Oleh : Setyo Widagdo
Guru Besar Hukum Internasional Fakultas Hukum UB [email protected]
Beberapa minggu yang lalu masyarakat internasional, khususnya masyarakat ASEAN, dikejutkan oleh adanya saling gempur di perbatasan antara Thailand dan Kamboja. Mengejutkan karena antara dua negara sesama anggota ASEAN ini seperti tidak ada tanda-tanda saling bermusuhan beberapa dekade belakangan ini.
Namun secara tiba-tiba Asia Tenggara diguncang oleh ketegangan antara dua negara anggota ASEAN, yaitu Thailand dan Kamboja, yang menghidupkan kembali sengketa lama di wilayah perbatasan. Meskipun disebut sebagai “perang” oleh sebagian media lokal dan internasional, konflik ini lebih tepat digambarkan sebagai eskalasi bersenjata intensif yang menimbulkan korban jiwa dan ketegangan diplomatik serius. Konflik ini menjadi ujian besar bagi soliditas ASEAN dalam menjaga perdamaian kawasan, serta menyoroti kembali tantangan implementasi prinsip-prinsip komunitas ASEAN di tengah krisis nyata.
Barangkali sekilas saya sampaikan kronologi sejarah perselisihan kedua negara ini agar kita mengetahui duduk perkaranya, bahwa pertempuran di perbatasan itu sebetulnya dipicu oleh konflik lama.
Wilayah perbatasan antara Thailand dan Kamboja, khususnya di sekitar Kuil Preah Vihear, telah lama menjadi sumber sengketa. Mahkamah Internasional (ICJ) sudah menetapkan pada 1962 dan menegaskan kembali pada 2013 bahwa kuil tersebut berada di wilayah Kamboja. Namun, pada pertengahan 2025, konflik kembali memanas akibat pembangunan pos militer oleh Thailand yang disebut-sebut melanggar zona demiliterisasi yang sebelumnya disepakati pasca keputusan ICJ.
Kamboja menuduh Thailand telah menerobos zona netral dan mengintimidasi penduduk lokal, sementara Thailand menuduh Kamboja menggunakan isu perbatasan untuk memicu sentimen nasionalisme domestik menjelang pemilu. Dalam waktu singkat, bentrokan terbuka pun terjadi, melibatkan tembakan artileri ringan, drone pengintai, dan serangan udara terbatas di wilayah dekat perbatasan.
Konflik ini menyebabkan puluhan korban jiwa, baik dari pihak militer maupun warga sipil, serta ribuan orang mengungsi dari wilayah perbatasan. Sekolah-sekolah ditutup, perdagangan lintas batas lumpuh, dan fasilitas umum rusak. Beberapa kuil dan bangunan bersejarah juga mengalami kerusakan akibat tembakan artileri.
Ujian Bagi Stabilitas Kawasan
Kondisi ini menimbulkan kecemasan regional, karena kedua negara sama-sama anggota ASEAN dan terikat oleh ASEAN Charter yang menjunjung tinggi prinsip resolusi damai, penghormatan terhadap hukum internasional, dan stabilitas kawasan.
Konflik ini mendorong ASEAN yang tahun ini diketuai oleh Malaysia untuk mengambil langkah cepat dalam meredam eskalasi. Dalam pertemuan darurat ASEAN Ministerial Meeting yang digelar di Jakarta pada Juli 2025, ASEAN mengeluarkan pernyataan bersama yang menyerukan:
(1). Gencatan senjata segera dan tanpa syarat,
(2). Penarikan pasukan dari zona konflik,
(3). Pengaktifan kembali jalur diplomatik bilateral,
(4). Penerjunan Tim Pemantau ASEAN ke wilayah sengketa dengan persetujuan kedua negara,
(5). Pemanggilan Duta Besar Thailand dan Kamboja untuk klarifikasi dan dialog tertutup.
Namun, pernyataan ini tidak disepakati dengan suara bulat. Beberapa negara anggota ASEAN menolak penggunaan istilah “agresi” untuk menyebut salah satu pihak. Perbedaan kepentingan politik dan ekonomi antar anggota ASEAN menghambat konsensus tegas.
Indonesia dan Singapura mendorong pendekatan aktif, termasuk membuka opsi sanksi diplomatik jika konflik tak segera mereda, sementara negara-negara seperti Laos dan Myanmar mengambil posisi lebih netral, bahkan cenderung pasif.
Sebagai kekuatan diplomatik utama di kawasan, Indonesia kembali mengambil peran sebagai mediator, melanjutkan tradisi diplomasi shuttle seperti pada 2011. Menteri Luar Negeri Indonesia melakukan perjalanan bolak-balik ke Bangkok dan Phnom Penh untuk meredakan ketegangan. Indonesia juga mengusulkan pembentukan Tim Khusus Mediasi ASEAN, terdiri dari mantan diplomat senior dan pakar hukum internasional, yang bertugas menengahi kedua pihak di bawah kerangka ASEAN Way.
Kritik Terhadap ASEAN
Krisis ini kembali membuka perdebatan publik soal efektivitas ASEAN. Meskipun secara formal ASEAN telah bertransformasi menjadi Komunitas ASEAN sejak 2015, kenyataannya organisasi ini masih terikat oleh prinsip non-interference dan keputusan konsensus, yang sering kali memperlambat respons terhadap konflik internal.
Banyak pihak menyayangkan lambatnya reaksi ASEAN, yang baru bertindak setelah konflik memasuki minggu kedua. Aktivis HAM dan organisasi masyarakat sipil mendesak ASEAN untuk mengadopsi pendekatan preventive diplomacy yang lebih agresif dan sistem mekanisme keamanan kolektif, seperti ASEAN Peacekeeping Force, yang selama ini hanya menjadi wacana.
Perang terbatas antara Thailand dan Kamboja di tahun 2025 adalah alarm bagi ASEAN. Konflik ini menunjukkan bahwa warisan sengketa historis bisa meledak sewaktu-waktu jika tidak dikelola dengan diplomasi aktif dan kepercayaan antarnegara. Meskipun ASEAN berhasil mendorong gencatan senjata, luka politik dan sosial masih membekas.
Ke depan, ASEAN harus memperkuat mekanisme resolusi konflik internal, meningkatkan peran Sekretariat ASEAN, serta mengevaluasi ulang prinsip non-interference dalam konteks ancaman terhadap perdamaian kawasan. Konflik ini menjadi pengingat bahwa solidaritas regional tidak hanya dibangun melalui retorika, tapi lewat keberanian menghadapi konflik demi stabilitas jangka panjang.(*)