Oleh : L. Tri Wijaya N. Kusuma*
Beberapa pandangan para cendekiawan dan ulama terhadap generasi terdahulu, atau yang istilah kekinian disebut baby boomer, banyak mengedepankan “value” (nilai-nilai) dalam menjalani hidup umumnya cukup positif, meskipun sering kali juga disertai kritik konstruktif.
Jika dapat kita rangkum, generasi terdahulu (baby boomer) mostly sangat menghargai nilai kerja keras dan tanggung jawab, selain itu nilai-nilai yang dijunjung tinggi oleh mereka termasuk sikap Disiplin dan Loyalitas. Menurut Islam, nilai-nilai ini sejalan dengan prinsip-prinsip seperti “amal sholeh” (perbuatan baik), Istiqamah, dan Tanggung jawab sosial.
Fokus pada stabilitas dan pengorbanan merupakan ciri khas dari generasi ini, Baby Boomer dikenal sebagai generasi yang banyak berkorban untuk stabilitas keluarga dan negara pasca-perang dan krisis ekonomi. Mereka juga sangat menjaga nilai tradisional dan cukup konservatisme dalam hal menganut nilai-nilai agama, budaya, dan moral. Disisi lain, beberapa Cendekiawan seperti Prof. Quraish Shihab atau KH. Sahal Mahfudz pernah menyampaikan bahwa menjaga nilai tradisional itu penting, selama tidak kaku dan menutup diri terhadap perubahan zaman.
Namun, sebaliknya ada pula kritik yang muncul terhadap pola pemikiran para baby boomer tersebut, yaitu adanya kecenderungan dari mereka untuk menolak perubahan atau inovasi dari generasi muda, karena bisa menjadi hambatan dalam menghadapi dinamika sosial dan teknologi modern. Para cendekiawan memandang Baby Boomer masih dibutuhkan sebagai “penjaga nilai” (value keepers) yang penting dalam transisi zaman, yang menjunjung nilai-nilai hidup umumnya positif, selama nilai itu tidak kaku dan mampu beradaptasi dengan zaman. Mereka dianggap memiliki etos hidup yang luhur, tetapi tetap perlu terbuka pada dialog intergenerasi dan pembaruan nilai.
Pandangan para cendekiawan terhadap generasi X dan milenial yang mengedepankan aspek “achievement” (pencapaian) dalam menjalankan hidupnya cukup beragam, namun ada benang merah yang menunjukkan perubahan nilai dan orientasi hidup dibanding generasi sebelumnya. Berikut ini adalah ringkasan pandangan tersebut dari berbagai perspektif:
Dari pola hidup baby boomer’s tersebut, kemudian perlu kita mengkaji pula, bagaimana pola transisi generasi selanjutnya, yaitu generasi “x” maupun “milleniali” dalam menjalani hidupnya. Berbagai perspektif dapat kita gunakan untuk mengkaji lebih dalam, antara lain dari Perspektif Sosiologis, Perspektif Psikologis hingga Perspektif Filsafat dan Etika.
Dari Perspektif Sosiologis, para sosiolog melihat bahwa generasi X (lahir ±1965–1980) dan milenial (±1981–1996) tumbuh dalam kondisi sosial yang sangat berbeda dari generasi sebelumnya (misalnya baby boomers). Mereka hidup di tengah Kemajuan teknologi, globalisasi, dan informasi yang cepat. Ketidakpastian ekonomi, seperti krisis ekonomi global dan ketidakstabilan pasar kerja.
Termasuk didalamnya Kultur meritokrasi mulai tumbuh subur, di mana pencapaian individu lebih diutamakan daripada status sosial turun-temurun. Karena itu, “achievement” menjadi ukuran keberhasilan yang relatif objektif, dan generasi ini meresponsnya dengan menekankan, faktor Pendidikan tinggi, Mobilitas karier, Self-Branding, hingga kompetensi personal. Cendekiawan seperti Zygmunt Bauman bahkan menyebut zaman ini sebagai era “liquid modernity” di mana identitas dan pencapaian harus terus dibentuk dan diperbarui, dan inilah yang dihidupi oleh generasi X dan milenial.
Sama halnya jika kita melihat dari Perspektif Psikologis, para Psikolog dewasa ini melihat bahwa penekanan pada “achievement” memberikan dampak positif dan negative. Berdampak Positif terutama dalam aspek peningkatkan motivasi, daya saing, dan inovasi. Serta membentuk pribadi yang “goal-oriented” dan percaya diri. Namun berdampak negative, jika menimbulkan tekanan mental dan kecemasan (“achievement pressure”), mendorong perbandingan sosial yang tidak sehat, apalagi di era media sosial, hingga dapat memicu “burnout” dan hilangnya makna hidup jika pencapaian dijadikan satu-satunya tolok ukur. Cendekiawan seperti Barry Schwartz menyoroti fenomena “paradox of choice” semakin banyak pilihan dan peluang pencapaian, justru bisa membuat individu merasa kurang puas atau cemas dengan pilihannya.
Jika melihat dari perspektif Filsafat dan Etika , orientasi pada “achievement” kadang dikritik karena bisa menjauhkan manusia dari nilai-nilai yang lebih esensial atau meninggalkan “value” seperti yang ditekankan pada generasi “baby boomers” sebelumnya. Karena kita perlu menekankan pentingnya “keotentikan” dalam hidup, dan pencapaian eksternal belum tentu membuat seseorang hidup otentik. Kita pun perlu membedakan antara mode “having” (memiliki) dan “being” (menjadi). Terlalu fokus pada pencapaian bisa membawa manusia pada kehidupan yang terjebak pada “having”.
Namun, beberapa pemikir juga memandang positif orientasi “achievement”, selama disertai refleksi makna dan nilai, serta tidak mengorbankan integritas pribadi atau relasi sosial. Selain itu, pandangan para cendekiawan terhadap generasi X dan milenial yang menekankan “achievement” pada dasarnya bersifat ambivalen, bersifat Positif jika orientasi pencapaian ini mendorong pertumbuhan pribadi, kemandirian, dan kontribusi sosial.
Bersifat negatif jika menjadikan pencapaian sebagai satu-satunya sumber harga diri dan makna, hingga mengorbankan kesehatan mental, relasi, dan nilai-nilai kemanusiaan.
Pandangan ini mengajak kita untuk mencari keseimbangan antara pencapaian pribadi dan kehidupan yang bermakna secara lebih utuh. Sehingga hal inilah yang menjadi tugas berat dan besar dalam menghadapi generasi “Z” hingga Alfa-Beta dikehidupan selanjtunya.
Bagaimana menjembatani “way of life” yang berbeda dari generasi sebelumnya, kepada generasi “Z” hingga Alfa-Beta yang mengedepankan aspek “passion” dalam menjalani kehidupannya. Pandangan para cendekiawan terhadap generasi “Z” (lahir ±1997–2012) dan generasi Alfa-Beta (±2013 dan setelahnya) yang mengedepankan aspek “passion” (hasrat atau minat mendalam) dalam menjalankan hidupnya cukup kompleks. Ada apresiasi terhadap semangat baru ini, namun juga disertai kritik dan kekhawatiran terhadap dampak jangka panjangnya. Berbagai perspektif akademik dan pemikiran cendekiawan dalam menilai generasi ini, antara lain Perspektif Sosiologis dan Budaya hingga Perspektif Psikologi Pendidikan dan Karier.
Dari perspektif Sosiologis dan Budaya, Generasi Z dan Alfa-Beta tumbuh dalam Era digital dan konektivitas tinggi, sehingga memberikan dampak pula pada Budaya “influencer”, “content creation”, dan “personal branding”, selain itu juga memberikan efek pada Ekspektasi hidup yang lebih fleksibel dan bermakna secara personal, bukan sekadar sukses konvensional. Passion menjadi nilai utama dalam pilihan karier, pendidikan, dan gaya hidup mereka. Sedangkan jika kita melihat dari perspektif Psikologi Pendidikan dan Karier, banyak psikolog menghargai semangat generasi ini untuk bekerja berdasarkan “passion”, karena dapat meningkatkan motivasi intrinsik, mendorong pembelajaran berkelanjutan (lifelong learning), hingga menciptakan hubungan emosional yang lebih kuat terhadap pekerjaan.
Namun,, yang perlu kita ingat bersama bahwa “passion” saja tidak cukup. Tanpa ketekunan (perseverance), passion bisa cepat padam saat menghadapi tantangan. Kita perlu menekankan bahwa passion yang berkelanjutan perlu dibangun, bukan ditemukan secara instan. Karena dengan mengedepankan “passion” dapat berujung pula pada, sikap “Individualisme ekstrem”, di mana segala hal dilihat dari sudut minat pribadi, bukan kontribusi sosial. Ketidaksiapan menghadapi realitas keras, karena hidup tidak selalu menawarkan pekerjaan atau kondisi yang cocok dengan passion. Hingga komodifikasi passion, di mana industri dan media mengubah passion menjadi produk atau brand untuk dijual (misalnya jadi konten di TikTok/YouTube).
Dalam menghadapi kesenjangan “way of life” antar lintas generasi, mulai dari generasi “baby bommers”, bahwa orientasi pada passion harus didampingi dengan:
Generasi “X”, Generasi “Millenials”, hingga Generasi “Z” atau Alfa-Beta, maka perlu menekankan kemampuan setiap individu untuk mengedepankan aspek Literasi realitas dimana bahwa tidak semua passion bisa langsung jadi karier. Butuh Pendidikan karakter yang kuat, terintegrasi dan berkelanjutan, agar siswa belajar tanggung jawab, kolaborasi, dan ketahanan mental. Hingga kesadaran ekonomi, dimana passion yang sukses sering kali membutuhkan dukungan modal, jaringan, dan kerja panjang yang tidak selalu tampak di permukaan.
Karena “passion” yang ideal bukan sekadar mengikuti kesenangan pribadi, tapi dikembangkan lewat ketekunan, pembelajaran, dan kontribusi nyata terhadap lingkungan sekitar.

*) Ir. L Tri Wijaya N. Kusuma, ST., MT., Ph.D., Dosen Departemen Teknik Industri Universitas Brawijaya