Kanal24, Malang – Krisis yang tengah memanas di Timur Tengah antara Iran dan Israel bukan hanya masalah regional, melainkan berdampak langsung terhadap Indonesia. Negara dengan prinsip politik luar negeri bebas aktif ini harus bersiap menghadapi gejolak ekonomi hingga potensi gangguan stabilitas sosial akibat eskalasi konflik tersebut.
Abdullah, S.Sos., M.Hub.Int., Dosen Hubungan Internasional Universitas Brawijaya, melalui wawancara eksklusif dengan Kanal24 pada Jumat (20/06/2025), menilai Indonesia berisiko terdampak cukup besar dari sisi ekonomi akibat melonjaknya harga minyak mentah dunia. “Indonesia adalah negara pengimpor minyak, sebagian besar berasal dari kawasan Timur Tengah. Jika Selat Hormuz—jalur ekspor vital—dikuasai penuh oleh Iran dan lalu lintasnya diperketat, maka distribusi energi ke Indonesia akan terganggu,” jelasnya.
Baca juga:
Partisipasi Pildek FMIPA Tinggi, Prof. Sukir Maryanto Unggul

Efek langsung yang kini menjadi perhatian adalah rencana evaluasi harga BBM yang akan diumumkan pemerintah pada 1 Juli mendatang. Menurut Abdullah, istilah “penyesuaian harga” yang digunakan pemerintah bisa diartikan sebagai sinyal akan adanya kenaikan harga BBM non-subsidi. Untuk BBM subsidi, meski harganya mungkin tetap, pemerintah akan dibebani kewajiban menambah subsidi yang besar.
“Dampaknya jelas akan menggerus APBN. Pos anggaran lain seperti pendidikan, infrastruktur, dan kesehatan kemungkinan besar akan dikorbankan untuk menjaga stabilitas harga energi,” tambahnya.
Kenaikan harga BBM dipastikan akan memicu inflasi, terutama di sektor pangan dan transportasi. Ini akan membebani masyarakat kelas menengah ke bawah, memperluas kesenjangan ekonomi, dan bisa menjadi sumber ketidakpuasan publik.
Selain faktor ekonomi, ada pula dampak sosial dan politik. Abdullah mengingatkan bahwa eskalasi konflik Iran-Israel kerap diseret ke ranah agama, terutama karena Iran dipimpin oleh tokoh keagamaan Syiah yang berpengaruh secara global. Jika konflik ini semakin dilabeli sebagai pertarungan antara Islam dan Yahudi, maka Indonesia sebagai negara dengan populasi muslim terbesar di dunia, rawan mengalami ketegangan sosial.
“Kita tidak ingin simbol-simbol Amerika atau Israel di Indonesia—seperti restoran, kantor diplomatik, atau perusahaan afiliasi—menjadi sasaran amarah masyarakat akibat agitasi yang bernuansa agama,” ungkap Abdullah.
Ia juga menyebut bahwa upaya normalisasi perang oleh Israel sebagai strategi geopolitik adalah ancaman serius terhadap tatanan internasional. Indonesia, menurutnya, perlu tetap bersikap tegas dengan menyerukan penghentian konflik, penegakan hukum internasional, dan penghormatan terhadap kedaulatan setiap negara.
Baca juga:
Bincang Intelektual Bacadek FMIPA UB
“Dunia membutuhkan keseimbangan baru agar tidak ada lagi dominasi sepihak. Kalau tidak, instabilitas global hanya akan menjadi rutinitas baru, dan negara-negara berkembang seperti Indonesia akan terus menjadi korban,” tegas Abdullah.
Menutup pernyataannya, ia berharap Indonesia bisa menjadi motor diplomasi perdamaian yang konsisten, bukan hanya dalam retorika, tapi juga dalam aksi konkret di forum-forum internasional. (nid/hil)