Kanal24, Malang – Fenomena sound horeg telah menjadi bagian tak terpisahkan dari berbagai perayaan di sejumlah daerah di Jawa Timur, mulai dari hajatan, karnaval, hingga pesta rakyat. Dengan rangkaian pengeras suara menjulang setinggi lima meter dan susunan woofer besar, dentuman musiknya mampu menggetarkan dada dan memancing penonton untuk bergoyang.
Bagi sebagian warga, sound horeg bukan sekadar hiburan. Ia juga menjadi penggerak ekonomi, membuka peluang bagi jasa persewaan sound system, penjual makanan, minuman, hingga pedagang kaki lima. Tidak jarang, acara ini juga menjadi ajang silaturahmi antarwarga desa.
Namun, di balik gemerlapnya, tersimpan risiko kesehatan yang tak kalah besar. Gelombang suara yang dihasilkan ternyata berada jauh di atas batas aman bagi pendengaran manusia.
Baca juga:
Bersih Desa Tumpang Hidupkan Spirit Reksa Jinalayapura
Lonjakan Pasien THT di Lumajang
RSUD dr. Haryoto Lumajang mencatat peningkatan signifikan pasien THT dalam beberapa bulan terakhir. Menurut Dokter Spesialis THT, Aliyah Hidayati, sebagian pasien mengeluhkan gejala telinga berdenging yang menetap.
“Jumlah pasien gangguan telinga meningkat akibat suara keras dari sound horeg. Setelah kami telusuri, banyak yang mengaku hadir di acara tersebut,” ungkap Aliyah, Kamis (7/8/2025).
Dari Januari hingga Juli 2025, tercatat 2.480 pasien THT ditangani rumah sakit ini. Meski tidak seluruhnya akibat sound horeg, banyak kasus yang terindikasi memiliki kaitan langsung dengan paparan suara keras dari acara tersebut. Bahkan, beberapa pasien yang awalnya sudah memiliki gangguan pendengaran, mengalami kondisi memburuk setelah terpaksa terpapar suara dari hajatan tetangga yang menggunakan sound horeg.
1,5 Detik yang Menentukan Nasib Pendengaran
Dokter Spesialis THT-KL dari Fakultas Ilmu Kesehatan UNAIR, Citra Dwi Novastuti, memaparkan fakta mencengangkan: sound horeg bisa menghasilkan kebisingan hingga 130–135 desibel. Padahal, menurut standar NIOSH, batas aman harian hanya 85–90 desibel.
“Pada tingkat 130 desibel, waktu aman mendengar hanya sekitar 1,5 detik. Lebih dari itu, kerusakan pada sel rambut koklea bersifat permanen,” jelasnya.
Kerusakan koklea berarti sel-sel rambut halus yang memproses suara tidak akan pernah tumbuh kembali. Akibatnya, gangguan pendengaran bisa menetap seumur hidup. Citra juga mengingatkan bahwa risiko tuli tidak hanya menghantui usia lanjut, tetapi dapat terjadi pada usia produktif, menghambat kemampuan bekerja dan berinteraksi sosial.
Tinnitus: Gejala Awal yang Sering Diabaikan
Gejala awal kerusakan pendengaran sering kali tidak dianggap serius. Tinnitus—telinga berdenging yang muncul hilang-timbul—merupakan sinyal peringatan tubuh bahwa telinga telah mengalami stres akustik.
Jika paparan terus berlanjut, tinnitus akan berkembang menjadi kesulitan mendengar, terutama di lingkungan ramai. Akhirnya, penderita sulit menangkap percakapan dan kualitas hidup menurun drastis.
Kesaksian dari RSCM: Risiko Sensorineural yang Permanen
Dokter Spesialis THT-KL dari RSCM, dr. Harim Priyono, mengamini risiko sound horeg. Ia menyebut gangguan pendengaran akibat bising termasuk dalam tipe sensorineural yang tidak bisa dipulihkan.
Pencegahan terbaik adalah memakai pelindung telinga atau menjaga jarak aman dari sumber suara. Namun, praktik ini sulit diterapkan di tengah keramaian karnaval, di mana penonton cenderung ingin berada sedekat mungkin dengan panggung atau kendaraan sound.
Harim menyarankan, unit sound horeg seharusnya memberikan informasi kepada publik mengenai intensitas kebisingan, jarak aman, dan durasi yang tidak membahayakan. Dengan begitu, penonton bisa mengukur risiko secara mandiri.
Tragedi di Tengah Hiburan
Fenomena sound horeg juga pernah dikaitkan dengan kematian mendadak seorang warga Lumajang, Anik Mutmainnah (39), saat menonton karnaval. Meski penyebab pasti belum dipastikan secara medis, ia dilaporkan meninggal akibat henti jantung dan henti napas.
Walau belum ada bukti ilmiah yang menghubungkan suara keras langsung dengan kematian, paparan kebisingan ekstrem dapat memicu reaksi fisiologis yang membahayakan, terutama bagi individu dengan kondisi kesehatan rentan, seperti hipertensi atau penyakit jantung.
Pandangan Akademisi: Regulasi, Bukan Larangan
Dosen Ilmu Komunikasi Universitas Airlangga, Suko Widodo, menilai fenomena sound horeg telah terbukti memiliki dampak negatif sehingga perlu pengaturan ketat. “Hiburan itu harus menyenangkan sekaligus aman. Banyak pemimpin daerah yang ragu mengambil tindakan tegas karena takut tidak populer, padahal dampaknya jelas,” katanya.
Sementara itu, Dosen Hukum Universitas Brawijaya, Muktiono, menilai pemerintah cenderung lamban dan kurang peka. Ia menyamakan persoalan ini dengan masalah kebisingan lain seperti knalpot brong atau bel kendaraan yang mengganggu.
“Tidak harus ditutup total, tapi diatur izinnya agar tetap menghibur tanpa merusak kesehatan dan mengganggu lingkungan,” ujarnya.
Kebijakan Baru Pemprov Jawa Timur
Menjawab kontroversi yang tak kunjung reda, Pemprov Jawa Timur menerbitkan Surat Edaran Bersama pada 6 Agustus 2025. SE ini ditandatangani Gubernur Khofifah Indar Parawansa, Kapolda Irjen Nanang Avianto, dan Pangdam V Brawijaya Mayjen Rudy Saladin.
Beberapa poin penting yang diatur antara lain:
- Batas Kebisingan: Sound system statis maksimal 120 desibel, dinamis (karnaval) maksimal 85 desibel.
- Kelayakan Kendaraan: Kendaraan pengangkut sound wajib lulus uji KIR.
- Pembatasan Area: Sound harus dimatikan saat melintas di tempat ibadah, rumah sakit, dan lingkungan pendidikan.
- Larangan Aktivitas Ilegal: Tidak boleh digunakan untuk kegiatan yang melanggar norma agama, kesusilaan, atau hukum.
Baca juga:
Cleaner: Aksi Menegangkan di Langit London
Harapan dan Langkah ke Depan
Aturan ini diharapkan mampu menjadi titik awal pengendalian sound horeg di Jawa Timur. Namun, regulasi saja tidak cukup. Edukasi publik mengenai bahaya paparan suara keras perlu digencarkan, terutama bagi remaja dan dewasa muda yang menjadi penikmat utama acara ini.
Kolaborasi antara pemerintah, komunitas penyelenggara, dan tenaga kesehatan diperlukan untuk menciptakan hiburan yang tetap meriah namun aman bagi pendengaran. Dengan begitu, masyarakat bisa menikmati dentuman musik tanpa harus mengorbankan kesehatan telinga mereka. (nid)