Kanal24, Malang – Karya seni tak hanya berhenti pada kanvas dan panggung, namun juga bisa hidup lewat film pendek. Inilah semangat yang dibawa oleh Mochamad Nyzzar Pratama, siswa SMK Negeri 4 Malang yang kini tengah sibuk menyiapkan karya film pendek untuk ajang Festival dan Lomba Seni Sastra Siswa Nasional (FLS3N) tingkat provinsi. Bertempat di Dewan Kesenian Malang (DKM), proses produksi film ini menjadi saksi perjalanan kreatif yang memadukan isu sosial, budaya lokal, dan visi besar menuju Indonesia Emas 2045.
FLS3N 2025 sendiri diselenggarakan oleh Pusat Prestasi Nasional (Puspresnas) dan merupakan ajang kompetisi seni dan sastra terbesar untuk siswa SMP, SMA, SMK, dan MTs dari seluruh Indonesia. Salah satu cabang yang diperlombakan adalah film pendek, yang menjadi wadah para pelajar mengekspresikan ide, kreativitas, serta kepekaan sosial mereka.
Baca juga:
2nd Chance Menari, Lagu Cinta Penuh Energi

“Kami mengambil bagian dalam cabang film pendek dengan mengangkat tema Ekspresi Seni, Inspirasi Negeri. Dari tema ini kami ingin menampilkan kebiasaan anak-anak Indonesia yang berkarakter, cerdas, dan kreatif dalam menyongsong Indonesia Emas 2045,” ungkap Nyzzar saat ditemui tim Kanal24 pada Selasa (8/7/2025).
Lebih dari sekadar interpretasi tema, film ini juga mengangkat isu budaya lokal yang semakin terpinggirkan: gerabah Malang. Gerabah, yang dahulu menjadi bagian penting dalam kehidupan masyarakat, kini mulai kehilangan pamornya di kalangan generasi muda. “Kami ingin membangkitkan kembali nilai budaya lokal lewat media visual yang dekat dengan anak muda, yaitu film,” jelas Nyzzar, yang juga bertindak sebagai produser.
Alur Cerita Sarat Makna: Dari Kehilangan Menuju Kebangkitan
Film pendek ini mengisahkan tentang seorang anak pengrajin gerabah yang ditinggal wafat oleh orang tuanya. Dalam proses berduka, sang tokoh melewati lima tahapan psikologis dalam menghadapi kehilangan—denial, anger, bargaining, depression, dan acceptance. Dalam fase-fase itu, ia menemukan kembali semangat hidupnya melalui seni membuat gerabah, yang kemudian dikembangkan menjadi karya ekspresif dan divisualisasikan sebagai first object grief—objek pertama yang menjadi saluran emosinya.
Meski berhadapan dengan ketidakpercayaan dan penolakan dari lingkungan sekitar, tokoh utama tetap teguh memperjuangkan budaya gerabah agar dikenal kembali. Semangat pantang menyerah, nilai kultural, dan perenungan emosional menjadi benang merah dalam film berdurasi pendek ini.

Produksi Kilat, Tantangan Besar
Proses produksi film tidak berlangsung mulus. Setelah lolos dari seleksi tingkat kota dan bersiap menuju tingkat provinsi, para siswa hanya diberi waktu dua minggu untuk melakukan revisi sesuai masukan dari juri.
“Tantangan terbesar kami adalah waktu dan pendanaan. Kalau di tingkat kota kami punya waktu hampir dua bulan, kali ini kami hanya diberi dua minggu. Itu membuat kami harus bekerja ekstra cepat dan tetap menjaga kualitas,” jelas Nyzzar.
Dari segi pendanaan, tim produksi sebagian besar harus mengandalkan sumber internal. Meski begitu, mereka mendapat dukungan penuh dari sekolah, para pembina, rekan-rekan sesama siswa, serta lembaga-lembaga seperti Lokakaryan, Gedung Ijen, dan DKM yang menyediakan tempat dan fasilitas.

Baca juga:
Empat Film Kartun Anak untuk Ditonton Bareng Keluarga
Harapan Menuju Tingkat Nasional
Seleksi FLS3N terdiri dari beberapa tahap: seleksi sekolah, tingkat kota, provinsi, dan akhirnya nasional. Tim SMK Negeri 4 Malang kini sedang berada di tahap provinsi dan berharap bisa melaju hingga ke tingkat nasional.
“Saya pribadi tahun lalu berasal dari Lampung dan belum sempat melangkah sejauh ini. Tahun ini, kami berharap bisa mewakili Kota Malang di tingkat nasional dan membawa film kami ke panggung yang lebih besar,” harap Nyzzar.
Melalui film ini, mereka ingin menyampaikan pesan bahwa seni menjadi ekspresi dan alat pemulihan, pelestarian budaya, dan pembangunan karakter generasi muda. Gerabah menjadi simbol dari warisan yang bisa diselamatkan oleh tangan-tangan muda yang berkarya.Jika kelak film ini berhasil meraih prestasi di tingkat nasional, maka menjadi kebanggaan bagi sekolah atau Kota Malang dan budaya lokal telah diberi ruang untuk bersinar kembali. (nid/dpa)