Bagi manusia modern dan terbaratkan mungkin nilai-nilai adab adalah sebuah keanehan. Adab ibarat a part of the lost world, bagian dari masa lalu yang telah hilang dan muncul kembali di tengah gersangnya realitas keilmuan dan perkembangan tekhnologi informasi yang sangat cepat. Banyak orang menganggap bahwa menampilkan adab dalam proses belajar mengajar, adab dalam menyampaikan ilmu dengan cara santun, berwibawa dan ikhlas penuh tawadhu, adab dalam interaksi antara murid terhadap guru dengan cara khidmad penuh penghormatan dan loyalitas, adab antara orang yang lebih muda (yunior) terhadap orang yang lebih tua (senior) dengan lebih menghornatinya. Semua itu dianggap sesuatu yang lucu, kuno, masa lalu dan sudah bukan lagi jamannya, tidak modern. Dalam sebuah riwayat, nabi menjelaskan indikasi akan hilangnya adab,
مِنْ أَشْرَاطِ السَّاعَةِ أَنْ يُرْفَعَ الْعِلْمُ وَيَثْبُتَ الْجَهْلُ.
‘Di antara tanda-tanda Kiamat adalah hilangnya ilmu dan tersebarnya kebodohan.” (HR. Bukhari)
Tentu ilmu yang dimaksud bukan berarti tingkat pencapaian ilmu pengetahuan dan tekhnologi karena hasil keduanya pada zaman akhir semakin canggih, namun maksud hilangnya ilmu adalah hilangnya adab sebagai intinya inti (core of the core) dari ilmu. Karena puncak dari ilmu adalah akhlaq mulia yaitu berupa kemampuan manusia untuk bersedia mengikuti kebenaran dan menjauhkan diri dari kemungkaran. Sebagaimana diindikasikan dalam hadist nabi berikut :
فَيَبْقَى فِيهَا عَجَاجَةٌ لاَ يَعْرِفُونَ مَعْرُوفًا وَلاَ يُنْكِرُونَ مُنْكَرًا.
‘Maka yang tersisa di dalamnya (bumi) hanyalah orang-orang bodoh yang tidak mengetahui kebenaran dan tidak mengingkari kemunkaran.’ (HR.Ahmad)
Sehingga keberadaan adab dalam ilmu sebenarnya adalah inti utama dari ilmu. Dan hilangnya adab adalah hilangnya ilmu. Sehingga manakala adab dibangkitkan kembali dalam perilaku keilmuan dan proses belajar mengajar dalam realitas akhir zaman yang sudah tereduksi dimana proses pencarian ilmu di barat telah meninggalkan jauh nilai-nilai adab dengan menyatakan bahwa science is science, ilmu adalah bebas nilai, maka adab akan dianggap sebagai barang langka dan aneh.
Keanehan adab dalam proses pembelajaran disebabkan adanya liberalisme ilmu dan pluralisme keyakinan. Sehingga batasan nilai menjadi tidak jelas bahkan tidak ada, sebab nilai kebenaran dan kebaikan telah dianggap relatif sementara rasionalitas empirik dianggap sebagai sesuatu yang final. Dalam pandangan ini ada jarak pemisah antara adab dengan ilmu. Adab dianggap sebagai bagian kecil dari ilmu yang sebutnya dengan etika. Sementara ilmu dipahami sebagai usaha sadar dalam menemukan sesuatu dari berbagai kenyataan dalam alam manusia yang empirik. Sementara adab yang dibingkai oleh nilai-nilai kebaikan absolut ketuhanan dianggap bukanlah ilmu karena tidak empirik rasional. Sehingga mereka memutuskan bahwa ilmu adalah ilmu. Sementara adab adalah utopia atas ketidakberdayaan manusia dalam melakukan proses pencarian ilmu.
Maka dari sinilah ilmu dan proses memperolehnya di dalam realitas modern seperti sekarang ini, terpisah secara diametral dengan adab. Lahirlah ilmu tanpa ada, sehingga lahir manusia pandai namun a moral, tidak ada rasa hormat dan peduli pada kebaikan. Menjadikan seorang guru merasa tidak perlu mengajarkan etika dan akhlaq, hubungan guru dan murid menjadi equal setara, keduanya hanya dibatasi oleh jarak usia saja. Guru dianggap hanyalah sebatas seseorang yang mengetahui lebih dulu dari murid. Karena itu proses memperoleh ilmu adalah proses sharing pengalaman saja bukan lagi sebagai upaya menuntun akhlaq, sikap dan ruhiyah murid. Karena jarak murid dan guru dianggap dekat secara psikologis maka interkasi keduanya juga tidak berjarak layaknya sesama partisipan dalam sebuah aktifitas sehingga guru hanya sebatas fasilitator karenanya keduanya boleh saja berinteraksi secara equal, sejajar, setara tanpa harus memperdulikan akhlaq antara seorang guru dengan muridnya, karena keduanya sekarang telah menjadi mitra. Hal demikian yang dikritisi oleh seorang ulama imam ahlussunnah abuya assayyid Prof. DR. Muhammad Bin alawi almaliki dengan mengatakan bahwa :
أغضب من الطالب الذي لا يحترم أستاذه ولو كان الأستاذ صاحبه
“Aku marah terhadap pelajar yg tidak menghormati gurunya, meskipun sang ustadz adalah temannya.”
Senada dengan apa yang dikatakan tersebut di atas, imam nawawi berkata :
ينبغى للمتعلم أن يتواضع لمعلمه ويتأدب معه. وإن كان أصغر منه سنا واقل شهرة ونسبا وصلاحا لتواضعه يدرك العلم
“Seyogyanya bagi seorang murid harus merendahkan diri kepada gurunya dan beradab kepadanya. Meskipun sang guru lebih muda, tidak populer dan lebih rendah nasab serta kesholehannya dari sang murid, karena ilmu bisa di peroleh dengan kerendahan diri dari seorang murid.”
Bahkan lebih tegas lagi, Imam Anawawi menyatakan :
عقوق الوالدين تمحوه التوبة وعقوق الأستاذين لا يمحوه شيء البتة
“Dosa durhaka kepada kedua orang tua bisa di hapus dengan taubat sedangkan dosa durhaka kepada guru tidak bisa di hapus oleh sesuatu apapun.
Hal ini disebabkan karena keberadaan adab sangat tinggi kedudukannya dalam proses pembelajaran bagi kalangan ulama salaf. Sementara tidak demikian bagi masyarakat modern yang menganggap adab hanyalah instrumen kecil dari suatu ilmu. Akhirnya yang terjadi adalah ilmu berada di satu ruang terpisah dan jauh dari adab. Maka dari sinilah hilanglah ilmu dan bermunculanlah kebodohan. Yaitu bukan karena ketidakmampuan membaca, menulis dan menghasilkan karya, namun melainkan karena masyarakat modern sudah tidak bisa lagi membedakan mana emas dan mana batu, mana mutiara dan mana kerikil, mana mahkota dan mana pula aksesoris, mana logam murni dan mana imitasi. Hal demikian disebabkan hilangnya rasa pembeda dalam diri manusia modern. Sehingga mereka sudah tidak lagi bisa membedakan mana orang berilmu dan mana yang bodoh, semuanya dianggapnya sama dalam bingkai equalitas demokrasi. Pantaslah Allah mempertanyakan secara dialektik dalam FirmanNya :
… قُلۡ هَلۡ يَسۡتَوِي ٱلَّذِينَ يَعۡلَمُونَ وَٱلَّذِينَ لَا يَعۡلَمُونَۗ إِنَّمَا يَتَذَكَّرُ أُوْلُواْ ٱلۡأَلۡبَٰبِ
Katakanlah, “Apakah sama orang-orang yang mengetahui dengan orang-orang yang tidak mengetahui?” Sebenarnya hanya orang yang berakal sehat yang dapat menerima pelajaran. (QS. Az-Zumar : 9)
Menyamakan dalam satu derajat dan posisi yang sejajar antara orang berilmu dan orang yang tidak berilmu maka itulah yang disebut dengan kebodohan. Inilah masa dimana ilmu telah hilang lenyap karena mahkota ilmu (adab) telah dibuang jauh dari proses pembelajaran dan dianggap sebagai sebuah keanehan bagi mereka yang mengajari dan mempraktekkannya. Sementara realitas kebodohan merajalela dimana-mana dan dipromosikan dengan kemasan yang menggiurkan dan seakan dianggap sebagai sebuah kebaikan. Inilah wolak walik e (bolak-baliknya) zaman. Disaat seorang profesor dengan seorang tukang becak memiliki nilai yang sama dalam keputusan demokrasi. Ketahuilah bahwa semakin menuju akhir maka kebaikan akan semakin aneh dan para penyeru kebaikan serta pelakunya adalah dianggap orang asing (ghuraba’), aneh bahkan gila. Selamat menjadi orang gila di tengah ke edanan (gila) zaman akhir ini.
Semoga Allah swt selalu membimbing diri kita dalam kebaikan dan akhlaq mulia. Semoga Allah memberikan keberkahan atas ilmuNya dan meridhoi langkah-langkah kita. Aamiinn..
KH. Akhmad Muwafik Saleh dosen FISIP UB, penulis produktif, pengasuh pondok pesantren mahasiswa Tanwir Al Afkar