Kanal24, Malang – Pertumbuhan ekonomi Indonesia pada kuartal I-2025, meleset dari target 5% yang dicanangkan pemerintah. Badan Pusat Statistik (BPS) mencatat pertumbuhan hanya mencapai 4,87% secara year-on-year (yoy), disertai kontraksi sebesar 0,98% dibandingkan kuartal sebelumnya. Angka ini memunculkan pertanyaan mengenai efektivitas kebijakan ekonomi yang diterapkan di tengah tantangan global dan domestik.
Prof. Andy Fefta Wijaya, MDA., Ph.D., pakar kebijakan publik Fakultas Ilmu Administrasi Universitas Brawijaya (FIA UB), menilai bahwa insentif sangat diperlukan tidak hanya di sisi suplai, tetapi juga sisi permintaan. “Ekonomi tidak bisa berdiri sendiri. Selain kebijakan ekonomi, faktor sosial dan politik juga berpengaruh signifikan,” ujar Prof. Andy, Selasa (17/6/2025).
Ia menjelaskan, target pertumbuhan ekonomi yang ideal untuk menuju visi Indonesia Emas 2045 seharusnya berada di atas 7% per tahun. “Kalau kita masih di 4,9%, ini jauh dari target. Padahal, untuk mencapai status negara berpenghasilan tinggi, kita memerlukan pertumbuhan minimal 7% hingga 8%,” tegasnya.
PR Berat: Pemerataan Ekonomi dan Pengentasan Kemiskinan
Prof. Andy menyoroti tantangan besar lainnya, yakni pemerataan ekonomi dan pengentasan kemiskinan. Saat ini, tingkat kemiskinan masih di angka 9,9% dengan indeks Gini berada pada kategori medium di 0,39. “Kalau kita ingin mencapai 0% kemiskinan pada 2045, itu berarti setiap tahun tingkat kemiskinan harus turun 0,5%. Ini target yang sangat ambisius dan membutuhkan kerja keras lintas sektor,” jelasnya.
Beliau juga mengingatkan perlunya reformasi pada berbagai aspek ekonomi, termasuk memperbaiki indeks kemudahan berbisnis (Ease of Doing Business) untuk menarik investasi. Selain itu, beliau mengkritik perlakuan terhadap pelaku usaha mikro, kecil, dan menengah (UMKM) yang menurutnya sering kali diberatkan oleh pajak dan regulasi yang tidak berpihak.
“UMKM ini adalah tulang punggung ekonomi kita. Mereka menciptakan lapangan kerja, bahkan untuk dirinya sendiri. Jadi, kebijakan pemerintah harus memberikan keberpihakan seperti tax holiday untuk UMKM,” kata Andy.
Optimalisasi Anggaran dan Program Sosial
Terkait program prioritas pemerintah, Prof. Andy memuji inisiatif seperti Makan Bergizi Gratis (MBG). Namun, ia menekankan bahwa program tersebut harus disalurkan secara tepat sasaran. “Sekolah-sekolah yang mayoritas siswanya berasal dari keluarga menengah ke atas tidak perlu mendapatkan program MBG. Fokuslah pada sekolah yang benar-benar membutuhkan,” sarannya.
Prof. Andy menegaskan pentingnya pemerintah menunjukkan keberpihakan terhadap masyarakat kecil. “Insentif yang adil, pengelolaan anggaran yang efektif, dan reformasi kebijakan adalah kunci untuk meningkatkan daya beli masyarakat serta memperbaiki ekonomi nasional,” pungkasnya.(Din/Bel)