Kanal24, Malang – Isu keadilan dalam pemidanaan kasus korupsi kembali menjadi perbincangan hangat usai Ujian Terbuka Disertasi yang digelar oleh Fakultas Hukum Universitas Brawijaya (FH UB), Kamis (26/06/2025). Dalam forum akademik tersebut, Dr. Ansori, S.H., M.H., mahasiswa Program Studi Doktor Ilmu Hukum Jakarta UB, menyampaikan disertasi berjudul “Proporsionalitas Pemidanaan Pelaku Pembantuan Tindak Pidana Korupsi: Kritik Terhadap Pasal 15 UU Tipikor”.
Disertasi ini mengusulkan perubahan mendasar pada pasal 15 Undang-Undang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi (UU Tipikor) yang selama ini menyamakan ancaman pidana bagi pelaku utama dan pelaku pembantuan dalam kasus korupsi. Ansori menilai, ketentuan tersebut tidak mencerminkan prinsip keadilan dan proporsionalitas, serta bertentangan dengan asas-asas dasar dalam Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP).
Baca juga:
Disertasi FH UB: Holding BUMN, Demi Keadilan Konstitusional

“Pelaku pembantuan tidak seharusnya mendapat ancaman pidana yang sama dengan pelaku utama,” tegas Dr. Ansori dalam pemaparannya. “Pasal 15 UU Tipikor ini menyamaratakan hukuman tanpa mempertimbangkan derajat kesalahan dan peran masing-masing, padahal pembantu dalam kejahatan biasanya tidak memiliki intensi utama untuk melakukan korupsi.”
Dalam argumentasinya, ia menyoroti pentingnya merekonstruksi norma pemidanaan agar lebih manusiawi dan tidak sekadar menjatuhkan hukuman sebagai bentuk balas dendam negara terhadap pelaku. Pemidanaan, menurutnya, harus mengarah pada pemulihan keuangan negara dan memperhatikan keadilan substantif.
Pandangan Dr. Ansori mendapat respons beragam dari para penguji. Salah satunya adalah Dr. Maradona, S.H., LL.M., penguji tamu yang mengapresiasi keberanian disertasi ini dalam mengangkat wacana di luar arus utama. Ia menyebut bahwa dalam konteks global, seperti di Belanda, pembantuan dalam kejahatan korupsi juga tidak disamakan secara mutlak dengan pelaku utama, melainkan tetap mempertimbangkan konteks dan proporsionalitas.
“Disertasi ini menarik karena keluar dari semangat populis masyarakat yang umumnya ingin hukuman koruptor diperberat tanpa nuansa,” ujar Dr. Maradona. “Namun, pendekatan proporsionalitas yang ditawarkan disertasi ini justru menunjukkan kedewasaan dalam melihat peran hukum sebagai alat reformasi, bukan sekadar instrumen pembalasan.”
Dr. Ansori menyandarkan analisisnya pada teori-teori besar seperti keadilan distributif, utilitarianisme, dan proporsionalitas dari Bentham hingga Beccaria. Ia menyatakan bahwa gagasannya tidak muncul semata dari pendapat pribadi, melainkan dari pengolahan teoritis yang kokoh dan responsif terhadap konteks sosial-politik hukum di Indonesia.
“Reformasi hukum adalah keniscayaan,” katanya. “Kita harus membuat hukum senantiasa kompatibel dengan zamannya. Undang-undang Tipikor yang dibuat pada awal era reformasi harus dikaji ulang agar tetap relevan dalam konteks demokrasi dan penegakan hukum masa kini.”

Sebagai tindak lanjut dari disertasinya, Ansori berharap ada upaya serius dari pembuat kebijakan untuk mengamandemen pasal 15 UU Tipikor. Jika hal tersebut belum memungkinkan dalam waktu dekat, ia menyarankan Mahkamah Agung membuat pedoman yurisprudensi yang membedakan ancaman pidana untuk pelaku utama dan pembantu dalam korupsi, mengacu pada pasal 56 dan 57 KUHP.
Baca juga:
470 Mahasiswa FH UB Laksanakan PKM di Ngajum dan Wonosari
Ujian terbuka yang berlangsung di Fakultas Hukum UB ini dihadiri oleh dosen, akademisi, dan praktisi hukum. Diskusi berkembang dengan tajam namun tetap dalam kerangka akademik yang ilmiah. Banyak peserta mengapresiasi pendekatan yang ditawarkan Ansori sebagai langkah awal dalam pembenahan hukum pidana korupsi di Indonesia.
Dengan disertasi ini, Dr. Ansori resmi menyandang gelar doktor dan meninggalkan warisan akademik berupa kritik tajam namun konstruktif terhadap sistem hukum yang selama ini dianggap sudah mapan. Meskipun diprediksi menuai kontroversi di kalangan publik, ia tetap optimistis bahwa gagasannya akan menjadi pemantik reformasi hukum yang lebih adil dan manusiawi di masa depan. (nid/hil)