Kanal24, Malang – Untuk menjaga keberlanjutan industri asuransi kesehatan komersial sekaligus menekan laju premi yang semakin meningkat, Otoritas Jasa Keuangan (OJK) resmi mendorong penerapan skema co-payment. Skema pembagian risiko ini diharapkan mampu memberikan solusi efektif terhadap tekanan inflasi medis yang terus meningkat setiap tahun.
Dalam rapat kerja bersama Komisi XI DPR RI di Jakarta, Senin (30/6/2025), Kepala Eksekutif Pengawasan Perasuransian, Penjaminan, dan Dana Pensiun OJK, Ogi Prastomiyono, menjelaskan bahwa skema co-payment ditujukan agar premi asuransi tetap terjangkau bagi masyarakat.
Baca juga:
Airlangga Negosiasi Tarif Trump 32 Persen
“Kami mendorong premi kesehatan yang lebih terjangkau karena peningkatan premi dapat dimitigasi dengan lebih baik,”ujar Ogi.
OJK pun telah meminta perusahaan asuransi untuk melakukan simulasi premi dengan dan tanpa co-payment. Hasilnya menunjukkan bahwa skema co-payment menghasilkan premi yang lebih rendah, terutama bila mempertimbangkan tekanan dari inflasi biaya kesehatan yang terus meningkat secara tahunan.
Apa Itu Co-Payment?
Skema co-payment adalah bentuk pembagian tanggung jawab biaya antara nasabah dan perusahaan asuransi. Dalam skema yang akan diterapkan, peserta wajib menanggung minimal 10% dari total klaim, baik untuk layanan rawat jalan maupun rawat inap.
Namun, OJK juga menetapkan batas maksimal klaim yang bisa ditanggung peserta, yaitu Rp300.000 untuk rawat jalan dan Rp3.000.000 untuk rawat inap.
Ogi menambahkan bahwa skema ini akan diterapkan dalam dua bentuk:
1. Asuransi Individu: peserta langsung menanggung sebagian dari klaim yang diajukan.
2. Asuransi Kumpulan: besaran tanggungan disepakati antara perusahaan dan karyawan, dengan pola umum perusahaan menanggung 80% dan karyawan 20% melalui potongan gaji.
Tidak Berlaku untuk Peserta JKN BPJS
Kebijakan ini tidak berlaku bagi peserta Jaminan Kesehatan Nasional (JKN) yang dikelola oleh BPJS Kesehatan. OJK menegaskan bahwa skema co-payment hanya berlaku pada produk asuransi kesehatan komersial, baik yang bersifat individu maupun kumpulan.
“Konsep co-payment sebenarnya sudah umum di berbagai negara seperti Malaysia, Thailand, Singapura, dan Korea Selatan,” jelas Ogi. “Mungkin istilahnya terasa baru, tapi konsepnya serupa dengan deductible pada asuransi kendaraan.”
Dasar Regulasi dan Implementasi
Sebagai landasan hukum, OJK telah menerbitkan Surat Edaran OJK (SEOJK) Nomor 7/SEOJK.05/2025 tentang Penyelenggaraan Produk Asuransi Kesehatan.
Dalam aturan ini, dua hal utama yang diatur adalah:
Skema Co-Payment: pembagian beban klaim antara peserta dan perusahaan.
Coordination of Benefit (CoB): pengaturan tanggung jawab pembayaran jika peserta memiliki lebih dari satu asuransi.
SEOJK ini resmi berlaku mulai 1 Januari 2026. Untuk produk-produk asuransi kesehatan yang sudah ada sebelum tanggal tersebut, perusahaan diberikan masa transisi hingga 31 Desember 2026 guna menyesuaikan ketentuan baru.
Menjaga Daya Beli dan Keberlanjutan Industri
Langkah OJK ini bertujuan untuk menurunkan premi, dan juga sebagai bagian dari strategi jangka panjang untuk menjaga daya beli masyarakat serta menghindari tekanan finansial pada industri asuransi.
Baca juga:
Nikmati Kuliner dan View Malang di THE 101 Malang OJ
Dengan inflasi medis yang dapat mencapai 10–12% per tahun—lebih tinggi dari inflasi umum—tanpa reformasi skema, premi asuransi komersial akan sulit dijangkau masyarakat kelas menengah ke bawah.
Melalui co-payment, peserta diajak untuk lebih bertanggung jawab atas pemanfaatan layanan kesehatan yang mereka klaim, sekaligus menekan beban perusahaan asuransi yang selama ini menanggung penuh seluruh biaya perawatan.
OJK berharap penerapan skema ini dapat memperkuat sistem asuransi nasional, mengurangi risiko overclaim, dan mendorong partisipasi masyarakat dalam asuransi secara lebih sehat dan berkelanjutan. (tia)