Kanal24, Malang – Toyota kembali menegaskan ambisinya menjadi pionir dalam pengembangan teknologi mobil berbahan bakar hidrogen di Indonesia. Setelah memperkenalkan sedan Mirai sebagai kendaraan bertenaga fuel cell electric vehicle (FCEV) di Tanah Air, produsen otomotif asal Jepang itu menargetkan untuk memulai produksi atau penjualan massal mobil hidrogen pada tahun 2030.
Namun, jalan menuju ambisi tersebut tidak semudah membalikkan telapak tangan. Berbagai tantangan membayangi, baik dari sisi infrastruktur, biaya, hingga kesiapan pasar. Fakta yang tak bisa diabaikan, penjualan kendaraan FCEV secara global, termasuk di Amerika Serikat, justru mengalami penurunan dalam beberapa tahun terakhir. Penyebabnya antara lain adalah harga hidrogen yang melonjak tinggi serta terbatasnya stasiun pengisian bahan bakar hidrogen yang bahkan sebagian sudah ditutup.
Baca juga:
Rekomendasi HP untuk Mahasiswa 3 Jutaan, Berikut Daftarnya
Hal ini berdampak langsung kepada para pengguna kendaraan hidrogen, yang harus memutar otak agar mobil mereka tetap bisa digunakan dalam keterbatasan.
Meski demikian, Toyota tidak surut. Indra Chandra Setiawan, perwakilan Engineering Management Division PT Toyota Motor Manufacturing Indonesia (TMMIN), menyatakan bahwa pihaknya tetap optimistis terhadap masa depan mobil hidrogen. Ia bahkan membandingkan dengan perkembangan battery electric vehicle (BEV) yang dulunya juga menghadapi tantangan besar.
“Kalau kita lihat dulu, harga baterai itu per kWh bisa lebih dari US$ 1.000. Tapi dengan adanya economic of scale, harga bisa ditekan hingga saat ini hanya sekitar US$ 100 per kWh,” ungkap Indra saat Media Workshop Hydrogen Ecosystem yang digelar di Karawang, Jawa Barat, Senin (14/4/2025).
Indra juga menyoroti perkembangan teknologi di Tiongkok, yang kini mulai banyak menggunakan baterai LFP (Lithium Iron Phosphate) — teknologi yang lebih murah karena tak lagi memakai material mahal seperti nikel, mangan, dan kobalt. Hal ini menunjukkan bahwa efisiensi dan adaptasi teknologi bisa menjadi kunci keberhasilan, termasuk dalam hal pengembangan mobil hidrogen.
“Kalau satu jalan buntu, kita cari jalan lain. Teknologinya sama, fuel cell stack-nya tetap bisa dipakai. Maka kami mulai pikirkan bagaimana pivoting ke segmen kendaraan berat (heavy duty),” imbuhnya.
Head to Head dengan Biodiesel
Namun, menggarap pasar kendaraan berat di Indonesia pun bukan perkara mudah. Pasalnya, sektor ini telah memiliki alternatif energi yang lebih mapan, yakni biodiesel. Menurut Indra, secara emisi, biodiesel sudah mampu mengurangi karbon hingga 40 persen. Belum lagi, biodiesel juga mendapat subsidi dari pemerintah, sehingga secara keekonomian lebih menarik.
“Kalau head to head, sangat berat kalau dibandingkan langsung antara hidrogen dan biodiesel. Infrastruktur biodiesel sudah matang, harganya lebih murah, dan ada dukungan kebijakan,” ujarnya.
Meski demikian, tantangan inilah yang menurut Toyota justru menjadi motivasi untuk terus mengembangkan ekosistem hidrogen. Toyota melihat peluang jangka panjang, bukan hanya di sektor kendaraan pribadi, tapi juga industri dan transportasi publik. Untuk itu, mereka berharap kolaborasi dengan pemerintah, pelaku industri, dan lembaga riset dapat mempercepat terciptanya ekosistem hidrogen yang memadai.
Baca juga:
Rekomendasi Cafe Ramah Anak di Malang Yang Nyaman
Menuju Masa Depan Energi Bersih
Melalui pendekatan jangka panjang dan adaptif, Toyota ingin memastikan bahwa teknologi hidrogen tidak hanya menjadi alternatif, tapi bisa menjadi solusi energi bersih yang berkelanjutan. Target tahun 2030 menjadi tonggak penting yang memerlukan kerja sama lintas sektor, serta strategi yang realistis namun progresif.
Jika infrastruktur bisa dibangun, harga hidrogen bisa ditekan, dan insentif pemerintah bisa berjalan selaras, maka bukan tak mungkin Indonesia akan siap menyambut era kendaraan hidrogen dalam waktu lima tahun ke depan. Kini, tantangannya bukan hanya pada sisi teknologi, melainkan keberanian semua pihak untuk berinovasi dan berinvestasi demi masa depan yang lebih hijau. (nid)