Kanal24, Malang – Fakultas Hukum Universitas Brawijaya (FH UB) menghadirkan wacana aktual dalam dunia hukum melalui kuliah tamu bertema “Hukum Perdata Internasional dan Perkembangannya dalam Praktek”, yang diselenggarakan pada Rabu (14/05/2025). Acara ini menghadirkan dua narasumber utama yang berpengalaman dalam praktik hukum lintas negara: Rahayu Ningsih Hoed selaku Partner dan Hendrik A. Pasaribu sebagai Senior Associate dari kantor hukum ternama.
Dalam kuliah tamu tersebut, Rahayu Ningsih Hoed menyoroti pentingnya peran hukum perdata internasional dalam menangani kasus-kasus lintas negara yang makin kompleks seiring meningkatnya kerja sama dan transaksi internasional. Ia menekankan bahwa ratifikasi perjanjian-perjanjian internasional oleh Indonesia menjadi hal yang mendesak demi memperkuat kerangka hukum yang mampu menjamin kepastian hukum dalam pelaksanaan kontrak internasional.
Baca juga:
Seminar FH UB Uji Substansi dan Arah RKUHAP

“Banyak kerja sama luar negeri yang terhambat hanya karena belum ada pengakuan atas putusan pengadilan asing. Misalnya, ketika terjadi sengketa dan putusan sudah dikeluarkan oleh pengadilan luar negeri, tetapi ketika hendak dieksekusi di Indonesia, prosesnya sangat rumit dan memakan waktu karena harus diajukan gugatan baru. Ini jelas tidak efisien,” ujar Rahayu.
Ia juga menyinggung persoalan teknis dalam tata cara panggilan perkara internasional yang hingga kini masih memerlukan waktu sangat lama, bahkan bisa mencapai enam bulan hanya untuk pemanggilan pertama. “Kalau proses pemanggilan saja memakan waktu satu tahun, bagaimana bisa kita bicara soal kecepatan dan efisiensi?” lanjutnya.
Lebih jauh, Rahayu menyoroti pentingnya pengakuan atas pilihan hukum dan pilihan forum dalam kontrak-kontrak internasional. Menurutnya, masih ada ketidakpastian dalam praktik peradilan di Indonesia, di mana pilihan hukum yang telah disepakati para pihak kadang dihormati, namun dalam beberapa kasus justru diabaikan. Begitu pula dengan penggunaan bahasa dalam kontrak. Meski Mahkamah Agung telah mengeluarkan surat edaran bahwa penggunaan bahasa asing dalam kontrak tidak membatalkan perjanjian, realitas di pengadilan masih menunjukkan adanya pembatalan perjanjian yang tidak dibuat dalam bahasa Indonesia.
Sementara itu, Hendrik A. Pasaribu menekankan perlunya keseimbangan antara teori dan praktik dalam memahami dan menerapkan hukum perdata internasional. Ia mengingatkan mahasiswa dan praktisi hukum untuk tidak hanya bergantung pada pencarian informasi dari internet, tetapi juga merujuk pada literatur hukum asli dan yurisprudensi yang relevan. “Kita harus mampu keluar dari keterbatasan aturan formal untuk menciptakan solusi yang bisa diimplementasikan, dengan tetap berlandaskan hukum,” ujarnya.
Menurut Hendrik, progresivitas hukum menjadi penting dalam menjawab tantangan globalisasi. Belajar dari negara lain dan mencoba menerapkan pendekatan yang terbukti berhasil di yurisdiksi berbeda dapat menjadi strategi inovatif dalam pengembangan hukum perdata internasional di Indonesia.

Baca juga:
DWP FH UB Dorong Perempuan Kartini Modern Indonesia
Menutup kuliah tamu, Rahayu juga menambahkan pentingnya penguasaan bahasa asing, khususnya bahasa Inggris, dalam menangani dokumen kontrak internasional. Ia menegaskan bahwa keterampilan bahasa merupakan bagian penting dari kompetensi praktisi hukum masa kini. “Bagaimana kita bisa menangani kontrak internasional kalau tidak menguasai bahasa Inggris? Sebagian besar kontrak internasional ditulis dalam bahasa tersebut,” pungkasnya.
Kuliah tamu ini memberikan wawasan berharga bagi mahasiswa Fakultas Hukum UB mengenai kompleksitas hukum perdata internasional, serta tantangan yang dihadapi Indonesia dalam mengadopsi dan menerapkan norma-norma hukum internasional secara efektif. Kegiatan ini menjadi bukti komitmen FH UB dalam mempersiapkan mahasiswa menjadi praktisi hukum yang kompeten di ranah global, sekaligus mendorong reformasi sistem hukum Indonesia agar lebih adaptif terhadap perkembangan dunia internasional. (nid)