Islam adalah agama yang sangat indah. Mengatur sesuatu pada aspek akar persoalan, sekalipun mungkin dianggap sepele. Pada sebagian kalangan menganggap bahwa Islam hanyalah sekedar mengatur nilai moralitasnya bukan substansi materialnya dari suatu aspek kehidupan. Padahal nilai moralitas inilah yang sejatinya membingkai suatu tindakan atau perbuatan sehingga menjadi sangat bermakna selain Islam juga mengatur substansi materialnya pula. Termasuk dalam substansi persoalan kehidupan adalah aturan islam untuk menahan amarah. Dalam ranah personal hal ini terkait bagaimana seseorang merespon orang lain dalam berkomunikasi. Dalam ranah sosial hal ini terkait bagaimana relasi sosial dapat berjalan tanpa rasa saling menyalahkan hingga mampu menghasilkan harmonisasi sosial. Sementara dalam ranah politik kebangsaan, menahan amarah dapat mendorong seseorang pemimpin dalam melakukan proses pengambilan keputusan yang bijak hingga mampu berlaku adil dan mendorong lahirnya kesejahteraan sosial bagi seluruh anak bangsa.
Untuk itu Islam mengatur ummatnya pada aspek substantif moralitas yang membingkai perilaku agar mampu menghasilkan proses kehidupan yang harmonis yaitu dengan menahan marah. Sebagaimana disebutkan dalam alquran,
ٱلَّذِينَ يُنفِقُونَ فِي ٱلسَّرَّآءِ وَٱلضَّرَّآءِ وَٱلۡكَٰظِمِينَ ٱلۡغَيۡظَ وَٱلۡعَافِينَ عَنِ ٱلنَّاسِۗ وَٱللَّهُ يُحِبُّ ٱلۡمُحۡسِنِينَ
(yaitu) orang yang berinfak, baik di waktu lapang maupun sempit, dan orang-orang yang menahan amarahnya dan memaafkan (kesalahan) orang lain. Dan Allah mencintai orang yang berbuat kebaikan. (QS. Ali ‘Imran : 134)
Perintah menahan amarah kemudian juga dikaitkan dengan kesediaan memaafkan kesalahan orang lain. Hal ini menandakan bahwa proses dalam menjalin hubungan interaksi dan komunikasi dengan orang lain tidak jarang juga melahirkan persinggungan dan kesalahpahaman sehingga menimbulkan amarah pada salah satunya. Maka untuk tetap menjaga proses harmonisasi serta pengambilan keputusan yang baik adalah dengan menahan amarah. Sebab keputusan yang diambil dalam saat amarah pastilah emosional dan jauh dari pertimbangan rasional. Demikian pula dengan produksi pesan yang dilahirkan atau dikeluarkan dari lisan atau kalimat seseorang akan sangat tidak baik dan bernilai negatif yang berkemungkinan akan menambah rumitnya suatu persoalan.
Islam mengajarkan kepada ummatnya bukan melarang orang menghilangkan amarah. Bahkan marah pun juga dianjurkan oleh Islam khususnya dikala hal penyebab marah itu terkait dengan persoalan agama dan bukan persoalan personal diri. Bahkan Rasulullah saw amat marah manakala seseorang melanggar atau bahkan mempermainkan aturan agama. Suatu ketika Rasul tampak marah (sekalipun Rasulullah menahannya) ketiga ada orang yang meragukan kebenaran yang dibawa oleh Nabi. Sebagaimana Ummul mukminin Aisyah meriwayatkan sebuah hadits bahwa Rasulullah saw pernah marah.
وَعَنْ عَائِشَةَ رَضِيَ اللهُ عَنْهَا أَنَّهَا قَالَتْ: قَدِمَ رَسُوْلُ اللهِ – صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ – لِأَرْبَعِ مَضِيْنَ مِنْ ذِيْ الحِجَّةِ، أَوْ خَمْسٍ، فَدَخَلَ عَلَيَّ وَهُوَ غَضْبَانُ، فَقُلْتُ: مَنْ أَغْضَبَكَ يَا رَسُوْلَ اللهِ، أَدْخَلَهُ اللهُ النَّارَ، قَالَ: أَوَمَا شَعَرْتِ أَنِّي أَمَرْتُ النَّاسَ بِأَمْرٍ، فَإِذَا هُمْ يَتَرَدَّدُوْنَ… ( رواه مسلم )
“Pada hari ke-4 atau ke-5 Dzul Hijjah, Rasulullah ﷺ datang menemuiku dalam keadaan marah. Aku berkata, ‘Siapa yang membuatmu marah wahai Rasulullah? Semoga Allah memasukkannya ke neraka’. Beliau menjawab, ‘Apakah pendapatmu ketika aku memerintahkan orang-orang dengan suatu perintah, lalu mereka bimbang (ragu dalam melaksanakannya)’.” (HR. Muslim).
Artinya amarah Rasulullah itu apabila terkait dengan aturan agama yang dilanggar dan nilai kebenaran dilecehkan. Namun apabila pelecehan dan penghinaan itu terkait diri personalnya sebagai seorang diri atau manusia, maka nabi akan bersabar dan tidak menunjukkan rasa marahnya.
Dapatlah kita ceritakan disini teladan nabi dalam menahan marah yaitu ketika beliau berdakwah ke thaif guna mengajak para penduduk Thaif untuk memeluk Islam. Namun dibalas dengan cara yang hina. Mereka mengeluarkan anak-anak dan budak-budak untuk melempari Nabi Saw dengan batu. Hingga beliau pingsan menahan luka. Setelah tersadar, beliau saw ditawari malaikat penjaga gunung, kalau mau membalas. Namun beliau tidak marah. Malah berharap kebaikan untuk penduduk Thaif. Nabi menjawab, “Bahkan aku berharap kelak Allah memunculkan dari tulang rusuk mereka orang-orang yang menyembah Allah…,”
Sebagaimana dijelaskan dalam sebuah hadist saat ditanya oleh istri tersayang, yaitu ‘Aisyah Radhiyallahu anhuma :
هَلْ أَتَى عَلَيْكَ يَوْمٌ كَانَ أَشَدَّ عَلَيْكَ مِنْ يَوْمِ أُحُدٍ قَالَ لَقَدْ لَقِيتُ مِنْ قَوْمِكِ مَا لَقِيتُ وَكَانَ أَشَدَّ مَا لَقِيتُ مِنْهُمْ يَوْمَ الْعَقَبَةِ إِذْ عَرَضْتُ نَفْسِي عَلَى ابْنِ عَبْدِ يَالِيلَ بْنِ عَبْدِ كُلَالٍ فَلَمْ يُجِبْنِي إِلَى مَا أَرَدْتُ فَانْطَلَقْتُ وَأَنَا مَهْمُومٌ عَلَى وَجْهِي فَلَمْ أَسْتَفِقْ إِلَّا وَأَنَا بِقَرْنِ الثَّعَالِبِ فَرَفَعْتُ رَأْسِي فَإِذَا أَنَا بِسَحَابَةٍ قَدْ أَظَلَّتْنِي فَنَظَرْتُ فَإِذَا فِيهَا جِبْرِيلُ فَنَادَانِي فَقَالَ إِنَّ اللَّهَ قَدْ سَمِعَ قَوْلَ قَوْمِكَ لَكَ وَمَا رَدُّوا عَلَيْكَ وَقَدْ بَعَثَ إِلَيْكَ مَلَكَ الْجِبَالِ لِتَأْمُرَهُ بِمَا شِئْتَ فِيهِمْ فَنَادَانِي مَلَكُ الْجِبَالِ فَسَلَّمَ عَلَيَّ ثُمَّ قَالَ يَا مُحَمَّدُ إِنْ شِئْتَ أَنْ أُطْبِقَ عَلَيْهِمْ الْأَخْشَبَيْنِ فَقَالَ النَّبِيُّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ بَلْ أَرْجُو أَنْ يُخْرِجَ اللَّهُ مِنْ أَصْلَابِهِمْ مَنْ يَعْبُدُ اللَّهَ وَحْدَهُ لَا يُشْرِكُ بِهِ شَيْئًا
“Apakah pernah datang kepadamu satu hari yang lebih berat dibandingkan dengan saat perang Uhud?”. Beliau Shallallahu ‘alaihi wa sallam menjawab : “Aku telah mengalami penderitaan dari kaummu. Penderitaan paling berat yang aku rasakan, yaitu saat ‘Aqabah, saat aku menawarkan diri kepada Ibnu ‘Abdi Yalîl bin Abdi Kulal, tetapi ia tidak memenuhi permintaanku. Aku pun pergi dengan wajah bersedih. Aku tidak menyadari diri kecuali ketika di Qarnust-Tsa’âlib, lalu aku angkat kepalaku. Tiba-tiba aku berada di bawah awan yang sedang menaungiku. Aku perhatikan awan itu, ternyata ada Malaikat Jibril q , lalu ia memanggilku dan berseru: ‘Sesungguhnya Allah Azza wa Jalla telah mendengar perkataan kaummu kepadamu dan penolakan mereka terhadapmu. Dan Allah Azza wa Jalla telah mengirimkan malaikat penjaga gunung untuk engkau perintahkan melakukan apa saja yang engkau mau atas mereka’. Malaikat (penjaga) gunung memanggilku, mengucapkan salam lalu berkata: ‘Wahai Muhammad! Jika engkau mau, aku bisa menimpakan Akhsabain’.” Lalu Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam menjawab: “(Tidak) namun aku berharap supaya Allah Azza wa Jalla melahirkan dari anak keturunan mereka orang yang beribadah kepada Allah semata, tidak mempersekutukan-Nya dengan apapun jua”. (HR Imam al-Bukhâri dan Imam Muslim).
Demikian pula keteladanan Abu bakar menahan marah saat dicela. Suatu ketika Rasulullah bertamu ke rumah Abu Bakar. Ketika sedang bercengkrama datanglah seorang badui dan langsung marah-marah kepada Abu Bakar. Namun beliau bergeming dengan celaan badui itu. Rasulullah saw yang melihat sikap Abu Bakar ini hanya tersenyum. Ternyata orang badui semakin mencelanya kembali, dan Abu Bakar tetap bergeming. Rasulullah pun semakin tersenyum. Namun untuk ketiga kalinya celaan badui ini semakin menjadi jadi, hingga hilanglah kesabaran Abu Bakar. Kemudian beliau membalas celaan badui tersebut dan terjadilah percekcokan antara keduanya. Melihat hal demikian, Rasulullah kemudian menjauh dan keluar dari rumah Abu Bakar tanpa pamit.
Melihat hal ini, Abu Bakar bingung dan mengejar Nabi seraya bertanya “mengapa engkau meninggalkanku..”. Kemudian nabi bersabda, “disaat pertama kali engkau dicela lalu engkau diam, aku melihat banyak malaikat yang membantumu, dan aku tersenyum. Disaat celaan yang kedua engkaupun diam, malaikat semakin banyak disekelilingmu, aku pun semakin tersenyum. Namun disaat celaan ketiga, engkau membalasnya, maka seluruh Malaikat pergi meninggalkanmu. Hadirlah Iblis di sisimu. Oleh karena itu, aku tidak ingin berdekatan dengannya, dan aku tidak memberikan salam kepadanya.”
Demikianlah sikap terbaik seorang muslim dikala ada hal yang tidak sesuai dengan dirinya kemudian mampu menahan amarahnya maka Allah akan menurunkan malaikat untuk membantu dan memujinya. Namun jika seseorang mengikuti hawa nafsunya untuk marah maka sesungguhnya syetan dan iblis telah menguasai dirinya dan menghilangkan kesadarannya. Untuk itu islam mengajarkan cara menahan amarah dikala diri kita sedang dikuasai nafsu. Berikut manajemen marah antara lain yaitu pertama, perbanyaklah meminta perlindungan kepada Allah swt dari godaan syetan dengan membaca:
أَعُوْذُ بِاللهِ مِنَ الشَّيْطَانِ الرَّجِيْمِ
Aku berlindung kepada Allah dari godaan setan yang terkutuk.
Kemudian kedua, perbanyak mengucapkan kalimat-kalimat yang baik, berdzikir, dan istighfar. Ketiga, hendaklah diam, tidak mengumbar amarah. Keempat, dianjurkan berwudhu’. Kelima, jika masih saja muncul rasa amarah maka dianjurkan oleh Nabi untuk merubah posisi, apabila marah dalam keadaan berdiri hendaklah duduk, dan apabila marah dalam keadaan duduk hendaklah berbaring. Keenam, jauhkan hal-hal yang membawa kepada kemarahan. Ketujuh, Berikan hak badan untuk beristirahat. Kedelapan, Ingatlah akibat jelek dari amarah. Kesembilan, ingatlah keutamaan orang-orang yang dapat menahan amarahnya.
Dengan beberapa langkah itu in syaa Allah amarah dapat dikendalikan. Namun jika hal demikian tetap saja marah maka ketahuilah bahwa saat itu kita sedang dikuasai oleh syetan dan iblis yang sengaja akan menjjrumuskan diri kita ke lembah kenistaan dan kehancuran.
Semoga Allah swt melindungi diri kita dari godaan syetan yang terkutuk dan semoga kita selalu diberi kesabaran dalam menghadapi segala peristiwa sekalipun tidak sesuai dengan harapan kita. Semoga kita selalu berada di jalanNya yang lurus. Aamiiin…