Kanal24, Malang – Kekerasan seksual di lingkungan perguruan tinggi terus menjadi isu serius yang memerlukan perhatian mendalam. Dr. Lucky Endrawati, S.H., M.H., pakar hukum pidana dari Fakultas Hukum Universitas Brawijaya (FH UB) dan Koordinator Bidang Advokasi dan Hukum Satgas Pencegahan dan Penanganan Kekerasan (PPK) UB, mengungkapkan keprihatinannya terhadap lambannya penanganan kasus kekerasan seksual di lingkungan perguruan tinggi.
Dr. Lucky menegaskan bahwa jumlah laporan kekerasan seksual yang meningkat merupakan dampak positif dari Undang-Undang Tindak Pidana Kekerasan Seksual (UU TPKS) 2022. “Dengan adanya regulasi tersebut, korban mulai berani melapor. Namun, kita harus ingat bahwa ini masih fenomena gunung es. Banyak korban yang belum bersuara karena berbagai alasan, termasuk rasa takut dan stigma,” ujarnya.
Korban Butuh Kepastian dan Perlindungan
Menurut Dr. Lucky, salah satu masalah utama dalam penanganan kasus kekerasan seksual adalah lambannya proses birokrasi di kampus, yang seringkali memperpanjang trauma korban. “Korban butuh kepastian, bukan hanya soal keadilan, tetapi juga kapan kasus mereka selesai. Sayangnya, sering kali kasus ini menggantung terlalu lama tanpa ada perkembangan yang jelas,” jelasnya.
Ia mengungkapkan bahwa salah satu kendala terbesar adalah kurangnya keberanian institusi untuk mengambil langkah tegas terhadap pelaku, terutama jika pelaku adalah mahasiswa berprestasi. “Banyak kasus di mana pelaku memiliki IPK tinggi dan aktif dalam organisasi. Ini sering menjadi alasan kampus enggan memberikan sanksi berat. Padahal, kepentingan korban seharusnya menjadi prioritas,” tegas Dr. Lucky.
Baca juga : Strategi UB Tangani Kekerasan Seksual dan Perundungan di Kampus
Trauma dan Dukungan Psikologis
Dr. Lucky juga menyoroti pentingnya dukungan psikologis bagi korban selama proses penanganan kasus. “Trauma korban tidak hanya berasal dari kekerasan itu sendiri, tetapi juga dari proses panjang yang harus mereka lalui. Mulai dari melapor, memberikan kesaksian, hingga menunggu hasil keputusan. Ini sangat melelahkan secara emosional,” katanya.
Ia menekankan bahwa dukungan psikologis harus diberikan sejak awal proses pelaporan. “Satgas PPK UB memang memiliki konselor untuk membantu korban. Namun, dukungan ini harus diperkuat dan dilakukan secara berkelanjutan, agar korban merasa didampingi dan tidak sendirian,” tambahnya.
Kelemahan Sistem Hukum Internal Kampus
Salah satu kelemahan yang disoroti Dr. Lucky adalah sistem penanganan kasus yang masih terbatas pada sanksi kode etik. “Satgas hanya bisa memberikan rekomendasi sanksi, dan itu berhenti pada level kode etik. Padahal, beberapa kasus memerlukan tindak lanjut ke jalur hukum eksternal, tetapi kampus sering kali ragu untuk mengambil langkah tersebut,” ungkapnya.
Ia menjelaskan bahwa sanksi kode etik, seperti skorsing hingga pemecatan, sering kali tidak cukup untuk memberikan keadilan bagi korban. Selain itu, kurangnya mekanisme untuk mempercepat proses penanganan juga menjadi hambatan besar. “Birokrasi yang panjang dan lambat hanya akan memperburuk kondisi korban. Kita butuh regulasi yang lebih tegas dan implementasi yang cepat,” ujarnya.
Harapan untuk Penanganan yang Lebih Baik
Dr. Lucky berharap kampus dapat lebih tegas dalam melindungi korban dan mengambil langkah cepat dalam menangani kasus. “Kita harus memastikan bahwa korban tidak hanya mendapatkan keadilan, tetapi juga perlindungan penuh dari segala bentuk intimidasi. Jika pelaku berusaha melawan dengan cara hukum, institusi harus siap membela keputusan yang telah diambil,” tegasnya.
Ia juga mengusulkan adanya sinergi antarperguruan tinggi untuk menangani kasus kekerasan seksual secara lebih efektif. “Forum rektor atau koordinasi antar-Satgas di perguruan tinggi Malang bisa menjadi langkah awal untuk menciptakan standar penanganan yang lebih baik,” usulnya.
Dr. Lucky menutup dengan harapan bahwa Satgas PPK UB ke depan dapat diberikan kewenangan lebih untuk menangani kasus hingga selesai. “Satgas ini butuh kaki dan tangan yang bisa bergerak. Artinya, kami perlu dilibatkan dalam proses penindakan, bukan hanya rekomendasi. Ini penting agar korban merasa ada kepastian dan pelaku mendapat sanksi yang setimpal,” pungkasnya. (din)