Pemuda adalah anak zamannya terlahir dan dibesarkan dari lingkungan di mana ia berada. Pemuda hari ini adalah gambaran masa depan suatu bangsa. Bagaimana kecederungan cara berpikir dan perilaku para pemuda hari ini maka itulah yang akan mempengaruhi kehidupan suatu bangsa ke depan.
Disaat para pemuda dari berbagai daerah di Nusantara, jong Java, jong sumatranen bond, jong Bataks bond, jong Islamieten bond, jong celebes, jong Ambon, Pemoeda kaoem Betawi dan beberapa kelompok pemuda lainnya berkumpul pada tahun 1928 menegaskan cara berpikir dan sikap mereka atas kebangsaan maka 17 tahun kemudian lahirlah kemerdekaan Republik Indonesia dengan melibatkan banyak perlawanan pemuda atas penjajahan.
Tentu gerakan pemuda yang menentang penjajahan tidaklah hadir dengan tiba-tiba, melainkan melalui sebuah proses panjang yang dilakukan oleh generasi tua sebelumnya melalui tindakan nyata perlawanan dan proses pendidikan yang mereka dilakukan sehingga menjadi teladan dan jiwa generasi dan masyarakatnya, yaitu jiwa perlawanan menentang kemungkaran penjajahan. Pendidikan adalah langkah strategis sekaligus sentral (pusat) dalam membangun pikiran dan tindakan generasi. Lihatlah para penggerak perubahan adalah para generasi muda dan mereka adalah para kalangan terdidiknya. Perhatikan para penggerak gerakan sumpah pemuda adalah kalangan muda terdidik. Tersebutlah beberapa nama (Prof.) Mr. Sunario, (Dr.) Sumarsono, (Dr.) Sapuan Saatrosatomo, (Dr.) Zakar, Antapermana, (Prof. Drs.) Moh. Sigit, (Dr.) Muljotarun, (Dr.) Siwy, (Dr.) Sudjito, (Dr.) Maluhollo (Prof. Mr.) Muh. Yamin, (Dr.) Suwondo (Tasikmalaya), (Prof. Dr.) Abu Hanafiah, Amilius, (Dr.) Mursito, (Mr.) Tamzil, (Dr.) Suparto, (Dr.) Malzar, (Dr.) M. Agus, (Mr.) Zainal Abidin, Sugito, (Dr.) H. Moh. Mahjudin, (Dr.) Santoso, Adang Kadarusman, (Dr.) Sulaiman, Siregar, (Prof. Dr.) Sudiono Pusponegoro, (Dr.) Suhardi Hardjolukito, (Dr.) Pangaribuan Siregar dan lain-lain.
Hal ini menegaskan bahkan sejatinya proses pendidikan adalah membebaskan. Membebaskan manusia dari kebodohan, keterbelakangan dan penjajahan. Pendidikan yang membebaskan adalah proses pendidikan yang mengajarkan tentang idealisme bukan pragmatisme. Yaitu pendidikan yang mengajarkan akan nilai-nilai kebenaran, pendidikan yang mengarahkan para peserta didik untuk dapat semakin sadar akan pentingnya menyuarakan kebenaran itu dalam kehidupan masyarakat, pendidikan yang membebaskan diri manusia dari penghambaan atas manusia (makhluk) dan materi (duniawi), melainkan pendidikan yang dapat menjadikan para pembelajarnya semakin sadar untuk menghamba hanya pada Allah swt Sang Maha Pencipta. Bukanlah proses pendidikan yang hanya mengarahkan manusia pada bagaimana cara menghasilkan dan mengumpulkan sejumlah potensi materi tertentu dan kemudian menghamba padanya. Bukanlah proses pendidikan yang menghasilkan semangat dari tujuan dari proses yang dilaluinya adalah untuk dapat memperoleh pekerjaan tertentu.
Membandingkan hasil akhir dari proses pendidikan yang dilakukan pada masa awal sejarah keindonesiaan dengan saat sekarang ini amatlah jauh berbeda. Jika masa-masa awal telah menghasilkan para pemuda terdidik dengan idealisme yang kuat untuk memerdekakan dirinya dari belenggu penjajahan bangsa lain, maka saat ini pendidikan telah menjadikan para pemuda terjajah oleh pragmatisme yang membuat mereka tunduk atas kuasa materi.
Sumpah pemuda sejatinya adalah menegaskan tentang bagaimana suatu generasi dalam mengelola proses pendidikan guna menghasilkan para pemuda yang memiliki nilai-nilai idealisme untuk menegakkan kebenaran dan membebaskan dari belenggu pragmatisme berpikir. Pendidikan sejatinya adalah menghasilkan kemerdekaan berfikir bagi para pembelajar. Disinilah kemudian bertemu antara epistimologi pendidikan dengan islam yaitu keduanya untuk menjadikan manusia merdeka dalam berpikir dan Itulah epistimologi pendidikan islam yaitu menjadikan manusia terbebas dari belenggu keterjajahan menuju kemerdekaan berpikir. Lihatlah , pada awalnya Jazirah Arab terbelenggu oleh kehidupan jahiliyah berubah menjadi penuh peradaban. Demikian pula Eropa dari keterbelakangan (dark age) kemudian bangkit tercerahkan hingga menjadi pusat peradaban dunia setelah berinteraksi dengan islam. Karena sejatinya islam adalah memerdekakan.
Demikian pulalah yang menjadi faktor utama mempersatukan para pemuda di nusantara ini untuk bangkit dari penjajahan adalah karena pendidikan dan islam. Tanpa kedua ini maka sulit kiranya para pemuda akan bangkit untuk melawan penjajahan. Sebagaimana terungkap dalam sejarah bahwa kongres pemuda yang menjadi embrio sumpah pemuda berawal dari proses korespondensi yang dilakukan oleh mahasiswa “indonesia” yang belajar di Belanda dengan mahasiswa yang belajar di Mesir pada masa itu.
Demikian pula bahwa pendidikan dan islam lah yang mampu menggerakkan para pemuda untuk melakukan perlawanan. Sebagaimana dalam banyak tertulis dalam sejarah perjuangan menuju kemerdekaan bangsa indonesia. Pemuda soedirman, Soekarno, Hatta, Bung Tomo dan para pejuang kemerdekaan semuanya adalah para pemuda yang tercerahkan oleh pendidikan yang membebaskan serta islam-lah yang menjadi inspirasi bagi mereka untuk bergerak dan bersatu. Bahkan gema perlawanan atas penjajahan banyak bermula dari pesantren yaitu tempat para generasi muda menimba ilmu. Sejarah mencatat para ulama, kyai, tuang guru, tengku dan para santrinya turut serta dalam perjuangan melawan kemungkaran penjajahan. Tercatatlah Kyai Mojo sebagai penasehat spiritual dan arsitek perang Diponegoro saat dibuang ke Tondano Suaawesi diikuti oleh 60 para santrinya para pemuda turut serta dalam pembuangan. Bahkan hingga pada saat menjelang proklamasi kemerdekaan RI, tercatat bahwa jika tidak karena kengototan para pemuda maka mungkin tidak akan terjadi proklamasi kemerdekaan. Demikian pula dalam setiap perubahan orde, para pemuda yang terdidik (mahasiswa) selalu berada di garis terdepan dalam melawan kemungkaran dan kedhaliman.
Hal ini menandakan bahwa sejatinya dengan pendidikan lah maka akan terjadi perubahan. Tanpa pendidikan maka mungkin Indonesia akan tetap menjadi bangsa terjajah. Namun pula, hanya pendidikan yang membangun idealisme lah yang akan mencerahkan dan membebaskan pemikiran hingga mendorong sebuah kebangkitan. Serta hanya dengan idealisme pemikiran yang benar dan lurus sajalah, maka perubahan itu dapat dipastikan akan berdampak membawa pada kebaikan. Dan tentu, proses pendidikan yang dimaksud adalah pendidikan yang berbasis idealisme berpikir, dan bukan pendidikan yang dibangun atas semangat pragmatisme. Sehingga selayaknya lah bahwa pendidikan yang dikelola oleh bangsa ini adalah haruslah diarahkan pada proses pendidikan yang bertujuan menghasilkan para pemikir idealis, agar dapat terus mengembangkan ilmu pengetahuan dalam sebuah bingkai ruh nilai-nilai akhlaq mulia sehingga dapat melahirkan para intelektual yang bersedia tunduk patuh pada Allah dan semakin mampu membesarkan dan mengagungkan Allah. Bukanlah proses pendidikan yang diarahkan oleh ide-ide pragmatisme yang akan melahirkan para pekerja untuk dapat menjawab tantangan dunia kerja. Namun sayangnya, proses pendidikan yang sedang berlangsung di negeri ini lebih menekankan pada maksud menjawab tantangan kerja dengan segala varian argumentasinya, seperti tantangan era industri atau 4.0. Sehingga proses pendidikan hanya akan melahirkan para pekerja (pragmatis) dan bukan pemikir (idealis) yang akan mudah takluk atas materi (duniawi) dan hilang semangat idealisme untuk menyuarakan kebenaran. Dan pada saat itulah maka kebenaran akan kehilangan ruhnya dan menjadi langka dan asing dalam kehidupan. Benarlah apa yang disampaikan oleh Nabi bahwa kelak kebenaran (islam) akan menjadi asing sebagaimana awal sejarahnya.
بَدَأَ الإِسلامُ غريبًا، وسَيَعُودُ غريبًا كما بدَأَ ، فطُوبَى للغرباءِ
“Islam muncul dalam keadaan asing, dan akan kembali asing seperti saat kemunculannya. Maka beruntunglah orang-orang yang asing”. (HR. Muslim)
Siapakah mereka? Disebutkan dalam hadist yang lain,
فَقِيلَ : يَا رَسُولَ اللَّهِ، وَمَا الْغُرَبَاءُ؟ قَالَ :”الَّذِينَ يُصْلِحُونَ عِنْدَ فَسَادِ النَّاسِ
“Siapakah orang-orang yang terasing itu ya Rasulullah ? “Orang-orang yang selalu memperbaiki (amar ma’rur dan nahi munkar) di saat manusia dalam keadaan rusak”, jawab Rasulullah (HR. Thabrani)
Untuk itu, jika kita ingin mengetahui bagaimana wajah masa depan suatu bangsa maka lihatlah bagaimana para pemudanya hari ini dan bagaimana mereka mendapatkan pendidikan dalam membangun pikiran-pikiran mereka. Apakah proses pendidikan kita mampu menghadirkan para idealis yang berani menyuarakan kebenaran? Ataukah proses pendidikan kita akan melahirkan para pragmatis yang tunduk atas materi. Wallahu a’lam.
Semoga Allah swt menyelamatkan kita dan terus melindungi kita serta mengarahkan kita untuk tetap berada dalam kebenaran dan istiqomah dalam menyuarakannya. Semoga Allah swt mengampuni dosa kita dan meridhoi kita. Aamiin..