Kanal24, Jakarta – Mayoritas penyandang disabilitas lulusan perguruan tinggi di Indonesia masih menghadapi hambatan besar untuk memasuki dunia kerja profesional. Data Pusat Riset Kebijakan Publik Badan Riset dan Inovasi Nasional (BRIN) menunjukkan, hanya sekitar 2,8 persen dari total 17,9 juta penyandang disabilitas di Tanah Air yang berhasil menyelesaikan pendidikan tinggi. Ironisnya, sebagian besar dari kelompok kecil ini tetap kesulitan mendapatkan pekerjaan yang setara.
Periset BRIN, Istiana Hermawati, memaparkan temuan tersebut dalam rangkaian kegiatan Pareto 2025, Jumat (8/8/2025). Menurutnya, hambatan yang dihadapi mencakup stigma sosial, minimnya akomodasi di tempat kerja, hingga lemahnya koordinasi kelembagaan di daerah. “Implementasi Pasal 25 Undang-Undang Nomor 8 Tahun 2016 yang mewajibkan pemerintah mempekerjakan minimal 2 persen dan swasta 1 persen penyandang disabilitas masih jauh dari optimal,” ujarnya, dikutip dari laman BRIN, Selasa (12/8/2025).
Baca juga:
Gazebo Corner dan Bakso Pak Djaya UB Jadi Favorit
Situasi ini menegaskan perlunya model tata kelola yang adaptif, inklusif, dan berkelanjutan. BRIN pun menggelar diskusi panel bertema model tata kelola adaptif Unit Layanan Disabilitas (ULD), guna meningkatkan akses lulusan perguruan tinggi penyandang disabilitas ke dunia kerja. Diskusi tersebut menyoroti pentingnya model yang mampu mengatasi fragmentasi kelembagaan, memperkuat sinergi antara perguruan tinggi, dunia usaha, dan pemerintah daerah, serta merespons kebutuhan dinamis penyandang disabilitas.
Penelitian Istiana dilakukan di empat lokasi: DKI Jakarta, Yogyakarta, Belitung, dan Surabaya. Masing-masing daerah menunjukkan variasi struktur ULD dan keterbatasan integrasi data. “Sistem pendukung dan sumber daya, termasuk pendanaan, masih sangat bergantung pada inisiatif sementara dan belum berkelanjutan,” jelasnya. Menurut Istiana, model tata kelola yang efektif harus bisa berjalan mandiri, beradaptasi dengan konteks lokal, dan mendapat dukungan lintas sektor.
Empat Pilar Model Tata Kelola Adaptif
Model yang dirancang BRIN bertumpu pada empat pilar utama: regulasi dan implementasi, kapasitas kelembagaan, kolaborasi antar sektor, dan tata kelola responsif. Keempatnya memerlukan dukungan dari aktor strategis: pemerintah, organisasi disabilitas, perguruan tinggi, dan dunia usaha.
Namun, tantangan di lapangan masih besar. Minimnya data terintegrasi, regulasi yang belum konsisten, keterbatasan SDM kompeten, serta rendahnya partisipasi langsung penyandang disabilitas dalam perumusan kebijakan menjadi penghalang. Pendanaan yang bersumber dari APBN, CSR, maupun hibah diharapkan dapat menjamin keberlanjutan program.
Ke depan, BRIN berencana mengembangkan model berbasis konteks lokal, memperluas kemitraan, dan menyusun indikator keberhasilan yang terukur. “Harapannya, model ini bisa menjadi acuan nasional untuk mengintegrasikan penyandang disabilitas ke dunia kerja secara inklusif dan berkelanjutan,” tegas Istiana. Ia menilai, inovasi ini berpotensi menjadi game changer dalam menciptakan ekosistem kerja yang ramah disabilitas.
Dorongan Regulasi Insentif bagi Tenaga Difabel
Menanggapi hal ini, Darmawan Napitulu dari Pusat Riset Pemerintahan Dalam Negeri menilai penghargaan bagi tenaga kerja difabel harus lebih konkret, bukan sekadar sertifikat atau dokumentasi. Bentuk insentif, seperti pengurangan beban pajak, dinilai mampu meningkatkan motivasi dan pengakuan atas potensi mereka.
Menurut Darmawan, tenaga difabel memiliki daya saing tinggi, terutama di bidang teknologi informasi dan pengolahan data. Namun, apresiasi yang diterima masih minim. “Belum ada regulasi atau program pendanaan yang terstruktur untuk mendukung tenaga difabel. Kebijakan yang terencana sangat dibutuhkan,” jelasnya.
Baca juga:
Kembali ke Jogja Pembuka Kemeriahan HUT RI ke – 80 di Rayz Hotel UMM
Ia juga menekankan pentingnya teknologi untuk membantu mengatasi keterbatasan mobilitas, memperluas peluang kerja, dan meningkatkan keterampilan. Evaluasi program pun memerlukan indikator jelas, seperti jumlah pekerja difabel yang terserap, lama masa kerja, dan tingkat produktivitas.
Dengan dukungan regulasi, kemitraan lintas sektor, dan pemanfaatan teknologi, hambatan yang dihadapi penyandang disabilitas lulusan perguruan tinggi diharapkan dapat dikurangi. Upaya ini diharapkan bukan hanya membuka pintu pekerjaan, tetapi juga mengubah paradigma masyarakat terhadap kapasitas dan kontribusi penyandang disabilitas di dunia profesional. (nid)