Kanal24, Malang – Dalam forum Workshop Kompartemen Hukum Perdata yang dihelat Fakultas Hukum Universitas Brawijaya (FH UB) pada Rabu (02/07/2025), Guru Besar Hukum Internasional, Prof. Afifah Kusumadara, S.H., LL.M., SJD., memberikan pemaparan mendalam mengenai isu penculikan anak dalam konteks perkawinan campuran lintas negara.
Menurut Prof. Afifah, di era globalisasi, fenomena perkawinan antara Warga Negara Indonesia (WNI) dengan Warga Negara Asing (WNA) semakin meningkat dan telah menjadi hal umum. Namun, ketika terjadi perceraian dalam keluarga tersebut, anak-anak hasil perkawinan ini rentan dibawa oleh salah satu orang tua ke negara asalnya tanpa persetujuan, yang dalam konteks hukum disebut sebagai “parental abduction”.
Baca juga:
Izin Tambang Raja Ampat: Melanggar Konstitusi, Mengabaikan Kelestarian

“Ini bukan penculikan dalam arti kriminal, tetapi tetap membahayakan anak karena mereka terpisah dari salah satu orang tua dan ditempatkan dalam lingkungan baru yang asing. Dampaknya sangat besar bagi kesejahteraan anak,” tegas Prof. Afifah.
Ia menjelaskan bahwa PBB melalui Konvensi Hak-Hak Anak telah menegaskan hak anak untuk hidup tenteram, mengenal kedua orang tuanya, dan berhubungan dengan keduanya meski telah bercerai. Namun, hingga kini Indonesia belum memiliki peraturan perundang-undangan yang menjalankan amanat pasal 11 Konvensi tersebut.
“Kita belum memiliki instrumen hukum nasional yang secara tegas menangani persoalan ini, padahal sejak 1980 sudah ada Konvensi Den Haag yang mengatur dari aspek keperdataan, bukan kriminal. Fokusnya adalah pada hak pertemuan, hak tinggal, dan pemulangan anak,” jelasnya lebih lanjut.
Prof. Afifah juga menyoroti perlunya Indonesia segera membentuk Undang-Undang Hukum Perdata Internasional, khususnya yang mengatur perlindungan anak dalam konteks keluarga lintas negara. Ia menggarisbawahi pentingnya menyusun regulasi tidak hanya dengan mengadopsi konvensi internasional, tetapi juga dengan menyesuaikannya pada sistem hukum nasional Indonesia.
Baca juga:
Doktor FH UB Tawarkan Reformulasi Kewenangan Jaksa dalam Mediasi Penal
“Tujuan utama dari forum ini adalah mencari titik temu antara norma-norma internasional dan hukum nasional kita. Selain itu, sebagai akademisi, kita juga punya tanggung jawab untuk menyampaikan pengetahuan ini kepada mahasiswa dan mendorong riset-riset lebih lanjut,” pungkasnya.
Melalui forum ini, Prof. Afifah berharap diskusi yang telah dilakukan dapat menjadi bahan masukan konkret untuk pembuat kebijakan, dan menjadi sumbangsih akademisi bagi perlindungan anak di tengah meningkatnya kasus keluarga lintas negara di Indonesia. (nid)