*Oleh: Â Andhyka Muttaqin, S.AP., MPA,
Dosen Departemen Administrasi Publik Fakultas Ilmu Administrasi Universitas Brawijaya (FIA UB)
Kanal24, Malang – Pendidikan selalu disebut sebagai kunci emas bagi masa depan bangsa. Namun hingga kini, akses pendidikan di Indonesia masih timpang. Banyak anak dari keluarga miskin yang terpaksa putus sekolah karena tidak mampu menanggung biaya atau karena keterbatasan fasilitas di daerahnya. Dalam situasi itulah muncul kembali gagasan Sekolah Rakyat.
Sekolah rakyat digadang-gadang sebagai jawaban untuk mereka yang termarjinalkan dari sistem pendidikan formal. Konsepnya sederhana: membuka ruang belajar bagi anak-anak miskin dengan biaya minim, berbasis komunitas, bahkan kadang hanya memanfaatkan ruang seadanya. Dari segi ide, program ini terdengar heroik. Ia seolah menghidupkan kembali semangat Ki Hajar Dewantara yang menekankan bahwa pendidikan adalah hak setiap orang, bukan privilese segelintir orang kaya.
Baca juga:
Santri Pesantren Annur Kuasai Teknik Pengemasan Fermentasi

Namun, persoalannya tidak sesederhana itu. Dalam praktik, sekolah rakyat sering kali hanya menjadi panggung politik. Banyak yang menilai keberadaannya tak lebih dari proyek mercusuarâmegah dalam simbolisme, tapi rapuh dalam subtansi
Antara Harapan dan Realitas
Secara faktual, sekolah rakyat memang memberi kesempatan bagi sebagian anak untuk kembali belajar. Ada manfaat langsung yang bisa dirasakan, terutama dalam menurunkan angka putus sekolah di wilayah tertentu. Tetapi realitas di lapangan menunjukkan sejumlah kelemahan mendasar.
Pertama, sekolah rakyat kerap berdiri tanpa integrasi dengan sistem pendidikan nasional. Akibatnya, lulusan sekolah rakyat kesulitan melanjutkan pendidikan ke jenjang formal karena ijazah mereka tidak diakui. Kedua, pendanaan sekolah rakyat jarang berkelanjutan. Program ini lebih sering bergantung pada APBD, bantuan CSR, atau kemurahan hati relawan, yang sewaktu-waktu bisa berhenti begitu saja. Ketiga, program ini sering dipakai sebagai alat pencitraan politik. Kepala daerah dengan mudah menjadikan sekolah rakyat sebagai ikon kepemimpinannya, meski tidak ada rencana jangka panjang yang jelas.
Dengan kondisi itu, sekolah rakyat lebih sering hadir sebagai simbol kepedulian ketimbang solusi struktural.
Risiko yang Mengintai
Sekolah rakyat yang berjalan tanpa desain kelembagaan yang matang justru bisa melahirkan sejumlah risiko. Pertama, ia berpotensi menciptakan segregasi pendidikan. Anak-anak dari keluarga miskin diarahkan ke sekolah rakyat dengan kualitas seadanya, sementara anak-anak dari keluarga mampu tetap mengakses sekolah formal yang berkualitas lebih baik. Alih-alih menyelesaikan ketidakadilan, program ini malah bisa memperkuat kesenjangan sosial.
Kedua, ada risiko mubazir anggaran. Tanpa fondasi kelembagaan yang kuat, sekolah rakyat mudah mati suri ketika terjadi pergantian kepemimpinan daerah. Akhirnya, masyarakat hanya melihat bangunan kosong yang pernah dijanjikan sebagai simbol keadilan pendidikan.
Ketiga, ada risiko penciptaan ketergantungan. Alih-alih memberdayakan masyarakat, sekolah rakyat bisa menjebak dalam pola karitatif: rakyat hanya menunggu belas kasih pemerintah atau donor, tanpa ada mekanisme pemberdayaan yang berkelanjutan.
Dari Panggung ke Pondasi
Apakah artinya sekolah rakyat harus ditinggalkan? Tidak juga. Justru, ide sekolah rakyat bisa menjadi terobosan penting jika dikelola dengan benar. Ada beberapa syarat agar sekolah rakyat benar-benar menjadi solusi, bukan sekadar mercusuar politik.
Pertama, integrasi dengan sistem nasional. Sekolah rakyat harus diakui dalam kurikulum nasional, sehingga lulusannya bisa melanjutkan pendidikan tanpa hambatan.
Kedua, pendanaan berkelanjutan. Perlu ada kombinasi pendanaan, mulai dari dana BOS, CSR yang terikat jangka panjang, hingga dana abadi pendidikan, agar sekolah rakyat tidak bergantung pada kepemimpinan politik yang silih berganti.
Ketiga, basis komunitas yang kuat. Sekolah rakyat seharusnya dikelola bersama masyarakat agar ada rasa memiliki. Dengan begitu, keberlangsungannya tidak sepenuhnya bergantung pada pemerintah.
Keempat, fokus pada kualitas, bukan kuantitas. Keberhasilan sekolah rakyat jangan diukur dari jumlah sekolah yang dibangun, melainkan dari seberapa banyak anak-anak miskin yang terbantu dan mampu naik kelas sosial melalui pendidikan.
Baca juga:
Asah Kerelaan FP UB Galang Donasi Serentak Dana Abadi UB
Penutup
Sekolah rakyat lahir dari niat baik untuk menambal lubang ketidakadilan pendidikan. Tetapi, tanpa visi jangka panjang, ia hanya akan menjadi monumen pencitraan yang sebentar bersinar lalu padam.
Karena itu, publik berhak mengajukan pertanyaan tajam: apakah sekolah rakyat benar-benar menjadi pintu pembebasan bagi anak-anak miskin, atau hanya panggung politik yang akan dilupakan setelah masa jabatan berakhir?