad. Lemahnya ruhiyah ummat islam kala itu yang dianggap menjadi sumber utama kekalahan ummat islam.
Sehingga melihat hal yang demikian, alghazali mencoba melakukan konsolidasi kekuatan internal ummat islam dengan cara yang berbeda, yaitu melakukan gerakan ishlah (perbaikan) melalui gerakan sufisme dan pengajaran keislaman dengan menekankan pada pemahaman yang utuh atas konsepsi agama yang bertujuan untuk menguatkan ruhiyah ummat. Hal ini tampak pada karya-karya yang dihasilkannya saat itu salah satunya adalah kitab ihya ulumuddin, Al Arbain, Al Qisthas, Muhikk An Nadhar, yang berkenaan dengan ushuluddin.
Gerakan ishlah yang dilakukannya dalam kurun waktu yang singkat telah menyebar ke sebagian besar dunia Islam kala itu, dimana Al Ghazali melakukan pengembaraan ke Naisabur, Baghdad, Hijaz, Mesir, Syam termasuk Al Quds dan Damaskus serta mengajarkan berbagai pemikirannya melalui pengajaran kitab-kitabnya.
Sebagaimana diketahui bahwa isi kitab ihya ulumiddin adalah memperbincangkan tentang pentingnya ilmu praktis yang terkait dengan fikih (yang sangat formal birokratis) dan peribadatan (ritual) haruslah dibingkai dengan tasawwuf agar lebih hidup dan bernilai, yaitu terbingkai dalam kesatuan antara pemahaman nilai ketuhanan dan akhlaq mulia kemanusiaan yang oleh al Ghazali dimasukkan dalam kategorisasi ilmu muamalah, sisi lain dari ilmu mukasyafah yang lebih metaforis dalam menjelaskan tashawwuf. Pada aspek ini tasawwuf dikategorisasikan sebagai ilmu muamalah yang memberikan baju spiritual atau ruhani bagi ilmu fikih yang terkesan berfokus kepada birokrasi ritual tanpa semangat ruhani yang secara sosial dapat berakibat pada munculnya konflik-konflik pemahaman di tubuh ummat.
Tasawwuf dalam pemahaman al ghazali ibarat air tenang dan dalam namun memiliki energi yang sangat kuat dalam menghanyutkan siapa saja yang terlibat dan dari apa saja yang tampak dipermukaan. Jika diibaratkan di dunia persilatan maka tasawwuf al ghazali ibarat sebuah gerakan taichi yang lembut dan halus namun memiliki daya dorong dan terpendam yang sangat kuat mampu merubuhkan siapa saja. Kelembutan hati tidaklah berarti lemah, namun disanalah letak kekuatan yang sesungguhnya. Hal ini nantinya tampak pada dampak yang dihasilkan dari gerakan sufisme ruhiyah al ghazali dalam pergerakan politik dan jihad ummat islam selanjutnya.
Dari gerakan ishlah yang dilakukan oleh Al Ghazali ini kelak memunculkan profil ulama-ulama rabbani para murid al ghazali yang memiliki andil besar dalam pembebasan Bait Al Maqdis. Seperti Marwan bin Ali Ath Thanzi sebagai wazir dari Imaduddin Zanki (ayah dari Nuruddin Zanki), Jamal Al Islam Abu Hasan Ali As Sulami. Gerakan ishlah Marwan Ath Thanzi dan As Sulami ini beserta para murid Imam Al Ghazali lainnya memunculkan generasi dari kalangan ulama yang memiliki hubungan langsung dengan gerakan jihad. Salah satunya adalah Al Hafidz Ibnu Asakir, yang merupakan murid dari kedua ulama itu. Ibnu Asakir ini memiliki peran kuat dalam gerakan jihad, dimana ia merupakan penasihat bagi Nuruddin Zanki dalam melawan Pasukan Salib. Pasca gerakan Nuruddin Zanki inilah kemudian, muncul Shalahuddin Al Ayyubi yang tidak lain merupakan hasil dari didikan Nuruddin. Artinya bahwa gerakan sufisme penguatan ruhiyah yang dilakukan oleh imam al ghazali tidaklah semata penyerahan kepasrahan jiwa tanpa perlawanan dan meninggalkan perkara dunia keummatan, melainkan gerakan sufisme yang dilakukannya mampu menghidupkan ruh yang mati sehingga jiwa-jiwa menjadi tersadar akan tugas dan tanggungjawab keummatannya melalui pemahaman yang sempurna dengan jiwa yang bersih hingga membangkitkan semangat untuk turut peduli atas nasib ummat. Yaitu dengan cara mempertemukan dan mengawinkan antara kesucian hati dan kedalaman ilmu (guru sufi dan ahli hadist seperti ibnu asakir, sebagai penasihat) dengan semangat keberislaman penguasa (Nuruddin Zanki, penguasa yang memiliki semangat ilmu).
Tasawwuf atau sufisme bukanlah semata sebuah bentuk gerakan kepasrahan atas realitas dengan berdiam diri seakan tidak tahu menahu atas realitas yang terjadi (nrimo ing pandum), melainkan sebuah proses pembacaan atas realitas secara mendalam yang mencoba berdiri di balik realitas objektif (beyond reality) untuk kemudian dapat bermetamorfosis menjadi sebuah gerakan penyadaran atas tanggungjawab keimanannya dalam realitas amal-amal sosial religius yang mampu menggugah kesadaran ummat secara menyeluruh menuju perbaikan (ishlah) yang konkret fundamental. Kesadaran ummat ini berupa munculnya semangat dakwah yang menggelora untuk mewujudkan nilai-nilai keislaman dalam realitas kemanusiaan baik dalam bentuk perilaku maupun objek formal sosial keummatan lainnya.
Karena itulah dakwah yang dibingkai oleh nilai sufisme akan jauh lebih mengakar dan memiliki daya dorong yang kuat dalam menuju perubahan dan perbaikan ummat dibandingkan hanya dengan pendekatan rasional birokratis melalui pendekatan politis. Ini pulalah yang dilakukan oleh para ulama wali songo yang berhasil mengislamkan nusantara tanpa pertumpahan darah melalui jalur politik namun secara signifikan mampu melakukan perubahan hingga masuk ke jantung politik kekuasaan (mataram dan majapahit islam). Secara fisik hasil gerakan dakwah sufisme para walisongo dapat terlihat pada desain tata kota di beberapa wilayah di Jawa, yang menunjukkan kemampuan mereka mempengaruhi kekuasaan kala itu.
Hati yang bersih akan dengan mudah menemukan setiap kotoran yang menempel dan mengetahui cara menghilangkannya dengan penuh kelembutan hingga bersih seperti sedia kala. Dari sinilah kita pahami bahwa dalam kelembutan sufisme ada kekuatan luar biasa yang mampu mengguncang hati manusia menuju sebuah perubahan perbaikan yang signifikan dalam diri ummat dan realitas kehidupan. Semoga Allah memberikan kelembutan hati pada kita untuk memahami pesannya dan diberi semangat untuk selalu tunduk menjalani setiap perintahnya secara istiqomah dan lurus. Aamiiin…
KH. Akhmad Muwafik Saleh dosen FISIP UB, penulis produktif, pengasuh pondok pesantren mahasiswa Tanwir Al Afkar