Oleh: Andhyka Muttaqin*
Di tengah harapan besar agar kampus menghasilkan lulusan berkualitas dan riset yang berkontribusi pada bangsa, nasib para dosen justru kian memprihatinkan. Data terbaru dari Kompas (19 Mei 2025) mengungkap bahwa mayoritas dosen perguruan tinggi negeri (PTN) di Indonesia bekerja lebih dari 56 jam per minggu, namun menerima gaji yang bahkan lebih rendah dari pekerja biasa per jam-nya.
Rata-rata upah dosen di Indonesia hanya sekitar USD 207 per tahun, atau sekitar Rp3 juta per bulan. Angka ini jauh di bawah negara-negara tetangga seperti Thailand (USD 1.348), Malaysia (USD 1.172), dan Kamboja (USD 1.366) (TradingEconomics, 2024). Padahal beban kerja dosen Indonesia tidak kalah, bahkan lebih berat karena harus mengajar, meneliti, mengabdi pada masyarakat, dan mengurus administrasi kampus.
Baca juga:
Antara Value, Achievements & Passion : Jalan Hidup Lintas Generasi
Yang lebih menyedihkan, dengan gaji sebesar itu, dosen hanya mampu membeli sekitar 143 kg beras per bulan terendah dibandingkan dosen di negara ASEAN lainnya (Kompas, 2025). Sementara dosen di Malaysia bisa membeli hingga 2.075 kg beras per bulan dari gajinya. Ini menjadi cermin nyata betapa rendahnya daya beli dosen kita.
Banyak Kerja, Kurang Tidur, Tak Bisa Menabung
Survei Kompas juga mencatat bahwa 86% dosen mengalami kekurangan tidur. Ini akibat beban kerja yang terus menumpuk, termasuk tugas administratif dan bahkan pekerjaan tambahan. Tidak sedikit dosen muda yang terpaksa menjadi ojek online atau membuka jasa di luar kampus untuk mencukupi kebutuhan hidup, suatu ironi di tengah peran strategis mereka dalam mencerdaskan bangsa.
Tekanan finansial ini berdampak serius: lebih dari 40% dosen menggunakan lebih dari 30% penghasilannya untuk membayar cicilan atau utang. Bahkan, 36% di antaranya tidak mampu menabung sama sekali. Studi dari Hasan, Sugiharto & Aminah (2021) menyebutkan bahwa kesejahteraan finansial dosen sangat berpengaruh terhadap motivasi, produktivitas, dan kualitas pengajaran.
Krisis Regenerasi, Siapa Mau Jadi Dosen?
Dengan kondisi seperti ini, tak mengherankan jika regenerasi dosen mengalami hambatan serius. Minat generasi muda untuk menjadi dosen terus menurun. Padahal, Indonesia butuh ribuan dosen baru tiap tahun untuk menggantikan yang pensiun dan memenuhi kebutuhan kampus-kampus yang terus tumbuh.
Jika krisis ini dibiarkan, bukan hanya kualitas pendidikan tinggi yang akan menurun, tetapi juga daya saing bangsa dalam jangka panjang. Negara-negara tetangga sudah lebih dulu membenahi sistem pendanaan pendidikan tinggi mereka. Di Singapura, misalnya, rata-rata dosen memperoleh gaji lebih dari USD 5.000 per tahun, dengan dukungan penuh terhadap riset dan pengembangan karier akademik (Selinaawuwu et al., 2023).
Saatnya Negara Hadir
Pemerintah perlu segera mengambil langkah nyata. Berikut beberapa hal yang bisa dilakukan:
- Naikkan gaji dan tunjangan dosen secara bertahap, minimal mendekati rata-rata ASEAN. Ini penting agar profesi dosen kembali menarik dan layak dijalani.
- Kurangi beban administratif dengan memperkuat tenaga administrasi kampus. Dosen sebaiknya fokus pada tridarma perguruan tinggi: pendidikan, penelitian, dan pengabdian masyarakat.
- Berikan insentif berbasis kinerja untuk publikasi ilmiah, inovasi, dan pengabdian yang berdampak nyata.
- Sediakan jaminan sosial yang memadai, seperti subsidi perumahan, dana pendidikan anak, dan jaminan pensiun yang layak.
- Perluas beasiswa calon dosen, terutama untuk S2 dan S3, agar ada regenerasi yang sehat dan berkelanjutan.
Dosen bukan hanya pengajar, tapi penjaga masa depan bangsa. Saat dosen tidak dihargai secara layak, kualitas pendidikan tinggi pun akan menurun. Sudah waktunya negara tidak hanya menuntut, tapi juga hadir dan memberi penghargaan yang pantas. Karena di tangan dosenlah masa depan generasi Indonesia digembleng dan dibentuk.

*)Andhyka Muttaqin, Pengamat Kebijakan Publik dan Dosen di Departemen Administrasi Publik Fakultas Ilmu Administrasi Universitas Brawijaya (FIA UB).