Kanal24, Malang – Kebijakan tarif tinggi terhadap barang-barang impor yang diperkenalkan oleh Donald Trump dan menjadi salah satu ciri khas kebijakan ekonominya, tidak hanya berdampak pada struktur ekonomi Amerika Serikat, tetapi juga memberi pengaruh global, termasuk ke Indonesia.
Adhi Cahya Fahadayna, S.Hub.Int., M.S., pengamat politik luar negeri Universitas Brawijaya, menilai bahwa Indonesia perlu mengantisipasi dampak-dampak ekonomi yang ditimbulkan oleh arah kebijakan Amerika tersebut.
Menurut Adhi, dampak dari kebijakan tarif tinggi ini bisa dirasakan melalui dua sisi. Pertama, dari sisi konsumsi, harga barang-barang impor dari Amerika bisa meningkat, yang secara langsung memengaruhi konsumen Indonesia yang terbiasa dengan produk-produk bermerek dari AS. “Produk seperti laptop, smartphone, hingga pakaian dan sepatu dengan label Amerika bisa menjadi lebih mahal. Namun karena pasar Indonesia juga sudah terbiasa dengan produk alternatif dari negara lain, dampaknya bisa diminimalkan,” ujar Adhi.
Baca juga:
Trump Naikkan Tarif, Bikin Belanja Makin Mahal dan Tak Ramah Kantong
Namun sisi kedua yang perlu diwaspadai adalah dari segi perdagangan dan industri. Adhi menjelaskan bahwa pelaku ekspor-impor, khususnya yang menjadikan Amerika Serikat sebagai pasar utama, bisa terdampak langsung oleh pembatasan dan kenaikan tarif. “Oleh karena itu, sudah saatnya Indonesia memperkuat pasar domestik dan mendukung UMKM agar lebih berdaya saing dan tidak terlalu bergantung pada pasar luar negeri,” katanya.
Selain itu, Adhi juga menyinggung potensi tekanan terhadap nilai tukar rupiah sebagai akibat dari menguatnya dolar Amerika akibat kebijakan perdagangan yang agresif. “Nilai tukar kita pernah berada di angka Rp8.800 hingga Rp9.000 pada awal 2010-an, dan sekarang bisa melemah jauh karena ketidakpastian global. Ini menjadi tantangan tersendiri bagi stabilitas ekonomi nasional,” ujarnya.
Baca juga:
Rupiah Menguat, Dolar AS Tertekan Perang Tarif
Ia menyarankan agar pemerintah Indonesia mulai memperluas kerja sama dagang dengan negara-negara lain yang memungkinkan transaksi dalam mata uang lokal, seperti yuan atau rupiah. “Diversifikasi mata uang sangat penting agar ketergantungan terhadap dolar bisa dikurangi. Ini juga sejalan dengan upaya menjaga stabilitas fiskal dan moneter di tengah gejolak global,” tambahnya.
Adhi juga menekankan pentingnya kebijakan jangka panjang yang mendukung pengembangan industri lokal berbasis inovasi dan teknologi. “Selama ini kita terlalu fokus pada produk konsumsi. Saatnya pemerintah dan masyarakat bersama-sama membangun ekosistem ekonomi yang berkelanjutan dan tahan terhadap krisis global,” tutupnya. (nid/rey)