Kanal24, Malang – Di era digital saat ini, kebiasaan anak-anak maupun orang dewasa dalam membaca waktu mengalami pergeseran. Jika dulu jam dinding analog dengan jarum pendek dan panjang menjadi media utama untuk mengenal waktu, kini generasi muda lebih mengandalkan jam digital yang terpasang di ponsel, tablet, maupun smartwatch.
Fenomena ini tidak hanya terjadi di kalangan siswa, tetapi juga pada orang dewasa yang sudah terbiasa dengan kemudahan angka digital. Membaca jam analog dianggap rumit dan memusingkan, sehingga perlahan mulai ditinggalkan.
Baca juga:
Lulusan Disabilitas Masih Sulit Masuk Dunia Kerja
Lihat Jarum Jam, Pikiran Langsung Kosong
Dikutip dari Liputan6 pada Rabu (20/08/2025), Fitra (27), seorang karyawan swasta, mengakui dirinya kesulitan membaca jam analog meski sudah berkeluarga. Saat diminta suaminya membaca jam dinding, ia hanya bisa terdiam. Awalnya, sang suami mengira hal itu sekadar gurauan, padahal Fitra benar-benar tidak bisa.
“Di awal-awal nikah, suami kira saya becanda, padahal saya beneran nggak bisa,” ujarnya sambil tertawa.
Fitra mengaku sejak kecil tidak nyaman dengan konsep jarum pendek dan panjang. Banyaknya angka di lingkaran jam membuat pikirannya langsung kosong. “Lihat jarum sama banyak angka enggak kebaca aja sama otakku. Langsung kosong gitu otak pas baca jam,” katanya.
Sejak itu, ia lebih memilih menggunakan jam digital. Baginya, angka yang terpampang jelas membuat aktivitas sehari-hari lebih praktis. “Simple. Langsung kelihatan jam berapa, enggak pakai mikir,” tambahnya.
Orang Tua Kaget Anak Tak Bisa Baca Jam Analog
Fenomena serupa juga dialami Rina (38), warga Depok, yang kaget saat putranya, Dika, siswa kelas 8 SMP, tidak mampu membaca jam analog. Suatu ketika, sang ayah meminta Dika melihat jam dinding. Namun, bukannya menjawab, Dika malah balik bertanya: “Ini jam berapa, Yah?”
“Saya sempat pikir dia bercanda. Ternyata dia serius, dia nggak bisa baca jam analog,” ungkap Rina.
Awalnya, ia khawatir anaknya tertinggal dari teman-teman. Namun, setelah bertanya kepada guru sekolah, ternyata banyak siswa lain yang mengalami kesulitan serupa. “Mungkin karena semua serba digital, mereka jadi nggak pernah terpapar jam analog,” ujarnya.
Kini, Rina mulai mengajarkan Dika perlahan agar tidak sepenuhnya tergantung pada jam digital. Meski kerap merasa frustrasi, ia menyadari bahwa perubahan zaman menuntut orang tua untuk ikut menyesuaikan pola didik. “Zaman sudah beda, tugas kita orang tua yang harus ikutan menyesuaikan cara mendidik,” katanya.
Kemampuan Numerasi Siswa Lemah
Menteri Pendidikan Dasar dan Menengah, Abdul Mu’ti, menyoroti fenomena ini sebagai bagian dari rendahnya kemampuan numerasi siswa Indonesia. Ia mengungkapkan, hasil survei Programme for International Student Assessment (PISA) menunjukkan lemahnya keterampilan dasar, termasuk membaca jam analog.
“Saya menengarai sebagian anak-anak kita itu tidak mampu membaca jam analog. Membaca jam digital bisa karena ada angkanya. Tetapi ketika sudah jam analog, ada jarum panjang, ada jarum pendek, tidak semuanya bisa membaca,” ujarnya saat meluncurkan Gerakan Numerasi Nasional di SDN 04 Meruya, Jakarta Barat, Selasa (19/8/2025).
Menurut Mu’ti, keterampilan membaca jam analog seharusnya melatih logika berhitung, memahami sudut, hingga mengasah numerasi praktis. “Padahal dari situ, anak tidak hanya tahu jam berapa, tapi juga bisa memahami sudut-sudut pergerakan jarum jam. Itu juga numerasi,” jelasnya.
Dampak pada Prestasi Akademik dan Kehidupan Sehari-hari
Kelemahan numerasi berdampak pada rendahnya daya saing siswa Indonesia secara global. Mu’ti mencontohkan, masih banyak siswa yang terbiasa menggunakan kalkulator untuk perhitungan sederhana. “Jangan sampai ketika ada pertanyaan 4×4 sama dengan 16, harus pakai kalkulator. Kebiasaan numerasi sederhana ini harus dibangun kembali,” tegasnya.
Ia juga menekankan perlunya mengubah paradigma bahwa matematika adalah pelajaran menakutkan. Menurutnya, pembelajaran matematika harus menyenangkan dan dekat dengan kehidupan sehari-hari. “Dulu matematika sering disebut mati-matian, gurunya juga mengajarkan dengan cara yang bikin mumet. Akhirnya jadi momok. Kita harus ubah itu,” katanya.
Baca juga:
101 OJ Hotel Malang, Meriahkan Semarak Rasa Kemerdekaan
Harapan untuk Masa Depan Numerasi
Mu’ti berharap Gerakan Numerasi Nasional dapat membangkitkan semangat siswa untuk kembali mencintai matematika dan keterampilan berhitung. Ia menekankan bahwa kemampuan numerasi tidak hanya soal ujian, tetapi juga keterampilan hidup.
“Kebiasaan sederhana seperti membaca peta, menghitung waktu perjalanan, sampai memahami arah kiblat, semuanya bagian dari numerasi yang dekat dengan kehidupan kita,” ujarnya.
Dengan keterampilan numerasi yang baik, generasi muda diharapkan mampu lebih mandiri, tidak hanya bergantung pada teknologi, serta mampu bersaing di tingkat global. (nid)