Kanal24, Malang – Universitas Brawijaya (UB) kembali menjadi tempat berlangsungnya kegiatan sosial unik pada Kamis (15/05/2025) yang membawa manfaat psikologis bagi para mahasiswa. Kegiatan ini berupa terapi Access Bars, yang difasilitasi langsung oleh Yolanda Dwi, seorang Access Bars Facilitator berpengalaman. Program ini rutin dilakukan setiap enam bulan sekali di beberapa fakultas UB, salah satunya Fakultas Perikanan dan Ilmu Kelautan (FPIK UB) dalam acara “Mental Health Corner”.
Menurut Yolanda, Access Bars adalah metode sederhana namun sangat mendalam yang bertujuan untuk membersihkan ‘sampah-sampah mental’ seperti pikiran negatif, emosi yang terpendam, dan tekanan batin lainnya. “Access Bars ini dilakukan dengan menyentuh titik-titik tertentu di kepala selama sekitar 30 detik untuk setiap titik. Proses ini bekerja seperti menghapus file yang tidak diperlukan di handphone agar memori kita bisa diisi dengan hal-hal baru,” jelasnya.
Baca juga:
TKDN Terancam Dicabut, Industri Alat Kesehatan Indonesia Cemas
Yolanda mengibaratkan pikiran dan perasaan manusia seperti pencernaan. Jika tidak dikeluarkan secara berkala, maka akan menumpuk dan menyebabkan gangguan. Namun berbeda dengan tubuh yang secara alami membuang sisa makanan, emosi dan pikiran negatif sering kali menetap dalam bawah sadar seseorang tanpa diketahui cara untuk melepaskannya.
“Teknik ini simpel. Nggak perlu cerita panjang. Peserta hanya rebahan selama 45 menit sampai 1 jam. Tubuhnya sendiri yang akan bekerja merilis energi yang tidak dibutuhkan lagi. Bahkan sebagai fasilitator pun, kalau kami punya ‘data’ yang sama, kami ikut rilis. Jadi prosesnya saling membersihkan,” ujarnya.
Program ini sangat relevan bagi mahasiswa yang setiap hari terpapar berbagai informasi dari media sosial, berita, dan tekanan akademik. Yolanda menyampaikan bahwa kondisi mental mahasiswa masa kini sering kali mengalami “overload”, seperti ruang penyimpanan yang penuh tanpa ada sirkulasi keluar.
“Kalau nggak ada ruang di dalam diri kita, kita bisa meledak. Bisa ngamuk, marah tanpa sebab, bahkan bisa jatuh ke kondisi mental yang serius. Karena mereka nggak tahu gimana cara ngeluarinnya. Nah Access Bars ini bisa jadi salah satu jalannya,” tambah Yolanda.
Yang membedakan Access Bars dengan terapi konvensional adalah tidak adanya keharusan untuk menceritakan pengalaman traumatis atau masa lalu. Yolanda menekankan bahwa proses ini sangat menghargai privasi dan kenyamanan peserta, terutama mereka yang merasa enggan untuk membuka luka lama. “Ada orang yang bahkan ketika harus bercerita, itu saja sudah menimbulkan trauma. Lewat Access Bars, tubuh yang cerdas ini yang akan menentukan mana yang perlu dilepaskan,” tuturnya.
Hasil dari terapi ini cukup signifikan. Mahasiswa yang sebelumnya merasa stres dan terbebani, dapat merasakan kelonggaran di pikiran dan hati mereka. Yolanda menyebut bahwa banyak peserta yang merasakan munculnya semangat baru, kreativitas yang meningkat, dan perasaan ringan pasca-sesi.
“Begitu keluar dari sesi, banyak yang bilang: ‘Kok kayak ada ruang kosong ya, kayak bisa mikir jernih lagi.’ Nah di situlah titik ketika tubuh kita mulai siap menerima hal baru dan berkarya lagi,” ungkapnya.
Baca juga:
Mental Health Corner FPIK UB Diminati Mahasiswa
Dengan manfaat yang begitu besar, Yolanda berharap ke depannya Access Bars bisa menjangkau lebih banyak kalangan mahasiswa di berbagai kampus, tidak hanya di UB. Ia juga membuka peluang bagi kampus-kampus lain yang ingin bekerja sama untuk mengadakan sesi serupa.
“Kita ingin menciptakan ruang aman bagi mahasiswa, ruang yang bukan cuma untuk belajar secara akademik, tapi juga untuk menyembuhkan diri. Karena kesehatan mental adalah fondasi utama untuk bisa berkembang,” pungkas Yolanda. (nid/bel)