Kanal24, Malang — Dalam gelaran Hear & Heal 2025 yang berlangsung pada Senin (02/06/2025), Ns. Muhammad Sunarto, S.Kep., M.Kep., Sp.Kep.J., hadir sebagai salah satu pemateri yang mengangkat isu krusial terkait stigma sosial terhadap korban kekerasan, khususnya perempuan, dan pentingnya membangun ruang aman dan inklusif di lingkungan kampus.
Sunarto menekankan bahwa akar permasalahan kekerasan seringkali bukan hanya pada tindakan kekerasannya semata, tetapi juga pada dampak sosial yang mengikuti setelahnya. “Seringkali korban kekerasan mendapatkan stigma dari lingkungan. Misalnya, ‘ya habis kamu sendiri yang berpakaian begitu’, atau ‘itu kan salah kamu sendiri’. Pernyataan-pernyataan seperti ini membuat korban merasa lebih takut bicara karena dampak sosial yang mereka hadapi lebih buruk dari kekerasan itu sendiri,” jelasnya.
Baca juga:
Visiting Profesor, FK UB Kolaborasi Global Hadapi Tantangan Kulit Dunia

Stigma dan pelabelan terhadap korban dinilainya menjadi penghambat utama dalam penanganan kasus kekerasan. Alih-alih mendapat dukungan, korban justru menghadapi tekanan psikologis lanjutan. Oleh sebab itu, Sunarto menyerukan pentingnya kampanye penghapusan stigma dan pelabelan negatif.
Prioritaskan Layanan Psikologis
Dalam menangani korban kekerasan, Sunarto menegaskan pentingnya mengedepankan pendekatan psikologis terlebih dahulu sebelum langkah lainnya. “Ketika seseorang mengalami kekerasan, jangan langsung melakukan asesmen atau menyudutkan mereka dengan pertanyaan. Berikan dulu layanan psikologis agar mereka merasa nyaman dan tenang,” ujar dosen keperawatan jiwa ini.
Pendekatan tersebut, lanjutnya, akan membantu korban merasa aman untuk mulai membuka diri. “Kita bantu mereka berdamai dengan situasi, bukan berdamai dengan pelaku. Memberi rasa nyaman ini penting agar mereka bisa melanjutkan aktivitas akademik maupun sosialnya dengan lebih baik,” imbuhnya.
Bangun Ruang Aman dan Inklusif
Sunarto menyampaikan bahwa semua pihak harus terlibat dalam menciptakan kampus yang inklusif dan aman, tidak hanya bagi perempuan, tetapi bagi semua individu tanpa terkecuali. Menurutnya, kampanye dan sosialisasi harus terus dilakukan agar ruang untuk berbicara terbuka lebar.
“Kita harus membangun ruang aman, di mana setiap orang merasa nyaman untuk menyampaikan perasaannya tanpa takut dihakimi. Ini soal inklusivitas. UB harus menjadi rumah yang aman untuk semua mahasiswa, dosen, dan tenaga pendidik,” tegasnya.
Dengarkan Tanpa Menghakimi
Dalam sesi pemaparan yang disambut antusias oleh peserta, Sunarto juga menekankan pentingnya menjadi pendengar yang baik. Ia mengajak semua sivitas akademika untuk “memasang telinga”, yakni benar-benar mendengarkan pengalaman korban tanpa memberi komentar atau menyebarkan cerita.
Baca juga:
Terobosan Limbah Telur Tingkatkan Ekonomi Desa
“Kita punya dua telinga dan satu mulut. Artinya, dengarkanlah dua kali lebih banyak daripada kita berbicara. Jika ada teman yang bercerita, dengarkan tanpa mengomentari, jangan bertanya terlalu dalam, dan jangan bocorkan ceritanya. Jika perlu, bantu arahkan ke lembaga atau tim profesional seperti WTKSP fakultas atau PPKT universitas,” jelasnya.
Acara Hear & Heal 2025 yang diinisiasi sebagai ruang edukasi dan dukungan psikososial ini tidak hanya memperkuat literasi kesehatan mental, tetapi juga mendorong perubahan budaya kampus yang lebih empatik dan manusiawi. Dengan melibatkan tenaga profesional seperti Ns. Muhammad Sunarto, Universitas Brawijaya berkomitmen untuk terus memelihara ruang dialog, pendampingan, dan pemulihan bagi seluruh warganya.
“Jangan biarkan korban menanggung luka dua kali. Mari hadir sebagai pendengar yang peduli dan penggerak perubahan,” pungkas Sunarto. (nid/hil)